Perjalanan Garis Tedja Soeminar; Dari Galnas untuk Indonesia
Betapa bahagia kedua putri pelukis almarhum Tedja Soeminar, Swandayani dan Natalini Widhiasi. Sebuah buku perjalanan sketsa-sketsa Tedja telah terbit, dan yang menerbitkan adalah institusi seni rupa bergengsi, Galeri Nasional.
“Perjalanan Garis Tedja Soeminar” edisi mewah dengan hard cover, tebal 219 halaman, berbahasa Indonesia dan Inggris, menyajikan karya-karya Tedja dari tahun 1958 sampai 2016. Buku ini ditulis oleh Swandayani, dibantu Ruzdi Zaki. Sedang terjemahan ke bahasa Inggris dikerjakan Sirikit Syah. Desain dan layout oleh Amir Kiah.
Konon, almarhum Tedja Soeminar sendirilah yang merancang dummy untuk buku ini, karena angan-angan untuk menuangkan perjalanan kreatifnya dalam sebuah buku sudah lama ada dalam benaknya.
“Terimakasih Pak Pustanto, Pak Zamrud dan Pak Yusuf Susilo Hartono dan tim Galnas yang akhirnya mewujudkan buku ini,” tulis putri sulung Tedja Soeminar dalam buku ini.
“Akhirnya cita- cita almarhum untuk memiliki Buku Biografi terwujud, dan buku ini dicetak sekaligus oleh Galnas. Puji Tuhan, terwujud semuanya. Papi, Ibuk, inilah persembahanku dari Swandajani dan Lini,” tulis Swandayani dalam pengantar.
Pustanto, Kepala Galeri Nasional menyebut Tedja Soeminar memang sosok yang diperhitungkan dalam menandai perkembangan seni rupa Indonesia. Karya-karyanya layak disandingkan dengan seniman tersohor Indonesia. Karena itu Galeri Nasional menampilkan karya-karya Tedja berdampingan dengan sketsa S.Sudjojono, Harijadi Sumadidjaja, Srihadi Soedarsono serta seniman-seniman lainnya.
“Garis-garis sketsa Tedja dikagumi oleh para penikmat lintas zaman. Obyek maupun suasana yang diangkat juga tak lekang waktu. Jadilah karya Tedja yang dapat dinikmati berbagai generasi,” tulis Pustanto.
Galnas menerbitkan buku ini, alasannya, sebagai salah satu media dokumentasi, agar karya-karya Tedja dapat diketahui, dinikmati, dan memberikan inspirasi bagi pembacanya. Melalui buku tentang Tedja Soeminar ini diharapkan muncul Tedja -Tedja berikutnya yang turut berkontribusi dalam memajukan seni rupa, khususnya sketsa Indonesia, kata Pustanto.
Tedja Soeminar, lahir di Ngawi 16 April 1936 dan meninggal di Surabaya 24Juni 2016, adalah salah satu seniman kawakan di eranya. Terlebih, Tedja termasuk seniman yang berbakat dan berprestasi. Bagi dunia seni rupa, Tedja adalah aset. Ketika aset itu telah tiada, maka ujudnya akan berganti menjadi dokumentasi atau arsip. Dengan adanya buku ini diharapkan bermanfaat untuk pembaca, baik seniman, akademisi, dan pihak lain yang ingin belajar seni dan kebudayaan.
Memang, Tedja Soeminar sebelum meninggal punya cita-cita menerbitkan buku mengenai kisah hidupnya. Kisah perjalanan dan proses kreatifnya. Dengan dibantu kedua anaknya, Swandajani dan Lini beserta beberapa pihak terkait, akhirnya buku ini bisa dirampungkan.
Dalam buku perjalanan hidup Tedja, terdapat banyak kesaksian dari orang-orang terdekatnya. Khususnya yang pernah bersinggungan secara langsung dengan Tedja. Mulai dari penyair, wartawan, seniman, hingga beberapa tokoh. Hal ini membantu pembaca untuk memahami pribadi dan sosok Tedja.
