Perempuan Terdampak Terorisme, Haruskah Dikucilkan?
Istri teroris bukanlah pelaku terorisme. Sebagaimana orang yang terkena ledakan bom, ia juga korban. Bahkan, ia bukan saja sebagai korban atas tindakan suaminya, tetapi juga korban dari hal lain.
"Viktimisasi berganda setelah suaminya tertangkap tapi mereka tidak mendapatkan transparansi penegakan hukumnya, misalnya," kata Leebarty Taskarina, penulis Perempuan dan Terorisme: Kisah Perempuan dalam Kejahatan Terorisme saat peluncuran bukunya di Gramedia Matraman, Jakarta Pusat, Sabtu 12 Januari 2019.
Hal itu diperparah dengan pengucilan masyarakat terhadapnya.
"Terus di lingkungan masyarakatnya juga mereka dikucilkan. Jadi, mereka mendapat multiple victimization," tuturnya.
Melihat hal tersebut, Leebarty mengungkapkan bahwa semakin mereka sering mendapat perlakuan diskriminatif, maka mereka semakin potensial untuk menjadi pelaku terorisme.
"Viktimisasi berganda setelah suaminya tertangkap tapi mereka tidak mendapatkan transparansi penegakan hukumnya, misalnya," kata Leebarty Taskarina.
Lebih-lebih, para istri teroris juga menjadi orang tua tunggal (single parent) bagi anak-anaknya. Keluarganya kehilangan tulang punggung sehingga memaksa dirinya untuk berjuang lebih keras untuk anak-anaknya.
Oleh karena itu, analis data intelejen Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) itu mengajak masyarakat agar merangkul semua pihak, termasuk keluarga pelaku yang juga jadi korban.
"Tidak lagi terpaku pada pelaku, tapi mulai pada korban. Karena korban terorisme itu bukan hanya korban langsung, orang yang terkena ledakan bom atau tertembak. Tidak hanya itu, keluarga teroris sendiri juga menjadi korban. Suaminya juga mati kan? Terus kemudian mereka kehilangan tulang punggung. Mereka harus bekerja untuk anak-anak mereka dan lain sebagainya," jelasnya.
Peluncuran buku ini menghadirkan Kasatgas Foreign Terrorist Fighter BNPT AKBP Didik Novi Rahmanto dan Direktur Mulia Raya Foundation Musdah Mulia. (adi)