Perempuan Difabel di Jember Meninggal Dunia, Diduga Korban Pelecehan Seksual
Susanna Harsono, seorang perempuan 55 tahun, dengan skizofrenia paranoid, meninggal dunia, di RSUD Soebandi Jember, Selasa, 05 November 2024. Dugaan sementara, ia meninggal pasca menjadi korban pelecehan seksual.
Andreas Harsono melaporkan dugaan pelecehan seksual itu ke Polres Jember, Sabtu, 09 November 2024 sore.
Andreas menceritakan, adiknya yang kini berusia 55 tahun itu menderita skizofrenia paranoia sejak tahun 1990. Tepatnya saat berusia 23 tahun.
Susanna tidak pasrah atas keadaan dirinya. Dia sering menjalani terapi kejiwaan di beberapa rumah sakit kesehatan mental termasuk Menur (Surabaya), Lawang (Malang), serta Grogol (Jakarta).
Dengan segala keterbatasannya, Susanna masih tetapi beraktivitas, membersihkan rumah sehari-hari. Bahkan Susanna senang menyanyi sambil memainkan piano.
Berdasarkan kesaksian dokter yang merawat Susanna dikenal sebagai sosok perempuan ceria. Dia suka bercerita.
Semua bakat menyanyi dan bermain piano ia peroleh saat menempuh pendidikan secara secara berjenjang. Susanna bersekolah dasar di SD dan SMP Aletheia Jember, lantas SMA Katolik Santo Paulus Jember.
Sesudah lulus, Susanna meneruskan kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang, namun merasa tak cocok setelah satu semester. Pada 1989, dia pindah ke Asian Institute for Liturgy and Music di Manila.
Susanna belajar di sana selama dua tahun. Namun dia drop out. Dia balik ke Indonesia, sempat kuliah setahun di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta, namun juga gagal, sampai dia terdiagnosa skizofrenia.
Setiap tahun, terutama November dan Desember, Susanna tinggal di Jember bersama papanya. Selama berada di Jember, Susanna sering membantu pekerjaan di rumah.
Sejak Januari 2024, Susanna memilih menetap di Jember, di Jalan Samanhudi, Kecamatan Kaliwates. Susanna tinggal di rumahnya untuk merawat mamanya yang terbaring sakit terkena dementia. Susanna merawat mamanya didampingi beberapa perawat dari Jember Raya Homecare.
Pada pertengahan Oktober 2024, Susanna berkali-kali mengatakan bahwa dia mengalami pelecehan seksual. Dia menjadi korban pelecehan seksual pada tanggal 6 Oktober 2024, di rumahnya.
Pelakunya merupakan seorang laki-laki berinisial AY, 56 tahun. Pria itu merupakan teman SMP Susanna. Pria itu juga merupakan warga Gereja yang sama.
Dugaan pelecehan seksual tersebut berawal saat Susanna meminta bantuan pria itu untuk mengantar sekarung beras bantuan dari gereja.
Pria itu kemudian membantu mengantar beras seberat 5 Kg ke rumah Susanna. Sesampainya di rumah Susanna, pria itu melihat perawat perempuan yang sedang memandikan mama dari Susanna.
Tanpa basa basi, pria itu memegang tubuh perawat tersebut. Bahkan, tangan pria itu mengarah ke area sensitif perawat, namun berhasil ditepis.
Karena merasa terancam, perawat itu kemudian masuk kamar dan memakai baju dinas. Saat perawat itu masuk ke dalam kamar, pria itu mendekati Susannna. Pria itu juga melakukan pelecehan seksual terhadap Susanna.
“Atas adanya serangan kekerasan seksual itu adik saya menolak. Dia menegaskan bahwa ia meminta bantuan pria itu untuk membantu mengantar beras, bukan untuk pacaran. Korban dalam kasus ini ada dua, selain adik saya juga ada perawat berusia 21 tahun,” kata Andreas, wartawan senior yang juga salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Karena dimarah, pria itu berhenti melakukan aksi tak senonoh terhadap Susanna. Namun, ia kembali melancarkan aksi serupa terhadap perawat.
Perawat itu lari ketakutan sejauh 800 meter menuju Indomart. Perawat itu menangis dan gemetar.
Atas kejadian itu, Susanna dan perawat yang melaporkan kejadian tersebut kepada Jember Raya Homecare, perusahaan tempat perawat bekerja. Mereka juga menyampaikan kejadian itu kepada keluarga Harsono.
“Setelah mengetahui kasus tersebut, istri saya langsung menindaklanjuti dengan mewawancarai perawat yang menjadi korban dan merekamnya. Sementara adik Susanna, Yohana juga menghubungi pendeta dari gereja tersebut.
