Perdagangan Seni Lukis Dunia Sedang Terpuruk
Seni lukis sedang terpuruk. Bukan saja di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Akibat pandemi Covid-19, seni lukis menghadapi masa suram yang sebelumnya tak pernah terjadi.
Pembatasan ke luar rumah yang diterapkan hampir semua negara bagi warganya, dari satu sisi memang membuat jumlah karya yang dihasilkan para pelukis meningkat sangat tajam. Tetapi di sisi lainnya, peningkatan secara kwantitas itu tidak diikuti dengan tingkat penyerapan di masyarakat.
Dalam posisi jumlah karya meningkat, sementara tingkat penjualan menurun tajam, maka yang dihasilkan adalah angka prosentase yang mengkhawatirkan.
Akhir tahun lalu, The Art Newspaper berkolaborasi dengan seorang profesor keuangan dari Universitas Maastricht di Belanda, Rachel Pownall mengadakan survei yang hasilnya cukup mengejutkan. Yaitu galeri di seluruh dunia diperkirakan kehilangan rata-rata 72 persen dari pendapatan tahunan mereka, akibat pandemi.
Negara Inggris mengalami kemerosotan paling menyedihkan, yaitu penurunan pendapatan hingga 79 persen, meskipun Eropa secara keseluruhan tingkat kemerosotannya tidak terlalu tinggi dibanding kemerosotan di benua lain, yaitu ‘hanya’ 66 persen. Sedangkan Amerika Utara (71 persen), dan Asia cukup tinggi, yaitu 77 persen.
Survei The Art Newspaper bersama Prof. Rachel Pownall dilakukan dengan menggunakan 236 responden yang terdiri dari galeri dan pedagang lukisan di seluruh dunia. Yang menyedihkan, hampir setengah dari galeri-galeri yang dijadikan responden dalam survei tersebut, akhirnya berhenti beroperasi alias tutup, setelah dua sampai 6 bulan berusaha mempertahankan diri.
Di Singapura, yang yang selama ini dianggap sebagai salah satu pusat perdagangan seni lukis di kawasan Asia, kondisinya juga tidak lebih menggebirakan.
Menurut Richard Koh, pendiri Richard Koh Fine Art yang memiliki beberapa galeri di Singapura, Kuala Lumpur, dan Bangkok, pandemi menyebabkan orang-orang, terutama para kolektor, bertanya pada diri sendiri; apakah saya masih membutuhkan lukisan? Pertanyaan berikutnya, apakah saya masih bisa hidup apabila saya tidak membeli lukisan?
Dua pertanyaan itu dijawab sendiri oleh para kolektor dengan tindakan. Celakanya, tindakan yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan itu berdampak, setidaknya pada galeri yang ada.
Di Singapura, kata Richard Koh pada The Business Times, akhirnya banyak galeri yang tidak dapat bertahan, meskipun sewa tempat sudah diturunkan oleh pemilik bangunan.
Padahal sebenarnya pemerintah Singapura juga sudah berusaha untuk membantu melalui skema lain, seperti Skema Dukungan Kerja, Skema Pengembangan Kemampuan Seni dan Hibah Presentasi Digital (DPG). Tapi stimulus itu tetap tidak membantu keadaan, karena adanya dua pertanyaan pada diri setiap orang dan kolektor tadi.
Galeri seni lukis di banyak negara satu demi satu tutup akibat pandemi. Sebagai solusi, kini banyak galeri yang beralih mendisplai lukisan secara virtual atau online. Tidak terkecuali, balai lelang lukisan terkenal, yaitu Christie’s Hongkong.
Christie Hongkong melakukan format lelang unik, yaitu hanya berlangsung selama 4 jam dalam satu hari. Karena itu pelelangan ini bertajuk ‘One,’ yang diikuti oleh sekitar 20 ribu orang secara online. Hasilnya ternyata lumayan. Pada hari uji coba cara ini yang berlangsung tahun lalu, beberapa lukisan terjual dengan nilai transaksi 421 juta Dolar AS atau setara Rp 5,8 miliar.
Suatu hasil yang mengejutkan dimasa sulit. Fakta bahwa masih adanya pembeli lukisan melalui lelang secara online adalah hal yang menggembirakan. Walaupun, menurut analisis Artnet.com, situs web pasar seni berbasis di New York yang dioperasikan oleh Artnet Worldwide Corporation, lukisan-lukisan yang terjual pada lelang online itu adalah karya yang nilainya, secara ekonomis, lebih rendah dibanding karya seni yang dilelang secara offline.
Tetapi tetap saja, penjualan atau lelang lukisan secara online cukup menjanjikan sebagai model baru untuk memasarkan karya-karya seni. Model yang muncul dari kondisi darurat ini, nantinya apabila kondisi sudah kembali normal setelah berakhirnya pandemi, akan menjadi model yang bisa saja dipertahankan. Berdampingan dengan model lama, yaitu penjualan atau lelang secara ofline.
Artinya, suatu saat nanti, entah kapan, ketika galeri-galeri kembali membuka pintunya dengan penuh gairah dan harapan, di dunia lain, galeri-galeri virtual juga akan semakin marak dan menghebohkan. Keduanya berdampingan untuk sama-sama memasarkan lukisan.
Di Indonesia, kondisinya tidak jauh berbeda dengan negara-negara lain. Sama-sama terlihat adanya ventilasi cahaya yang masuk ke ruang gelap. Ventilasi ini makin membesar, itulah yang kita harap. (m.anis)