Pede dengan Limbah Hutan dan Tanaman Organik
Ada sekelompok masyarakat gunung punya analogi menarik. Mereka merasa tidak perlu urbanisasi ke kota, sebab bergerak sedikit saja sudah dapat duit. Sudah menghasilkan uang. Sekarang hanya tinggal mem-push uang yang dihasilkan itu menjadi lebih tinggi ketimbang pendapatan upah UMR.
Kelompok masyarakat gunung itu namanya Pokdarwis. Sebuah singkatan kalimat. Kalau dipanjangkan jadinya begini: Kelompok Sadar Wisata. Nama kelompok sadar wisata itu adalah Pokdarwis Besuki. Besuki adalah nama tempat. Nama sebuah dusun di atas Gunung Wilis di Kabupaten Kediri. Jadi, TKP persisnya kelompok itu adalah di Dusun Besuki RT 1, Desa Jugo, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri.
Dadang Eko Laksono, 26 tahun, yang didapuk menjadi Ketua Pokdarwis Besuki ini, mengatakan, kelompoknya ini sebenarnya berdiri belum terlalu lama. Boleh dikata malah baru seumur jagung, atau lebih lama sedikit dari itu. Yaitu Desember 2014, dan dirinya adalah ketua yang kedua setelah yang pertama minta lengser.
“Pokdarwis Besuki ini berdiri sebenarnya atas inisiatif teman-teman. Awalnya dari perbincangan sederhana, bahwa anak-anak di bawah karcisan – tempat pemungutan retribusi – yang notanebe anak asli wilayah Besuki dianggap seperti anak tiri. Artinya, masuk di kawasan Besuki yang ditetapkan menjadi kawasan obyek wisata tetap dikenakan karcis atau tiket masuk. Ini kan agak tidak masuk akal. Maka, andai kita membentuk kelompok tentu akan bisa negosiasi dengan pihak pengelola karcis. Dalam hal ini adalah Dinas Pariwisata Kabupaten Kediri,” kata Dadang.
Menurut Dadang, justru anak-anak asli Besuki inilah yang berkontribusi besar turut meramaikan kawasan obyek wisata Besuki. Dengan kemampuan masing-masing mereka berhasil mendatang tamu dari berbagai arah untuk menikmati potensi Besuki. Mereka sekaligus sebagai pemandu wisatanya. Sebelum anak-anak kreatif ini bergerak “menjual” potensi daerahnya, Besuki hanya dikenal sebagai kawasan perhutani yang secara kebetulan memiliki air terjun. Selebihnya tidak ada.
Seiring dengan ketentuan dibentuknya desa wisata oleh Pemerintah Kabupaten, maka keinginan membentuk kelompok tersebut menjadi terwadahi. Melalui Dinas Pariwisata Pokdarwis ini akhirnya lahir. Dari semula hanya tujuh orang berkembang menjadi 26 orang. Bertambah anggota lagi menjadi 36 orang setelah 10 orang pelaku UMKM masuk menjadi bagian dari Pokdarwis.
Kata Dadang, dengan bertambahnya jumlah anggota itu makin beragam pula kreatif yang ditawarkan untuk pengunjung Gunung Wilis. Anggota juga tidak hanya menjual potensi wisata saja tetapi juga mampu menjual potensi limbah hutan yang sudah disulap menjadi bermacam souvenir atau oleh-oleh khas Wilis. Anggota menjadi kelompok UMKM yang akhirnya bisa menjadi tambahan pendapatan. “Hanya sayangnya, kita belum membentuk koperasi. Tapi dalam waktu dekat tentu koperasi ini juga bisa terwujud,” imbuh Dadang.
Untuk mengoptimalkan kinerja kelompok, maka dibentuklah divisi-divisi. Kata dadang, divisi-divisi itu dibentuk sebenarnya untuk memudahkan koordinasi dalam menyambut kedatangan tamu. Tamu yang berkunjung ke Gunung Wilis harus memperoleh kesan bahwa mereka bukanlah sekadar tamu, melainkan saudara jauh yang datang berkunjung.
