Peristiwa Terdahsyat! Hari Pembalasan dalam Tafsir Ibnu Katsir
Hari Pembalasan niscaya akan tiba. Sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Ghaasyiyah oleh Ibnu Katsir. Termasuk dalam Surah Makkiyyah, Surah ke-88 terdiri dari 26 ayat.
Kali ini kita mencoba memahami hal ihwal Hari Pembalasan, tafsir Surat al-Ghaasyiyah: 17-26 dari Kitab Tafsir Ibnu Katsir:
Al-Quran Surat al-Ghaasyiyah ayat 17-26:
17. Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan,
18. dan langit, bagaimana ia ditinggikan?
19. dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?
20. dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
21. Maka berilah peringatan, karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.
22. kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka,
23. tetapi orang yang berpaling dan kafir,
24. Maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar.
25. Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka,
26. kemudian Sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.” (al-Ghaasyiyah: 17-26)
Allah berfirman seraya memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk melihat kepada makhluk ciptaan-Nya yang menunjukkan kekuasaan dan keagungan-Nya: afalaa yandzuruuna ilal ibili kaifa khuliqat (“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan?”) sesungguhnya ia merupakan ciptaan yang sangat menakjubkan dan susunan tubuhnya sangat mengherankan, dimana unta itu mempunyai kekuatan yang sangat dahsyat. Namun demikian, ia sangat lentur untuk dijadikan sebagai sarana mengangkut beban yang berat dan mengantarkan kusir yang lemah, dagingnya dapat dimakan, dan kulitnya bermanfaat, serta susunya dapat diminum. Mereka diingatkan mengenai hal tersebut, karena mayoritas binatang ternak yang dimiliki masyarakat Arab adalah unta.
Syuraih al-Qadhi mengatakan: “Marilah keluar bersama kami sehingga kita dapat melihat unta, bagaimana ia diciptakan, juga melihat langit bagaimana ia ditinggikan.” Maksudnya, Allah meninggikan langit dari bumi. Dan yang demikian itu merupakan pengangkatan yang sangat agung. Sebagaimana difirmankan Allah: afalam yandzuruu ilas samaa-i fauqaHum kaifa banainaaHaa wa zayyannaaHaa wa maa laHaa min furuuj (“Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun.” (QS al-Qaaf: 6)
Wa ilal jibaali kaifa nushibat (“Dan gunung-gunung bagaimana ia ditinggikan.”) artinya, menjadikannya tertancap kuat sehingga benar-benar kokoh dan tangguh agar bumi beserta penghuninya tidak menjadi goyang. Dan di dalamnya diberikan berbagai manfaat dan juga barang tambang.
Wa ilal ardli kaifa suthihat (“dan bumi, bagaimana ia dihamparkan.”) maksudnya, bagaimana bumi itu dibentangkan, dihamparkan dan dipanjangkan. Dengan demikian Allah mengingatkan orang Arab Badui untuk menjadikan bukti dari apa yang mereka saksikan, yaitu unta yang ia naiki, langit yang berada di atas kepalanya, gunung-gunung yang berada di hadapan mereka, dan bumi yang berada di bawahnya, yang semuanya menunjukkan kekuasaan Pencipta semua itu, dan bahwasannya Dia adalah Rabb Yang Mahaagung, Pencipta, Raja, dan Pengendali. Dan Dia adalah Ilah yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Dia.
Demikianlah Dhimam membagi pertanyaan yang ditujukan kepada Rasulullah saw. sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Anas, dia berkata: “Kami pernah dilarang bertannya kepada Rasulullah saw. mengenai sesuatu. Yang mengherankan kami, ada seseorang dari penduduk pedalaman yang berakal datang, lalu bertanya kepada beliau sedang kami mendengar. Orang Badui itu datang dan berkata: “Hai Muhammad, sesungguhnya telah datang utusanmu kepada kami, lalu dia mengaku bahwa engkau menganggap bahwa Allah telah mengutusmu.” “Benar.” Jawab beliau. “Lalu siapa yang telah menciptakan langit?” tanya orang itu. Beliau menjawab: “Allah.” “Siapa pula yang menciptakan bumi?” tanyanya lebih lanjut. Beliaupun menjawab: “Allah.” Selanjutnya orang itu bertanya: “Jadi, Rabb yang telah menciptakan langit dan bumi serta menegakkan gunung-gunung itu, Allah-kah yang telah mengutusmu?” Beliau pun menjawab: “Benar.”
