Jualan Es Alpukat, Tuna Rungu di Banyuwangi Mampu Hidupi Keluarga
Kamis, 3 Desember 2020, siang, Ngopibareng.id memacu kuda besi menuju Jalan Bengawan, Banyuwangi. Seorang penjual es alpukat kocok berjulan di pinggir jalan. Selain rasanya yang lezat, penjual es alpukat adalah sosok istimewa. Seorang tuna rungu berusia 43 tahun.
Sudah terbayang segarnya es alpukat kocok. Tiba di sana, seorang pria sedang duduk santai di belakang sebuah bidak kecil. Seorang diri.
Pada bagian depan bidak kecil itu terlihat tulisan ‘Backcool Es Alpukat Kocok’. Pria penjual es alpukat kocok dengan ramah menyambut menggunakan bahasa isyarat. Dia menunjuk ke arah selembar kertas berwarna hitam terbungkus laminating.
Kertas itu digantung di bagian atas bidak. Pada kertas itu tercetak huruf kapital berwarna putih bertuliskan ‘TUNA RUNGU, DAFTAR HARGA 10K’. Ya! penjual minuman ini seorang penyandang disabilitas tuna rungu.
Dengan bahasa isyarat pada umumnya, Ngopibareng,id memesan es alpukat kocok. Dengan lincah pria itu mulai membelah buah alpukat segar yang ditempatkan di rak di atas meja. Meraciknya dengan bahan lain. seperti susu dan serbuk coklat
Soal protokol kesehatan, tak perlu ditanya. Pria ini selalu menggunakan masker. Ada pula sebotol hand sanitizer di sudut bidak itu.
Sambil menunggu pesanan, Ngopibareng.id mencari cara agar bisa berkomunikasi dengannya. Akhirnya, Alvian Krisna, 27 tahun, anggota Komunitas Tuli Banyuwangi atau (Taliwangi), bersedia membantu wawancara dengan penjual es alpukat kocok.
Tuna Rungu Jual Es Alpukat
“Oh yang jualan di pinggir jalan dekat kuburan itu ya, saya kenal. Saya ke sana sekarang,” ungkap Alvian dari ujung telepon.
Setibanya Alvian di lokasi, komunikasi pun berjalan lancar. Pria penjual es alpukat bernama Suyono, 43 tahun. Dia berasal dari Wongsorejo, Banyuwangi.
Suyono menetap di Lingkungan Gentengan, Kelurahan Singonegaran, Banyuwangi setelah menikah dengan Elyana, 43 tahun. Dari pernikahannya, Dia dikaruniai dua orang anak, masing-masing Afrizki Dova Pratama, 16 tahun, dan Kirana Angrayni, 10 tahun.
Suyono mulai berjualan es alpukat kocok sejak 27 Oktober 2020 lalu. Usaha baru ini, terpaksa ditekuninya. Sebelumnya Suyono merupakan pedagang makanan keliling. Dia menjual tela-tela dan sempol di sekolah-sekolah. Usaha lamanya itu lumayan menghasilkan. Dari usahanya itu dia bisa menghidupi keluarga dan menyekolahkan kedua anaknya.
Namun jualan keliling terpaksa tidak bisa dilakukan lagi saat pandemi Covid-19 mulai melanda Indonesia. Karena sekolah tatap muka tidak lagi dilakukan. Pembelajaran untuk anak sekolah dilakukan secara daring.
“Sejak adanya pandemi sudah tidak bisa berjualan keliling lagi, karena sekolah-sekolah libur semua,” jelas Suyono melalui Alvian.
Jual Motor untuk Modal
Sebelum berjualan es alpukat kocok, Suyono bekerja serabutan. Asalkan bisa menghasilkan uang halal dia lakukan. Sampai akhirnya ada temannya dari Surabaya yang mengajarinya membuat es kocok alpukat. Sejak itu dia memutuskan untuk mulai berjualan es kocok tak jauh dari tempat tinggalnya.
Untuk memulai usaha ini, Suyono harus mengeluarkan modal cukup besar. Kurang lebih butuh Rp4 juta. Modal ini digunakan untuk membuat bidak, membeli barang-barang modal dan bahan untuk berjualan, termasuk banner.
Dia harus menguras tabungan untuk bisa berjualan es alpukat kocok ini. Tapi itu belum cukup untuk modal. Sehingga dia terpaksa menjual sepeda motor sebagai tambahan modal.
“Awalnya punya dua motor. Yang satu dijual untuk tambahan modal berjualan es alpukat kocok,” ungkap Suyono dengan bahasa isyarat.
Setiap harinya Suyono berdagang sendirian. Istrinya, fokus membantu anak-anaknya belajar di rumah. Hanya sesekali saja istri dan anaknya datang ke bidak tempatnya berjualan.
Dengan kekurangannya, Suyono tetap berjualan dengan percaya diri untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Pria kelahiran tahun 1977 ini juga tidak takut pembelinya kesulitan untuk berkomunikasi.
Jika ada pembeli yang datang dia tinggal menunjukkan kertas yang berisi tulisan ‘TUNA RUNGU DAFTAR HARGA 10K’ tadi. Pengunjung pun langsung mengerti.
“Setelah saya tunjukkan itu, mengerti. Karena saya tidak menjual minuman atau makanan lain. Hanya satu menu ini saja,” jelasnya.
Tak berselang lama, istri dan anak perempuan Suyono tiba di bedak. Sesekali, anak kedua Suyono, Kirana, ikut membantu menerjemahkan bahasa isyarat orang tuanya.
Setiap harinya, Suyono mulai membuka bidak es alpukat kocok itu pada pukul 09.00 WIB. Dia berjualan selama 12 jam lamanya.
Dalam sehari, dia bisa menjual belasan hingga puluhan es kocok alpukat. Rata-rata dalam sehari dia bisa meraih omset penjualan antara Rp100 ribu hingga Rp200 ribu. Pernah juga mendapatkan omset hingga Rp500 ribu.
“Pernah dapat Rp500 ribu, waktu itu ada yang borong. Kalau sehari-hari tergantung cuacanya, kalau pas panas ya ramai. Tapi kalau pas mendung apalagi hujan ya sepi,” beber Kirana.
Es alpukat kocok buatan Suyono memilik rasa yang nikmat, legit dan juga segar. Paduan susu, serbuk coklat dan alpukat yang dikocok secara manual memberikan citarasa yang khas. Rasa buah alpukatnya sangat dominan karena porsi buahnya cukup banyak.
“Saya suka dengan es alpukat kocok ini. Rasanya enak dan buah alpukatnya sangat terasa,” terang salah seorang pembeli, Alula, warga Kelurahan Kertosari, Banyuwangi.
Advertisement