Pergeseran Strategi Kontra Terorisme Global
Penarikan pasukan gabungan tentang Amerika Serikat (AS) dan negara negara sekutunya dari Afghanistan pada pertengahan September 2021, menandai mulai terjadinya perubahan kebijakan kontra terorisme global. Berawal dari tragedi peledakan WTC New York pada 11 September 2001, AS dan sekutunya melawan Al-Qaeda dengan melakukan invasi ke Afganistan yang waktu itu dikuasai “Imarah Islam Afghanistan (Taliban)” yang dianggap melindungi Osama Bin Ladin.
Langkah itu diikuti dengan mengembalikan kekuasaan eks-Mujahidin (Republik Islam Afghanistan) dan menjadikannya sebagai sekutu melawan Al-Qaeda. Taliban suatu gerakan nasionalis Islam Ultra-konservatif yang sebelumnya merupakan bagian dari Mujahidin, kemudian digolongkan sebagai organisasi terorisme sama dengan Al-Qaeda. Akibatnya fatal, kontra terorisme berkembang bukan hanya melawan Al Qaeda, tetapi juga menghadapi para pejuang nasionalis ultra- Islam konservatif yang menganggapnya sebagai perjuangan melawan penjajah asing.
Berbeda dengan di Afghanistan, AS dan sekutunya berhasil mendorong pembentukan Republik Iraq yang demokratis. Namun pada waktu yang bersamaan muncul terorisme baru yang memproklamirkan Khilafah Islam Global atau dikenal dengan DAIS atau ISIS. Pada mulanya pemerintahan baru Iraq lemah karena kalangan ulama Sunni merasa dimarginalkan.
Namun sejak Haidar Al-Abadi menjabat sebagai Perdana Menteri, persatuan Iraq berhasil dipulihkan, sehingga menjadi patner AS dan Sekutunya yang efektif. Akhirnya ISIS dan Al-Qaeda dapat dilumpuhkan pada 2019, sehingga pasukan koalisi internasional dibawah pimpinan AS ditarik dan hanya unit anti-teror dalam jumlah kecil yang dipertahankan guna membantu pem Iraq.
Amerika Serikat baru menyadari kekeliruannya setelah 20 tahun berperang di Afganistan dengan beaya $US 300 juta setiap hari.
Inisiatif Qatar
Qatar yang pertama berisinisiatif mengizinkan pembukaan kantor penghubungan Taliban di Doha pada 2013. Sedang AS secara serius mulai melakukan kontak intelijen dg Taliban pada 2018 di era Presiden Donald Trump. Pada mulanya AS membujuk Taliban untuk berdamai dengan Republik Islam Afghanistan tetapi gagal.
Akhirnya AS mencapai kesepakatan dengan Taliban (Imarah Islam Afganistan) tentang penarikan pasukannya dari Afghanistan yang akan disusul dengan masuknya pasukan Taliban menyerbu pasukan pemerintah. Dengan adanya kesepakatan tersebut berarti AS membiarkan pasukan pemerintah berjuang sendiri.
Republik Islam Afghanistan dianggap patner tidak efektip karena gagal mengkonsolidasi demokrasi dan kekuasaan sebagai akibat dari pertentangan elit, kelompok, korupsi dan salah urus.
ISIS-K
Hanya tiga hari setelah menguasai Kabul, Taliban menembak mati ketua ISIS Asia Selatan Abu Omar al Qorasani yang berada dalam tahanan pemeritah sebelumnya. Hal ini utk menunjukkan isyarat atas sikapnya terhadap keberadaan teroris asing yang bersembunyi di negerinya.
Merespons perkembangan tersebut, ISIS provinsi Korasan (ISIS - K) menuduh Imarah Islam Afghanistan sebagai boneka AS dan disusul aksi bom bunuh diri terhadap pasukan Taliban terutama di sekitar Kandahar yang merupakan basis ISIS. AS juga masih melakukan serangan drone tanpa awak terhadap mobil bom bunuh diri ISIS - K dan satu serangan AS salah sasaran yang mengakibatkan beberapa warga sipil, sehingga AS meminta maaf.
Babak baru strategi global melawan terorisme di Afghanistan dimulai , meniru pola sebelumnya yang diterapkan di Iraq. AS hanya menempatkan unit kecil pasukan di perbatasan dan selebihnya menjadi tanggung jawab Taliban. Perobahan strategi AS ini akan menimbulkan rasa waswas dari negara tetangga Afghanistan, seperti Tajikiskan, Turkmenistan dan Uzbekistan serta RRC terhadap kemungkinan ancaman ISIS-K yang anggautanya terdiri dari warga Afganistan dan keempat negara tersebut. wallahu a’lam.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial Politik, tinggal di Jakarta.
Advertisement