Berikut kesan dan catatan dari beberapa tokoh, tentang Tedja Soeminar:
Agus Koecink Sukamto, pelukis; Pak Te - sapaan akrabnya – ibarat spirit berkesenian. Terlahir dengan nama The Tiong Tien di Ngawi. Orang tuanya, The KiemLiong dan Hoen Nio berdagang palawija. Karena kecintaan pada Indonesia, ia mengganti nama menjadi Tedja Soeminar.
Tedja mulai menekuni dunia seni rupa tahun 1957 di Surakarta. Tedja tidak hanya belajar seni lukis. Ia juga banyak membaca buku budaya Jawa. Pengetahuan tentang budaya Jawa itu, secara tidak langsung mempengaruhi proses karyanya. Hal itu bisa dilihat pada sketsa karyanya Selalu Ada Tiwak dan Tayuban (2012) yang menggambarkan seni tayuban di Bojonegoro.
Nirwan Dewanto, penulis; Melihat karya-karya sketsa Tedja Soeminar, saya ingin mengatakan bahwa ia tergolong seniman jiwa-tampak. (Di sini perkenankanlah saya meminjam istilah ‘jiwa-tampak’ dari Sindudarsono Sudjojono, salah seorang pendiri seni lukis modern Indonesia).
Sang seniman harus melihat sendiri obyeknya di lapangan; ya, bukan hanya melihatnya, tapi juga tergetar olehnya. Jiwa yang tergetar itu tampak – atau, setidaknya berupaya menampakkan diri – di bidang gambar.
Kerja menjadi pelukis adalah memelihara potensi supaya getaran itu tetap ada. Itulah sebabnya Tedja mengembara, memilih tempat, dan jatuh kasmaran kepadanya. Tempat ini, beserta segenap orang dan benda yang dikandungnya, memancing rasa, rasa jiwa, yang pada akhirnya menggerakkan tangannya.
Efix Mulyadi, Wartawan dan Kurator Bentara Budaya; Tedja Soeminar dan dunia sketsa memang tidak bisa terpisahkan. Gores garis-garisnya terkadang terkesan mengejar bentuk, namun lebih lagi muncul sebagai luapan karakter. Itu tampak di dalam banyak karyanya sejak masih pada masa awal seperti Barong Bali pada tahun 1959 – tahun dia masuk Akademi Kesenian Surakarta.
Bahkan sampai lebih setengah abad sesudahnya kekuatan goresan spontannya masih bisa dilacak, misalnya pada Anak-anak Campong Madura atau tentang karapan sapi yang ia tandai dengan tulisan Bintang Madura, keduanya dikerjakan tahun 2015.
Bambang Bujono, penulis, pengulas seni; Tedja Soeminar mencatat dengan garis. Ia mencatat suasana, peristiwa, manusia, alam, bangunan, sejak belajar di Akademi Kesenian Surakarta pertengahan 1950-an. Ia mencatat apa saja yang dilihat. Kita lihat catatan yang lazim kita sebut sebagai sketsa atau gambar itu merekam berbagai obyek, lengkap dengan latar belakangnya.
Misalnya sketsa tiga anak nelayan dan perahu-perahu, di latar tampak laut, awan, dan matahari. Namun ada kalanya latar belakang itu hanya bidang gambar yang putih (kebanyakan sudah putih kekuningan karena waktu), dan beberapa goresan garis di dekat obyek.
Memang, sketsa-sketsa Tedja dalam kurun waktu hampir 60 tahun, garis tak tampil sendiri; muncul pula pulasan (bila ia menggunakan media keras seperti pensil, pastel atau arang) dan blok (bila ia menggunakan media cair seperti tinta, atau akrilik). Karena itu sketsa-sketsa Tedja tak sebagaimana dikatakan oleh Kusnadi, pelukis dan pengulas seni rupa, dosen ASRI Yogya, di tahun 1950-an, bahwa sketsa adalah gesekan biola tunggal, hanya garis.