Orang itu melanjutkan: “Selain itu, utusanmu juga mengaku bahwa kami berkewajiban mengerjakan shalat lima waktu dalam satu hari satu malam?” maka beliau menjawab: “Benar.” Dia bertanya: “Demi Rabb yang telah mengutusmu, Allah-kah yang telah memerintahkan hal tersebut?” beliau mejawab: “Benar.” Kemudian orang itu berkata: “Utusanmu mengatakan bahwa kami berkewajiban mengeluarkan zakat dari harta-harta kami.” Lalu Rasulullah menjawab: “Benar.” Orang itupun bertanya: “Demi Rabb yang mengutusmu, Allah-kah yang telah memerintahkanmu dengan hal ini?” Nabi menjawab: “Benar.” Orang itu juga berkata: “Utusanmu juga mengaku kepada kami bahwa kami berkewajiban menunaikan ibadah haji ke Baitullah bagi yang mampu melakukan perjalanan kesana.” Beliau menjawab: “Benar.” Kemudian orang itu berpaling seraya berkata: “Demi Rabb yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak melakukan penambahan dan pengurangan terhadapnya sedikitpun.” Maka Nabi saw. bersabda: “Jika benar, dia pasti masuk surga.”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim, dan diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq. Juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa-i. Serta diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah dari Anas, dengan seluruh matan hadits yang panjang. Dan pada bagian akhir dia mengatakan: “Dan aku adalah Dhimam bin Tsa’labah, saudara Bani Sa’ad bin Bakr.”
Firman Allah: fadzakkir innamaa anta mudzakkir. Lasta ‘alaiHim bimushaithir (“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.”) maksudnya berikanlah peringatan, hai Muhammad, kepada manusia, mengenai apa yang engkau diutus dengannya kepada mereka. Fa innamaa ‘alaikal balaaghu wa ‘alainal hisaab (“Sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka.”)(QS ar-Ra’du: 40). Oleh karena itu Dia berfirman: lasta ‘alaiHim bimushaithir (Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.”)
Ibnu ‘Abbas, Muhahid, dan lain-lain mengatakan: “(Maknanya) lasta ‘alaiHim bi jabbaar [dan kamu sekali-sekali bukanlah pemaksa terhadap mereka] yakni kamu tidak bisa menciptakan keimanan di dalam hati mereka.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi umat manusia sehingga mereka mengucapkan ‘laa ilaaHa illallaaH [tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah]. Jika mereka telah mengucapkannya, maka darah dan harta mereka telah terlindungi dariku, kecuali dengan alasan yang dibenarkan. Sedangkan perhitungannya terserah kepada Allah.” Setelah itu Rasulullah saw. membaca ayat: fadzakkir innamaa anta mudzakkir. Lasta ‘alaiHim bimushaithir (“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.”)
Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab al-iimaan, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i di dalam kitab at-Tafsiir yang terdapat di dalam sunan-nya. Hadits ini juga diriwayatkan di dalam ash-Shahihain dari riwayat Abu Hurairah tanpa menyebutkan ayat di atas.
Firman Allah: illaa man tawallaa wa kafar (“tetapi orang yang berpaling dan kafir.”) maksudnya, berpaling dari amal perbuatan dengan seluruh sendinya dan kufur terhadap kebenaran dengan seluruh perbuatan dan lisannya. Oleh karena itu, Dia berfirman: fayu-‘adzdzibuHullaaHul ‘adzaabal akbar (“Maka Allah akan mengadzabnya dengan adzab yang besar.”)
Firman-Nya: inna ilainaa iyaabaHum (“Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka.”) yakni tempat kembali mereka. Tsumma inna ‘alainaa hisaabaHum (“Kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.”) maksudnya, Kami yang akan menghisab amal perbuatan mereka dan memberikan balasan atas semuanya itu. Jika baik, maka akan diberi balasan baik, dan jika buruk, maka akan diberi balasan yang buruk pula.
Sekian.
Wallahu a'lam.
Advertisement