Perjalanan Kasus Grha Wismilak Hingga Berujung Penyitaan
Penyidik Subdit II Tipidkor Ditreskrimsus Polda Jawa Timur terus melakukan penyidikan terkait dugaan pemalsuan dokumen otentik dan korupsi terkait Grha Wismilak di Jalan Darmo 36-38, Surabaya.
Kasus ini mulai terungkap ketika Polda Jatim melakukan inventarisasi aset. Kemudian, diketahui Gedung Grha Wismilak itu adalah aset milik Polri.
"Ini tercatat di buku inventaris Polda Jatim tahun 1993 dan masih ada dokumen itu," kata Direktur Ditrerskrimsus Polda Jatim, Kombes Pol Farman, Jumat 18 Agustus 2023.
Dari itu kemudian proses penyelidikan, penggeledahan, penyitaan, hingga penyidikan dilakukan.
Sejauh ini, penyidik sudah memeriksa 22 saksi dan 5 ahli. Kemudian, telah dilakukan dua kali gelar perkara bersama Kanwil BPN Jatim terkait proses penerbitan sertifikat yang menjadi dasar penempatan dan BPKP Jatim untuk menghitung kerugian negara.
Polri Merasa Tertipu
Farman menceritakan, sejak tahun 1945-1933 tanah dan bangunan tersebut digunakan sebagai Kantor Polisi Istimewa yang kemudian menjadi Mapolresta Surabaya Selatan.
Pada saat objek masih ditempati sebagai kantor polisi, muncul HGB baru. Ia mengaku, tahun 1992 memang ditemukan data tentang HGB mati, yang kemudian menjadi dasar jual beli hingga penerbitan HGB baru. Namun, soal itu masih didalami.
HGB mati itu menjadi awal proses jual beli antara Nyono Handoko dari PT Hakim Sentosa dengan Willy Walla dari PT Gelora Djaja yang kemudian kini digunakan sebagai Grha Wismilak.
Dalam prosesnya terdapat dua tahapan yakni perikatan jual beli bahwa pihak pertama Nyono Handoko dan pihak kedua Willy Walla sudah mengetahui adanya surat perjanjian antara PT Hakim Sentosa dengan Polda Jatim.
"Intinya apabila memang benar aset itu milik Nyono Handoko dan harus dilakukan okupansi maka harus ada tanah penggantinya seluas 4.000 meter. Itu sudah diketahui Pak Willy Walla," kata mantan Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya itu.
Kemudian dalam perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) itu disebutkan proses pembelian itu akan dilaksanakan apabila perjanjian PT Hakim Santosa dengan Polda Jatim sudah terpenuhi semua. "Namun faktanya perjanjian PT Hakim Sentosa dengan Polda waktu itu tidak terlaksana. Artinya tanah pengganti sampai sekarang hingga kita penyidikan tidak ada tanah pengganti itu," imbuhnya.
Dalam sejarahnya kemudian, Polda Jatim sempat meminta izin kepada Pemkot Surabaya untuk meminjam lahan untuk memindahkan kantor polisi dari Jalan Darmo 36-38 ke lahan milik pemkot. Dengan status pinjam pakai Polres Surabaya Selatan pindahan ke tempat yang kini digunakan sebagai Polsek Dukuh Pakis.
"Bukan penggantinya. Kita tertipu, tanah itu diluar kompensasi, dan dibungkus seolah-olah pengganti kompensasi. Masyarakat tahunya diganti sama tanah yang di Dukuh Pakis, ternyata kita baru tahu itu baru dihibahkan (pemkot) kemarin tahun 2019," bebernya
Karena itu, Pejabat Utama Polda Jatim itu mengaku heran kenapa muncul SHGB padahal tanah tersebut masih aset polri yang tertulis dalam buku inventaris.
Di sisi lain, SHGB 648 dan 649 yang dibeli sah oleh PT Gelora Djaja tertulis berdasar SK Kanwil BPN Nomor 1501 dan 1052 yang terbit 22 Juli 1992. Namun, saat ditelusuri SK tersebut tidak terdaftar dalam sistem Kanwil BPN.
Cacat Administrasi
Untuk itu, Polda Jatim dalam hal ini melakukan pemeriksaan terhadap Kakanwil BPN Jatim Jonahar dan Kepala Kantor BPN 1 Surabaya Kartono Agustiyanto untuk mengetahui proses penerbitan SHGB.
Ditemui usai pemeriksaan, Jonahar menegaskan, adanya cacat admistrasi terkait Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) nomor 648 dan 649.
"Setelah kita cocokkan data Kanwil BPN dan Kantor Pertanahan yang terbit tahun 1992 memang ada cacat administrasi dalam penerbitan SK," ungkap Jonahar.
Cacatnya, ia menjelaskan, bahwa adanya kesalahan terkait bangunan yang dimohon oleh pemohon dengan SK. "Cacatnya adalah yang dimohon itu letaknya di A SK-nya terbit di B. Jadi, yang dimohon (bangunan nomor) 63-65 tapi yang terbit di tempat berbeda yakni nomor 36-38," jelasnya.
Atas dasar itu, kemudian Kanwil BPN Jatim telah mengajukan pembatalan sertifikat hak atas tanah tersebut ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Republik Indonesian.
"Yang mengatakan bisa membatalkan itu pusat karena ada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 apabila pemberian hak atas tanah (sertifikat lebih 5 tahun) tidak bisa dibatalkan kecuali ada putusan pengadilan," jelas Jonahar.
Terkait prosesnya sendiri, Jonahar mengaku tidak tahu karena proses permohonan hingga terbitnya sertifikat tersebut sudah tahun 1992 lalu.
Namun, ia memastikan ada oknum dari dalam Kantor Kanwil BPN Jatim. "Ya ada, yang menerbitkan SK tahun 1992," pungkasnya.
Di sisi lain, saat coba dikonfirmasi Ronald Walla perwakilan Wismilak enggan memberikan konfirmasi dan langsung meninggalkan Mapolda Jatim.
Advertisement