Nyadran, SAH Nyekar ke Makam Seniman di Surabaya
Siti Anggraeni Hapsari atau yang karib disapa SAH, berinisiatif mengadakan kegiatan Nyadran Seni Suroboyo di TPU Tembok Gede, pada 7 Agustus 2020. Perempuan yang digadang maju sebagai bakal calon Wakil Walikota Surabaya ini, melakukan nyadran sebagai bentuk kepedulian dan apresiasinya sebagai warga Surabaya atas jerih payah para pahlawan seni, yang semakin hari semakin dilupakan. Utamanya oleh Pemkot Surabaya.
Kepada Ngopibareng.id, SAH menyatakan jika nyadran sebenarnya merupakan tradisi masyarakat Jawa dalam menyambut bulan suci Ramadhan, yakni berziarah dan membersihkan ke makam leluhur. “Bukan bermaksud mengkultuskan, namun kegiatan ini lebih kepada bentuk refleksi dan kontemplasi diri pada asal-usul atau riwayat kehidupan kita, menapaktilasi para pendahulu kita, terutama dalam bidang seni dan budaya," kata SAH, Sabtu 8 Agustus 2020.
Namun karena keterbatasan di saat pandemi, tidak semua makam seniman didatanginya, melainkan hanya tiga makam tokoh seni yang berada di TPU Tembok Surabaya.
Meski hanya tiga titik, ia merasakan cukup mewakili rasa bagaimana seni merupakan sebuah pergerakan pun bentuk sebuah perjuangan. Nyadran kali ini dimulai dengan berkunjung ke pusara Gombloh. "Siapa yang tak mengenal sang trubadur yang terlahir dengan nama lengkap Soedjarwoto Sumarsono ini? Maka itu saya kunjungi makam beliau," katanya.
Melalui lagu Kebyar-Kebyar dan Kugadaikan Cintaku, Gombloh mendapatkan atensi yang tinggi hingga saat ini. Menurut SAH, sepanjang menciptakan lagu, Gombloh selalu bersikap apa adanya.
Apa yang ia rasakan, apa yang ia alami, apa yang ia lihat, itulah sumber inspirasinya dalam berkarya. Pantaslah kiranya ia dijuluki sebagai sang trubadur.
Setelah ”bertamu” pada Gombloh, langkah kaki SAH pagi itu diteruskan menemui Gondo Durasim. Seniman yang kini namanya dijadikan gedung kesenian di Kota Surabaya.
Cak Durasim adalah seniman ludruk kelahiran Jombang. Dia adalah seniman ludruk sejati pada zaman Surabaya tempo dulu. Dialah yang memprakasai perkumpulan ludruk di Surabaya.
Pada tahun 1937, ia memopulerkan cerita-cerita legenda Surabaya dalam bentuk drama. Cak Durasim adalah seniman ludruk sekaligus pejuang. Pada tahun 1942 ketika tentara Jepang menguasai negeri ini, ia berjuang melalui ludruk sebagai media siar. Dia membangkitkan semangat juang arek-arek Suroboyo dan mengkritik pemerintah penjajah, di dalam pementasan drama ludruknya.
SAH mengaku ketika ia berada di hadapan pusara sang legenda, ia merasakan getaran-getaran resonansi yang meyakinkannya bahwa seni dan budaya lokal Surabaya harus hidup kembali.
"Jadi seni di Surabaya juga sebagai sarana kritik atas ketimpangan sosial yang terjadi. Saya berharap semangat Cak Durasim bersama seni panggung ludruknya dapat tetap tumbuh dan berkembang," katanya.
Nyadran ia akhiri dengan berziarah di pusara dari KH Ridlwan Abdullah, sang pencipta lambang organisasi NU (Nahdlatul Ulama). "Seni di Surabaya juga berfungsi sebagai sarana diplomasi yang begitu cair dalam memfasilitasi kepentingan-kepentingan ataupun melunturkan sejumlah ego sehingga didapatkan ikatan kolaboratif seperti filosofi ikatan tali yang ada pada logo NU," pungkasnya.