Perda Tata Ruang Wilayah Provinsi
Oleh Oki Lukito
Embrio integrasi Tata Ruang Laut dan Darat menjadi Tata Ruang Laut Wilayah Provinsi, berawal dari wacana penataan ruang terintegrasi yang banyak diperbincangkan dalam perencanaan pengelolaan laut. Earth Summit yang diselenggarakan United Nation Conference on Environtment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro tahun 1992 antara lain mengangkat isu “Integrated management and sustainable development of coastal areas, including exclusive economic zones”. The marine environtment merupakan komponen penting sistem penyangga kehidupan global. Hal tersebut mendorong negara negara berkembang menginisiasi pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu dan berkelanjutan.
Jawa Timur sebagaimana provinsi lainnya saat ini sedang melangkah dan merealisasikan kebijakan global tersebut dan menyelesaikan pekerjaan besarnya, mengintegrasikan Tata Ruang Laut dan dan Tata Ruang Daratnya. Akan dijadikan produk hukum, namanya Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Jawa Timur. Produk Tata Ruang Laut ini, diawali dengan pembuatan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (Perda Jatim No 1. Tahun 2018) atau disingkat RZWP3K dan selesai direvisi menjadi Materi Teknis Perairan Pesisir (MTPP) 2022 yang dinakhodai Dinas Kelautan dan Perikanan. Sementara revisi RTRW Jawa Timur sudah mendekati finish, dipadegani oleh Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya.
Di tataran konsep pengintegrasian tata ruang tampaknya tidak ditemukan permasalahan signifikan. Perdebatan sejak berlangsungnya konsultasi publik maupun pembahasan di tingkat Kelompok Kerja yang terdiri dari sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Jawa Timur kondusif. Sedikit permasalahan muncul saat berlangsung pembahasan mengenai Kawasan Satregis Nasional (KSN) yang mengorbankan pemangku kepentingan, menimpa nelayan Tuban yang tergusur proyek refinery Minyak. Satu lagi yaitu usulan pembuangan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) di laut lepas. Atau lebih tepatnya disebut Deep See Tail Placement (DSTP) yang diusulkan oleh penambang emas Di Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi sehingga pembahasan molor sekitar tiga bulan.
Di tengah gencarnya pemerintah menerapkan regulasi Pemanfaatan Ruang Laut melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Laut, di tingkat implementasi masih terjadi tarik ulur antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Kementerian Perhubungan yang menjadi Jaladimantri atau Panglima Laut sebelum Undang Undang Cipta Kerja lahir.
Di tingkat daerah juga terjadi hal serupa. Contoh, sampai sekarang belum satu pun pelabuhan dari 75 pelabuhan yang dikelola PT. Pelindo (BUMN) mengajukan Konfirmasi Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Padahal ini wajib. Alasannya seperti diungkap oleh salah satu pejabat senior Pelindo Sub Regional 3, tidak ingin terjadi tumpang tindah PNBP pada obyek yang sama karena sudah mendapat konsesi dari Kementerian Perhubungan.
Sementara perusahaan swasta yang memanfaatkan Ruang Laut digiring dan ‘dicambuk’ untuk mengurus Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dan membayar PNB demi memenuhi target. Jenis usahanya beragam mulai dari pengambilan air laut dan pembuangan limbah ke laut (Pertambakan), pemasangan pipa dan kabel bawah laut, budidaya offshore (marine culture), wisata bahari, aktivitas migas offshore, Galangan Kapal, Pelabuhan Khusus (Tersus) maupun Pelabuhan untuk kepentingan sendiri (TUKS).
Sementara pelabuhan milik pemerintah termasuk juga pelabuhan perikanan mengabaikan urusan KKPRL ini. Instansi perintah dan BUMN yang seharusnya memberi contoh dan menjadi pelopor taat aturan ternyata tidak memberikan panutan. Egosektoral hingga saat ini, masih menjadi tantangan terbesar. Bahkan, secara ekonomi, permasalahan ego sektoral ini membuat perkembangan sosial, ekonomi, budaya menjadi tidak sehat, tidak adil dan juga tidak efisien.
*Oki Lukito, Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan, dan Dewan Pakar PWI Jawa Timur.