Perginya Sang Pemelihara Perbedaan
Kita kehilanyan sosok Pemelihara Perbedaan, saat kita tertatih-tatih belajar berjalan di atas kebhinnekaan. Nyaris sepanjang usia, semua daya dan ikhtiarnya, dikhidmahkan Mbah Moen untuk mendidik agar kita melihat perbedaan sebagai wasilah menuju bahagia.
Mau tahu kenapa Mbah Moen--KH Maimoen Zoebair, jadi tempat berteduh banyak orang, dari beragam stratifikasi sosial ? Salah satu jawabannya : karena beliau dikenal pandai memelihara perbedaan. Oleh Mbah Moen, perbedaan disikapi sebagai keniscayaan. Hidup dan kehidupan lahir karena perbedaan. Sesuatu bisa ada dan hidup, tersebab interaksi antarbeberapa hal berbeda.
Bangsa ini sangat kaya akan perbedaan. Namun karena tak mampu menyikapi dengan arif, sering perbedaan "sara" menyebabkan pertikaian. Kadang beda perspektif atas suatu masalah, menimbulkan permusuhan. Di tengah perbedaan yang menjurus pada lahirnya konflik, lalu muncul harapan akan adanya pranata sosial atau tokoh yang mahir memberi jalan keluar. Mbah Moen, dengan berbagai cara, kerap hadir dalam situasi tersebut.
*
Innaalillahi Wa Innaa Ilaihi Roji'un. Di saat kita sedang merajut benang basah akibat beda pandangan dan pilihan dalam pilpres 2019 lalu, Simbah pergi meninggalkan bangsa ini. Kita kehilanyan sosok Pemelihara Perbedaan, saat kita tertatih-tatih belajar berjalan di atas kebhinnekaan. Nyaris sepanjang usia, semua daya dan ikhtiarnya, dikhidmahkan Mbah Moen untuk mendidik agar kita melihat perbedaan sebagai wasilah menuju bahagia.
Penulis, sangat beruntung bisa berinteraksi dengan almarhum. Bisa merasakan dan menyaksikan, betapa Mbah Moen termasuk ulama yang langka dalam kedudukannya sebagai lentera ummat. Sebagai alim allamah, terlihat jelas pengaruhnya bagi para santri. Selain berjasa mengajarkan ilmu, almarhum juga berhasil melahirkan alim-alim lain sebagai penerusnya di tengah-tengah ummat.
Karena posisinya sebagai ulama, pengasuh pondok pesantren, dan mufti untuk beberapa lembaga, maka Mbah Moen sering berhadapan dengan ummat. Beliau mendidik dengan prilaku. Teladannya bak kolam kita bercermin membersihkan kotoran. Simbah lebih gemar dakwah bilhal dibanding dakwah bil lisan. Lihatlah, bagaimana para santri, sabar berbaris saat pengasuh pondok pesantren Sarang Rembang itu, membungkuk-bungkuk menuju mihrab tempatnya mendaras kitab.
Para santri, tamu, ummat yang sowan, seperti mendapatkan jalan keluar dari persoalan yang dihadapi, meski Mbak Moen hanya memberi isyarah. Jiwa mendidiknya ditunjukkan Simbah dengan memberi isyarat berbeda kepada sejumlah tamu meski persoalan yang diadukan sering kali sama. Mbah Moen piawai mengajarkan pentingnya banyak sudut pandang atas satu masalah.
Ketika ummat Islam dikejutkan dengan langkah Gus Dur--KH Abdurraan Wahid dan Gus Mus--KH Mustofa Bisri, mendirikan Partai Kebangkita Bangsa (PKB), Mbah Moen istiqamah merawat dan membesarkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Beda kendaraan dengan Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU, disikapi Mbah Moen secara bijak. Baginya, perbedaan akan memperkaya khasanah siyasah ummat, khususnya bagi warga NU.
Ketika kelahiran PKB menyebabkan ketegangan, dan di daerah-daerah tertentu di Jawa Timur dan Jawa Tengah menimbulkan pergesekan, Mbah Moen malah melontarkan pujian untuk Gus Dur. Seperti tak sedang terjadi apa-apa. Seakan PKB bukan kompetitor bagi PPP. Padahal, jelas sekali, kelahiran PKB sangat berpengaruh bagi eksistensi PPP. Di sejumlah daerah, suara PPP tergerus.
Di saat sejumlah tokoh gerah dengan perbedaan, mustasyar PBNU ini malah gemar memeliharanya. Dalam kasus-kasus tertentu, demi kepentingan tertentu pula, ada tokoh dengan berbagai macam cara mematikan dan membunuh perbedaan. Tapi Mbah Moen malah merawat dan memeliharanya. Karena tak mampu memelihara perbedaan, banyak organisasi, dari tingkat masyarakat hingga negara, rusak jadi korban konflik.
Masih segar dalam ingatan, bagaimana Mbah Moen jadi "rumah besar" bagi semua pihak dalam pilpres yang baru lalu. Paslon 01 dan paslon 02, beserta tim masing-masing, secara bergantian, datang meminta restu dan doa. Ulama langka, yang menyayangi semua, karena sumua dianggap santrinya. Kekuatan Simbah, terletak pada rantai silaturrahim yang tak kenal lelah beliau jaga dan pelihara dengan tulus.
*
Pepatah mengatakan ; Mawtul 'Aalim Mawtul 'Aalam--wafatnya seorang alim bak matinya alam semesta. Ketika kabar duka itu datang, tarasa godam menggedor dada. Kita kehilangan seseorang yang hingga di usia renta, masih melayani ummat menunaikan ibadah haji. Beliau wafat di Makkah Al Mukarromah, kota suci yang selalu dirindukannya.
Sangat jelas, untuk beberapa waktu ke depan, kita akan kehilangan, sebagaimana alam semesta kehilangan lenteranya. Akan terasa gelap setelah lentara pelan-pelan meredup, lalu cahaya hilang. Tapi teladan, ajaran, didikan dan warisan nilai-nilai luhur dalam bentuk akhlaqul karimah almarhum, akan sangat bermanfaat bagi bangsa Indonesia, khususnya ummat Islam. Selamat Jalan, Mbah. (*)
*) Saifullah Yusuf; Ketua PBNU
Tulisan ini juga dimuat di kolom Jawa Pos