Ipong Purnomo Sidhi, pelukis; Mas Tedja dikenal sebagai pelukis yang gemar turun ke lapangan. Sketsa yang sering ditorehkan di atas kanvas, atau kertas, dikejar di bawah terik matahari. Ke pasar, kerumumnan orang, pemandangan sekitar, ke tengah keramaian. Banyak karya dikerjakan on the spot dengan garis liris lembut dan keluwesan tangan yang menghasilkan karya artistik di ujung kuasnya.
Narto, guide di Ubud; Saya bukan pelukis, tetapi sejak tinggal di Ubud dan Tampaksiring tahun 1998 hingga kini, saya bersahabat dengan banyak pelukis. Saya sering melihat pameran dan bertukar pikiran dengan mereka. Di antara pelukis senior di Ubud yang saya kenal tentu saja nama Tedja Soeminar. Beliau menempati tempat khusus di hati saya.
Saat melihat pameran lukisannya di Ubud beberapa kali, saya sangat terkesan pada ‘sketsa-sketsa mautnya’. Gores sketsanya hidup dan realistik. Jiwa obyek/subyek dari suasana-momen yang dipindahkan ke sketsanya pun terasa hidup. Kita terserap dalam sketsa dan larut dalam suasana batin Pak Tedja saat mengabadikannya.
Freddy H. Istianto, Direktur Sjarikat Poesaka Soerabaya; Tedja Soeminar sosok yang sangat sederhana dan apa adanya. Perhatian pada kolega bahkan pada saya yang lebih muda itu juga luar biasa. Sampai-sampai saya salah tingkah kalau beliau mengirim salam atau bertanya kabar saya lewat WhatsApp. Padahal beliau adalah seniman besar kelas internasional yang harusnya kami yang muda ini yang menyapa atau mengapresiasinya. Relasi yang sangat dekat dan hangat dengan keluarga adalah ekspresi keberkesenian seorang Tedja Soeminar yang menggores kuas cintanya pada kanvas keluarga.
Poerono Sambowo, pelukis tinggal di Surabaya; Tedja Soeminar adalah pelukis Surabaya yang punya posisi patut disejajarkan dengan pelukis Indonesia pada zamannya, yaitu M.Daryono, Krishna Mustadjab, O.H.Supomo, Amang Rahman, Karyono YS, dan M.Suyono, yang sudah menasional atau bisa disebut pelukis papan atas.
Mas Te, begitu saya memanggilnya, adalah pelukis bersahaja dengan intensitas tinggi, kemampuan yang memadai, aktif, dinamis, bergerak ke tempat di mana ada peristiwa atau momen yang menurut dia patut diabadikan lewat sebuah karya seni berupa lukisan, patung, relief dan sketsa. Beberapa karya dia bercorak realis yang menurut saya juga ekspresif.
Yoes Wibowo, pelukis; Mbahde Tedja bagi saya sangat istimewa. Menginspirasi. Ketenangannya berkarya, dinikmati, fokus, dan totalitas. Sebagai sketer legendaris tidak mengurangi sikap baik dan perhatiannya kepada sketser pemula seperti saya. Bahkan selalu support dan mengabarkan hal-hal menarik dan perlu untuk saya ketahui sebagai referensi. Beruntung saya sempat menemaninya berkarya. Hal itu sangat membawa rasa percaya diri saya menguat saat harus berkarya di hadapan obyek secara langsung. Saya juga dianggap keluarga sendiri oleh Mbahde Tedja. Perhatiannya semasa hidup, masukan, kritik, dan pujiannya membuat saya semakin bersemangat berkarya. Spirit Tedja Soeminar tidak pernah padam. (m.anis)