Namun, dari pihak gereja meminta agar persoalan tersebut tidak dilaporkan ke polisi, dengan alasan terduga pelaku selama ini berkelakuan baik dan taat agama. Bahkan anak dari pria tersebut saat ini sedang belajar di theologi.
Pihak gereja berjanji akan menyelesaikan kasus tersebut secara kegerejaan. Pria terduga pelaku itu mendapatkan sanksi tidak bisa mengikuti Sakramen Perjamuan Kudus selama enam bulan. Itu adalah sanksi terberat dalam komunitas mereka.
Dua hari pasca kejadian itu, terduga pelaku menyampaikan permohonan maaf sebanyak dua kali. Dalam surat permintaan maaf tertanggal 8 Oktober 2024, terduga pelaku tidak mengakui perbuatannya. Terduga baru mengakui sebagai perbuatannya dalam surat permintaan maaf tertanggal 10 Oktober 2024.
Setelah kasus tersebut ramai dibicarakan, perawat yang menjadi korban akhirnya berhenti bekerja pada tanggal 20 Oktober 2024. Perawat itu juga tidak mau lagi membahas kejadian buruk yang dialaminya. Dia trauma dan malu.
Sementara itu, pada pekan kedua setelah mengalami pelecehan seksual, Susanna terlihat kesal sekali, sering jalan dan duduk sendirian.
Pada pekan keempat Oktober 2024, Susanna mengunci diri dalam kamar, lampu dimatikan, makan dan minum terbatas. Kesehatan menurun drastis.
Keluarga kemudian mendatangkan perawat bernama Fitrianing Azizah.
Karena kondisi Susanna semakin memburuk akhirnya dibawa ke UGD RSD Soebandi pada tanggal 30 Oktober 2024.
“Susanna dibawa ke RSUD Soebandi saat kondisinya lemas di dalam kamar. Susanna juga dalam kondisi mengungkit bibirnya sampai berdarah,” jelasnya.
Berdasarkan hasil laboratorium maupun scan organ, menunjukkan bahwa kesehatan fisiknya menurun drastis karena dia kekurangan makan dan minum. Para dokter memutuskan menaikkan daya tahan tubuh Susanna, pakai infus dan sonde, serta hendak mengirimnya ke rumah sakit kesehatan jiwa di Lawang, bila stabil.
Kondisi Susanna semakin memburuk hingga akhirnya meninggal pada tanggal 5 November 2024. Andreas menduga adiknya meninggal karena depresi pasca mengalami pelecehan seksual.
Sebab orang dengan disabilitas mental biasanya memiliki batas toleransi yang berbeda terhadap kekerasan daripada orang biasa.
Bagi orang kebanyakan jika hanya dipegang bagian paha hanya kepikiran selama dua hari, lalu mulai bisa melupakannya. Tetapi Susanna berbeda, ia terus mengingatnya.
Susanna merupakan orang Kristen kolot. Dia menolak menonton film dengan adegan orang berpacaran. Pelecehan seksual yang dialaminya sangat mengganggu dirinya.
Atas kejadian itu, Andreas ingin mengetahui penyebab adiknya meninggal dunia. Karena itu, ia melaporkan kejadian itu ke Polres Jember, pada Sabtu, 09 November 2024 sore.
Melalui laporan polisi itu, Andreas ingin mengetahui penyebab adiknya meninggal dunia. Termasuk juga ingin memberikan efek jera terhadap terduga pelaku.
Semestinya, lanjut Andreas sejak awal pihak gereja yang melaporkan kejadian itu ke polisi. Sebab, kasus kriminal tidak ada kaitannya dengan status anak.
Tak hanya itu, semestinya pihak gereja juga memberikan sanksi yang bisa menimbulkan efek jera. Sebab, jika sanksi berupa tidak bisa mengikuti sakramen, sebagain warga ada yang secara pribadi tidak mengikuti sakramen, tanpa menunggu sanksi.
Pihak gereja juga semestinya mengumumkan kejadian itu di gereja. Hal itu untuk memastikan terduga pelaku tidak mengulangi perbuatannya yang sama sekaligus mengerikan pembelajaran bagi warga Gereja lainnya.
“Konsentrasi saya agar orang ini dipastikan tidak mengulangi perbuatannya. Saya khawatir dengan tidak diumumkannya di gereja sama halnya tidak memberikan efek jera. Saya juga menginginkan adanya perhatian terhadap perawat yang bertugas dengan mendatangi rumah orang tanpa ada pengawalan. Mereka ini rentan terhadap tindakan pelecehan dan kekerasan seksual,” pungkasnya.
Advertisement