Perjalanan Karir Patrialis Akbar
Patrialis Akbar resmi ditangkap KPK pada Kamis (26/1) pagi. Hakim Mahkamah Konstitusi yang juga mantan anggota DPR ini diketahui memiliki kekayaan sebanyak 14,9 Milliar.
Patrialis juga diketahui memiliki karier politik yang cukup bersinar, ia pernah menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM pada Kabinet Indonesia Bersatu II. Dengan begitu, pria berdarah Minang ini setidaknya pernah menduduki posisi di tiga cabang kekuasaan negara, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Seperti yang dilansir dari laman mahkamahkonstitusi.go.id, Patrialis dibesarkan oleh keluarga veteran. Sejak kecil, ia diajarkan hidup berkecukupan dengan membantu usaha yang dijalankan ayahnya, Letda (Purn) H. Ali Akbar, di Desa Kampung Jua, Padang. Tak hanya itu, sejak remaja ia dikenal cukup 'gila' dengan pendidikan. Dia mengenyam edukasi di dua tempat sekolah menengah atas sekaligus.
"Saya sekolah agama pada pagi hari dan bersekolah di STM siang hari," kenang Patrialis.
Lulus STM, Patrialis merantau ke Jakarta demi melanjutkan pendidikan di UI. Namun niat baiknya kandas lantaran surat keterangan anak veteran yang dibawanya berakhir di tempat sampah petugas TU UI. Patrialis akhirnya menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta dan langsung mendapat kesempatan untuk menjadi asisten dosen filsafat hukum.
Di kampus, Patrialis aktif bergabung dalam beberapa lembaga dan organisasi di kampus, salah satunya organisasi Pemuda Muhammadiyah. Hal inilah yang sedikit mengasah kemampuan diplomasinya sebagai pengacara.
Tahun 1998, setelah berkenalan dengan Amien Rais, Patrialis ditawari bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN). Hal inilah yang mengantarkannya menjadi anggota DPR-RI dari daerah pemilihan Sumatra Utara selama dua periode (1999–2004 dan 2004–2009).
Setelah dua periode bergelut di Komisi Hukum DPR, Patrialis memutuskan bergabung dalam Tim Sukses pasangan peserta pilpres 2009 Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Kontribusinya sebagai anggota tim advokasi dan bantuan hukum dalam tim sukses, membuatnya dipercaya mengisi jabatan Menteri Hukum dan HAM Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II oleh SBY.
Ketika menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM, Patrialis dikenal tegas dalam mendukung hukuman mati. Dia pernah bersuara soal hukuman mati bagi koruptor. Menurutnya, korupsi adalah salah satu penyebab terjadinya bencana atau krisis di masa sekarang.
Jabatan Menteri Hukum dan HAM tak diselesaikan oleh Patrialis hingga satu masa periode kabinet. Setelah bergelut di bidang legislatif dan eksekutif, Patrialis kemudian dipercaya mengisi jabatan di ranah yudikatif sebagai hakim Mahkamah Konstitusi.
Pada 13 Agustus 2013, Patrialis resmi menduduki kursi hakim Mahkamah Konstitusi. Ia mengucap sumpah bersama hakim MK Masia Farida Indrati juga Ketua MK saat itu Akil Mochtar, yang kini sedang mendekam di balik jeruji besi. Namun, kehadirannya di MK dinilai kontroversial lantaran ia dianggap tidak layak dan kompeten duduk di kursi kehormatan hakim.
Tak hanya dianggap belum berpengalaman, Patrialis juga dianggap riskan untuk menurunkan marwah MK. Hal ini lantaran mengingat rekam jejaknya yang kental dengan kepentingan politik, juga ia dinilai dekat dengan banyak penguasa di ranah eksekutif. (hrs)
Advertisement