Perekat Kita, Pancasila!
Di sela-sela liburan mudik, pada Sabtu, 1 Juni lalu, ramai khalayak para abdi negara berupacara. Walau tengah berpuasa, mereka bersuka cita posting di media sosial. Tak terkecuali Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Semua memperingati hari kelahiran Pancasila. Sari pati dari jiwa Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atau, istilah kekiniannya, sebagai core of the core negeri katulistiwa ini.
Tapi kenapa di tanggal 1 Juni? Karena tepat, 74 tahun lalu, Ir. Sukarno menetaskan istilah penting “Panca Sila”. Pemimpin pergerakan itu, bersidang bersama para tokoh di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Sebelumnya, pada sidang hari pertama, Mr. Muh Yamin juga berjualan ide dasar negara. Dia memperkenalkan istilah “Lima Asas Dasar”. Di hari lebih dahulu, ada Mr. Soepomo yang mendaraskan rumusan "Dasar Negara Indonesia Merdeka”.
Yang pasti, semua unggahan gagasan luhur itu, berisi nilai-nilai utama dalam bernegara. Pokok pikiran mereka berikat seirama. Yang berbeda, sebenarnya, hanya satu dan sederhana: pilihan penamaanya saja.
Nah, untuk urusan yang satu ini, Ir Soekarno paling jeli. Mensaripatikan beragam gagasan menjadi kata yang mudah diingat, gampang dimengerti, sehingga akan cepat diserap rakyat. Istilahnya, kata Pancasila itu nge-brand banget.
Sedangkan urutan nilai utama dasar negara, masih jauh panggang dari api. BPUPKI masih harus terus berdebat panjang. Maklum, semua anggotanya para cendikia, cerdik pandai, juga pemimpin pergerakan.
Untuk itu, lahirlah Panitia Sembilan. Tugasnya, menemukan jalan tengah perumusan dasar negara. Sembilan tokoh utama pendiri negeri duduk di tim ini.
Akhirnya, pada tanggal 22 Juni 1945, disepakati rumusan dasar negara. Namanya Piagam Jakarta atau Jakarta Charter. Urutan silanya, seperti Pancasila yang kita kenal saat ini.
Kecuali di sila pertama, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Karena kewaskitaan dan kerelaan Ki Bagus Hadikusumo, Ketua PP Muhammadiyah yang juga anggota Panitia Sembilan, sila itu, luruh. Diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Atas pengalaman sejarah ini, semua pendiri bangsa sepakat. Kemajemukan adalah pondasi Indonesia. Dia juga energi kemajuan kehidupan kita.
Atas pengalaman sejarah ini, semua pendiri bangsa sepakat. Kemajemukan adalah pondasi Indonesia. Dia juga energi kemajuan kehidupan kita.
Kalau mau menenggok ke belakang, Dokuritsu Junbi Cosakai alias BPUPKI juga dilandasi kemajemukan. Lembaga ini diresmikan Jepang pada 29 April 1945. Mayoritas anggotanya pribumi, dengan beragam agama dan pilihan ideologi politik yang dianut.
Tapi, harap diingat, ada warga keturunan lain yang juga berpartisipasi. Tercatat, ada empat orang dari golongan Cina. Satu orang golongan Arab, dan satu peranakan Belanda.
Jadi, kalau sekarang kita mempersoalkan WNI keturunan entah Arab atau Cina, tentu tak relevan lagi. Karena semua pihak berkontribusi bagi kemerdekaan ini. Yang dibutuhkan adalah kedewasaan dalam menjaga keutuhan negeri.
Ternyata, urusan keutuhan negeri pula yang membuat Pak Jokowi masygul. Hal itu disampaikannya di upacara peringatan Hari Lahir Pancasila di Gedung Pancasila Kemenlu, Sabtu, 1 Juni 2019. Mantan Gubernur DKI ini menyebut perkembangan teknologi informasi juga menyisakan tantangan berat.
"Karena semakin memberi ruang kepada berita bohong,” ungkapnya. Tak jarang, malah menebar kebencian dan fitnah. Di matanya, berita bohong memecah belah bangsa. Di sinilah, Pancasila bisa menjadi pandu bangsa.
