Perjalanan Islam di Bekas Keraton Djipang, Kisah Arya Penangsang
“Yang jelas, beliau itu waliulloh,” kata Safuan, salah seorang tokoh Desa Jipang, melalui pesan Whatsappnya sesaat wartawan menyampaikan maksud mengangkat tentang sosok santri murid Sunan Kudus, yang terkenal dengan nama besarnya, Arya Penangsang.
Rabu 6 April 2022 sore. Tepatnya setelah salat Asar kami janji bertemu di musala area makam Gedong Ageng Desa Jipang Kecamatan Cepu Kabupaten Blora Jawa Tengah. Area ini dikenal sebagai lokasi berdirinya Keraton Djipang yang pernah jaya pada masanya. Sekira abad ke 15. Sebelum mengalami kehancuran karena peperangan.
Setelah memperkenalkan diri, kami mulai membuka perbincangan. Sosok santri yang ditempatkan di tanah pardikan dari Kerajaan Demak pada masa itu, bertujuan untuk menyebarkan agama Islam.
Sebagai salah satu santri dari sembilan wali, Arya Penangsang mempunyai kewajiban untuk membumikan Islam di tanah pardikan tersebut.
Disampaikan, bahwa Arya Jipang sebutan lain Arya Penangsang, adalah sosok yang berwibawa. Tidak bengis. Bisa diketahui dari gurunya yang juga merupakan seorang wali. Pada masanya, penyebaran Islam diyakini cukup baik.
Terbukti, ada petilasan yang berwujud bekas material bangunan berupa bata yang bertumpuk tak beraturan. Terletak di area persawahan yang pada saat itu masuk dalam lingkungan keraton. Berada di bawah rerimbunan pohon. Tidak jauh dari makam gedong masjid. “Itu dulunya adalah bangunan masjid,” jelasnya dengan suara agak lirih.
Kemudian ada makam Santri Songo yang membantu pemerintahan Djipang. Mereka meninggal, dibantai. Diduga menjadi korban politik. Saat itu Santri Songo dikira sebagai telik sandi musuh.
Meski ajarannya tidak membekas, lanjut dia, namun masih ada keyakinan bahwa Arya Penangsang adalah termasuk utusan untuk masyarakat Djipang pada waktu itu, untuk menyebar luaskan ajaran rohmatan lil’alamin. Pergolakan politik yang cukup dahsyat, akhirnya kekuasaan Arya Penangsang jatuh. Keraton Djipang runtuh.
“Dari runtuhya Keraton Djipang saat itu, seakan ada tutup buku sejarah. Fitnah kejam disebarkan. Hingga masyarakat setempat menjadi 'Abangan',” tuturnya.
Sikap abangan itu, menurut dia, bisa jadi karena kejamnya fitnah dan pergolakan politik pada masa itu. Karena mungkin, kata dia, masyarakat merasa stres dengan fitnah, akhirnya mereka mengiyakan dan mewujudnya fitnah itu. Menjadi masyarakat abangan dengan watak bengis seperti penguasanya.
“Lambat laun, seingat saya mulai era 80an, masyarakat mulai beraktivitas keagamaan. Meski tidak banyak. Entah siapa yang memelopori. Sampai sekarang,” jelasnya.
Mungkin, lanjut dia, kebenaran sejarah itu mulai muncul. Banyak ulama dan orang besar yang berziarah ke makam Gedong. Yang meyakini bahwa makam Arya Penangsang berada di sini. Tidak sedikit ulama pula yang meyakini bahwa dia (Aria Penangsang) adalah waliulloh.
“Sekarang ini kami mencoba mulai untuk memugar lokasi untuk peziarah supaya lebih nyaman. Pemugaran ini pun atas masukan dari Habaib, kiai sepuh dan tokoh masyarakat dari luar. Bahkan ada yang masih garis keturunan Arya Penangsang,” tambahnya.