Divisi-divisi itu di antaranya ada divisi UMKM. Divisi ini yang bertanggung jawab untuk urusan souvenir pengunjung. Pengadaan dan pembuatan, dan tentu saja penjualan. Pengadaan mencakup bahan baku khas hutan atau limbah hutan, perajin yang dengan kreativitasnya meciptakan oleh-oleh khas Wilis, dan tentu saja ada personil yang harus memasarkan hasil kreativitas itu.
Limbah hutan yang biasanya hanya dibakar buat urup-urup pengusir hawa dingin gunung yang bisa dikreasi misalnya kembang pinus, biji genitri, gemati, jlamprang, kenari daun, buah ganyong, dan seterusnya. Bahan-bahan yang tersedia dan tidak perlu membeli ini bisa dikreasikan menjadi kalung, gantungan kunci, bunga natal, pot bunga dan seterusnya.
Divisi yang paling potensial adalah divisi kopi. Divisi ini banyak menghasilkan rupiah. Keuntungannya lumayan besar. Mereka mengolah kopi kemudian dijual seperti laiknya kopi pabrikan. Dengan batuan mesin pengolahan kopi yang pernah didapat, divisi ini selain menjadi penopang pendapatan juga mampu menyuport divisi lain yang seret pendapatan.
Kopi yang dihasilkan kelompok ini diberi label Putri Wilis, dengan packaging yang sudah cukup modern sehingga mampu bersaing di pasaran. Meski berasal dari gunung prosesing tetap dinomorsatukan soal higienis produk. Termasuk soal mengolah kopi jenis luwak. Kopi jenis premium yang cukup laku dipasaran, dan termasuk tinggi dalam mendongkrak pendapatan kelompok.
Saling sinergi ini yang baik ini membuat Pokdarwis akhirnya mengusung misi sangat mulia, yaitu masyarakat gunung tidak perlu ikut-ikutan urbanisasi ke kota untuk mendapatkan penghasilan. Cukup berada di gunung saja tetapi penghasilan bisa berada di atas UMR. Niat ini sepenuhnya bisa terwujud mengingat semua hasil dari gunung mulai dari sayur, buah, hingga limbah hutannya bisa dilempar ke pasar dengan harga bersaing. Apalagi sayur dan buah dengan sitem tanam organik, semua pusat belanja pasti siap menerimanya.
Petik Strawberry Memasak Thiwul
Salah satu mitra Pokdarwis Besuki adalah para petani sayur dan strawberry di kawasan Desa Wisata Gunung Wilis. Aktivitas para petani ini menjadi item jualan paket wisata yang mereka garap. Paket itu termasuk menggarap wisata edukasi. Diantaranya para siswa sekolah. Mereka diajak petik dan menanam sayur, petik dan menanam strawberry, petik buah labusiyam, memasak dan memproses nasi thiwul dan seterusnya.
Per paket dijual beragam, ada yang kelompok dan perorangan. Paling murah seharga 15 ribu rupiah hingga 40 ribu per orang. Khusus untuk petik dan menanam strawberry harganya berbeda. Peserta wisata dihitung per kilogram setelah hasil petik. Harga disamakan dengan harga strawberry dipasaran. Pulangnya, masing-masing juga bisa membawa strawberry yang sudah ditanam.
Salah satu petani yang merasakan limpahan pengunjung dari keberadaan Pokdarwis ini adalah Misbah. Petani di Dusun Petungsewu, Desa Jugo. Letak dusun ini sedikit di bawah Dusun Besuki. Dulunya ia hanya punya bibit strawberry 500 pot, sekarang menjadi ribuan pot. Itu belum termasuk yang sudah dibawa pulang dan dibeli pengunjung. Menurut dia, dengan limpahan banyak pengunjung itu rejeki cukup mengalir deras. “Strawberry malah tidak ngatasi, terlalu banyak pengunjung ketimbang strawberry yang berbuah sampai merah,” ungkapnya senang. widikamidi