Jadi, kalau sekarang kita mempersoalkan WNI keturunan entah Arab atau Cina, tentu tak relevan lagi. Karena semua pihak berkontribusi bagi kemerdekaan ini.
Pancasila, tentu saja bisa ditafsirkan beragam. Lain tafsir Bung Karno atau Pak Jokowi. Di masa Pak Jokowi pula, 1 Juni jadi hari libur nasional. Tepatnya sejak tahun 2017, sesuai Keppres No. 24 Tahun 2016.
Di sinilah cerdiknya Pak Jokowi. Pintar memilih momen. Selain menghormati Bung Karno, dia juga pandai menyenangkan Ibu Megawati.
Ceritanya begini. Pada Sabtu, 1 Juni 2013, PDI Perjuangan melaksanakan upacara hari lahir Pancasila, di Tugu Proklamasi, Jakarta. Saat berpidato, Ibu Megawati sempat menangis.
Beberapa kali, dia menyeka air matanya. “Saya sedih, sekarang Pancasila dianggap menakutkan dan asing bagi generasi muda," ujarnya dengan suara bergetar.
Memang, tiap rejim punya tafsir masing-masing. Setelah Bung Karno turun, tafsir Presiden Soeharto berbeda. Semua yang berbau Bung Karno, seolah disingkirkan.
Rejim Pak Harto juga punya cerita lain tentang hari lahir Pancasila. Mereka lebih memilih tanggal 18 Agustus 1945. Alasannya, saat itu Pancasila resmi menjadi falsafah bangsa dengan disahkannya UUD 1945.
“Saya sedih, sekarang Pancasila dianggap menakutkan dan asing bagi generasi muda," ujarnya.
Di sisi lain, memang, ada unsur kepentingan politik lainnya. Misalnya, Pak Harto lebih memilih 1 Oktober, sebagai upayanya menghormati Pancasila. Hari Kesaktian Pancasila, tanda gagalnya Gerakan 30 September 1965 (G30S).
Karena dia ada dalam fragmen peristiwa itu. Aktor penting. Ada dan mengada, sehingga eksistensinya terus membesar.
Peristiwa itu juga melahirkan tokoh lain. Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhi Wibowo. Dia yang dianggap dekat dengan mahasiswa, dan berada di garis terdepan pasca G30S.
Sayang, Pak Harto juga punya tafsir lain. Hanya satu matahari yang harus bersinar terang. Seperti yang diduga, karir militer Pak Sarwo redup dan sirna.
Tapi ada yang menarik. Pak Harto sempat menunjuk Pak Sarwo menjadi Ketua Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). Dulu banyak yang sinis atas gerak BP7. Dianggap, programnya hanya penataran P-4 semata.
Namun, setidaknya ada jejak Pak Sarwo menjaga Pancasila, jiwa bangsa. Usahanya, agar Pancasila tak sekadar jadi doktrin semata. Tapi nyata dalam berbangsa.
Setidaknya ada jejak Pak Sarwo menjaga Pancasila, jiwa bangsa. Usahanya, agar Pancasila tak sekadar jadi doktrin semata. Tapi nyata dalam berbangsa.
Entahlah, apakah ada hubungan merawat Pancasila dengan tampuk kepemimpinan negeri ini. Bila dulu Pak Sarwo tersingkir, akhirnya Pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menantunya, yang dapat pulung. Menjadi Presiden Republik Indonesia.
Jadi, jangan pula kaget, kalau Ibu Ani Yudhoyono, juga punya tafsir atas peran Pancasila. Ibu Ani, mangkat pada 1 Juni 2019, di Singapore. Setelah berjuang keras melawan kanker leukimia. Persis di hari kelahiran Pancasila.
Ternyata, setahun lalu, di instagramnya, dia ini menulis bernas tentang Pancasila. Dia meyakini, masyarakat Indonesia yang heterogen disatukan oleh satu hembusan nafas. Pancasila.
Ibu Ani yang juga ideolog Partai Demokrat ini menuturkan, Pancasila harus dijadikan sebagai pemersatu bangsa. Bila ada usaha memecah belah masyarakat Indonesia, maka butir-butir makna tentang Pancasila perlu lebih kuat digaungkan bersama.
“Dimulai dari kita, demi Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Selamat Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2018," tulisnya.
Ajar Edi, kolumnis ngopibareng.id
Advertisement