Perjuangan Siti Hadjar, Akar Peran Emansipasi Perempuan
Menjelang Hari Raya Idul Adha, umat Muslim disunahkan Puasa Tarwiyah dan Puasa Arafah. Meski kisah-kisah seputar Idul Adha, telah banyak didengar di masjid-masjid, tapi banyak di antara pembaca ngopibareng.id memberi masukan. “Alangkah baiknya ditampilkan kisah seputar Idul Adha, dengan sumber Al-Quran,” tulis Musyarofah Alim, warga Kebraon, Surabaya.
Untuk itu, dalam beberapa edisi berikut akan ditampilkan kisah-kisah Nabi Ibrahim dan asbabul wurud, latar sejarah hingga ada Hari Raya Idul Adha. Bersumber dari Qishashul Anbiya’, kisah-kisah Para Nabi.
Nabi Ibrahim AS menikah untuk kedua kalinya dengan Siti Hajar , salah seorang pembantu yang berakhlak mulia, atas saran dari istrinya Siti Sarah . Hal itu karena hingga usia mereka yang semakin lanjut, mereka belum juga dikaruniai anak. Sementara Nabi Ibrahim berharap bisa memiliki keturunan untuk meneruskan dakwahnya. Atas izin Allah, tidak berapa lama kemudian Siti Hajar mengandung dan melahirkan seorang putra yang diberi nama Ismail. Nabi Ibrahim AS sangat bersuka cita. Namun Siti Sarah yang semula begitu menyetujui pernikahan mereka, merasa cemburu melihat Siti Hajar dapat memberi suaminya seorang putra.
“Kenapa bukan aku?” pikirnya.
Setelah kecemburuannya tak tertahankan lagi, ia meminta suaminya untuk mengusir Siti Hajar .
“Suamiku, bawalah Siti Hajar dan anaknya Ismail pergi dari sini, aku tidak tahan melihatnya,” pinta Siti Sarah .
“Tapi, Siti Hajar baru saja melahirkan dan Ismail masih bayi merah, tidak kasihankah engkau pada mereka?” tanya Nabi Ibrahim AS.
“Aku tidak dapat menahan kecemburuanku melihat anugerah yang diberikan Allah pada Siti Hajar , tolonglah bawa mereka pergi jauh-jauh!” Siti Sarah memohon.
Nabi Ibrahim terdiam. Kemudian turunlah wahyu Allah yang memerintahkannya untuk membawa Siti Hajar dan Ismail ke sebuah gurun pasir. Maka ia segera menyiapkan perbekalan untuk perjalanan mereka. Esoknya berangkatlah ketiga anak beranak ini dari Palestina menuju gurun pasir yang tandus.
Berhari-hari mereka mengarungi gurun pasir yang tandus dan terik hingga tibalah mereka di suatu tempat yang sekarang bernama Mekah. Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk meninggalkan Siti Hajar dan Ismail di tempat itu.
“Istriku, disinilah aku harus meninggalkan engkau dan Ismail. Sementara aku harus kembali ke Palestina dan meneruskan dakwahku,” kata Nabi Ibrahim AS.
Mendengar kata-kata suaminya, Siti Hajar menangis karena ketakutan.
“Suamiku tegakah engkau meninggalkan aku dan anakmu yang baru lahir ini di padang tandus tak berpenghuni ini?” tangisnya.
“Kemana nantinya aku encari perlindungan?”
“Siti Hajar istriku. Tentu saja berat hatiku meninggalkan kalian berdua di sini. Tapi ini adalah perintah Allah. Percayalah pada perlindungan-Nya. InsyaAllah Ia akan selalu menolongmu,” kata Nabi Ibrahim AS.
Siti Hajar segera menyadari tugas yang diemban suaminya sebagai Nabi, maka dengan ikhlas ia merelakan suaminya untuk kembali ke Palestina.
Nabi Ibrahim AS segera memanjatkan doa, memohon perlindungan Allah untuk anak dan istrinya, “Ya Allah lindungilah anak dan istriku dan muliakanlah tanah ini di kemudian hari.”
Kemudian dengan perasaan berat ia berpamitan kepada Siti Hajar dan mencium kening Ismail. Sepeninggal Nabi Ibrahim, Siti Hajar terduduk di tengah gurun. Matahari seolah ingin membakar semua makhluk yang ada di bawahnya. Setan yang senang menggoda manusia, membisikkan pikiran-pikiran jahat di benak Siti Hajar .
“Hai Siti Hajar . Percayakah engkau dengan yang diucapkan suamimu? Allah tidak mungkin memberikan perintah yang kejam. Itu pastilah akal-akalan suamimu untuk mengusir kalian,” bisiknya.
“Demi Allah, aku percaya dengan kemuliaan suamiku. Pergilah dari pikiranku!” Siti Hajar berbicara dalam batinnya.
Untuk menentramkan hati, Siti Hajar memanjatkan doa kepada Allah SWT, “Ya Allah yang Maha Agung lindungilah hambaMu. Dan berilah hamba ketabahan serta kesabaran yang tinggi.”
Sebentar saja perbekalan mereka habis. Tak ada air yang tersisa.
Ismail mulai menangis karena kelaparan dan kehausan. Siti Hajar mencoba menyusuinya, namun tak setetes pun ASInya yang keluar. Ia mulai panik. Ia mencoba memeras kerudungnya, berharap ada keringatnya yang bisa diminum Ismail, tapi keringatnya pun kering. Ia meletakkan putranya di tanah.
“Anakku, tunggulah di sini. Ibu akan mencoba mencari air. Mudah-mudahan di bukit itu ada mata airnya,” kata Siti Hajar .
Lalu ia berlari-lari kecil mendaki bukit Shofa hingga ke puncaknya. Alangkah kecewanya ia, karena tidak setetes air pun yang ditemukannya. Dari puncak bukit Shofa ia melihat bahwa di bukit satunya (bukit Marwah) sepertinya ada mata air.
Maka ia kembali berlari menuruni bukit Shofa dan mendaki bukit Marwah. Namun ternyata yang dilihatnya hanyalah fatamorgana. Tak ada air di sana. Bukit itu sama tandusnya. Tiba-tiba ia melihat bahwa di bukit Shofa ada mata air.
Segera ia kembali menuju bukit Shofa dan menemukan bukit itu tandus. Ia terus berlari bolak-balik antara Shofadan Marwah hingga tujuh kali. Inilah nantinya yang dalam ibadah haji disebut Sa’i.
Siti Hajar sangat kelelahan dan hampir putus asa. Tiba-tiba ia melihat Ismail yang masih menangis, menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. Dari hasil hentakkannya itu keluarlah air yang memancar. Siti Hajar segera berlari mendekati anaknya. Air iu memancar deras dan menyebar kemana-mana.
“Zam zam!” kata Siti Hajar yang artinya ‘berkumpullah’.
Air itu kemudian berkumpul dan membentuk sebuah genangan yang luas. Dengan gembira Siti Hajar memberi minum putranya hingga kenyang, lalu ia pun minum untuk menghilangkan dahaganya.(bersambung)