Perbuatan Lahir dan Suasana Hati, Ini Sorotan Kitab Hikam (3)
Kitab Al-Hikam dikenal sebagai kitab induk hikmah. Memuat pelbagai ajaran tasawuf, dimensi kerohanian dalam Islam dalam keunggulan Tauhid.
Karya Ibnu Athaillah As-Sakandari ini, menjadi bacaan yang intim bagi dunia pesantren di Indonesia. Karena itu, KH Miftachul Akhyar, Pengasuh Pesantren Miftachussunnah, Kedungtarukan Surabaya, setiap Jumat memberikan pengajian berdasar kitab Al-Hikam itu.
Dalam beberapa edisi mendatang, ngopibareng.id, menghadirkan penjelasan atas aforisme dari Ibnu Athaillah As-Sakandari itu, sebagai bagian dari bahasan tentang dimensi kerohanian dalam Islam ini:
Ahli tarekat yang masih diperingkat permulaian pula kuat bersandar kepada amalan batin seperti shalat atau sembahyang dan berzikir. Jika mereka tartinggal melakukan sesuatu amalan yang biasa mereka lakukan, akan berkurangan harapan mereka untuk mendapatkan anugerah dari Allah s.w.t.
Sekiranya mereka tergelincir melakukan dosa, akan putuslah harapan mereka untuk mendapatkan anugerah Allah s.w.t.
Dalam masalah bersandar kepada amal ini, termasuklah juga bersandar kepada ilmu, sama halya ilmu lahir atau ilmu batin. Ilmu lahir adalah ilmu penkehendakan dan pengurusan sesuatu perkara menurut kekuatan akal. Ilmu batin pula adalah ilmu yang menggunakan kekuatan gaib bagi menyampaikan hajat. Ia termasuklah penggunaan ayat-ayat Al-Quran dan jampi. Kebanyakan orang meletakkan keberkahan kepada ayat, jampi dan usaha, hinggakan mereka lupa kepada Allah s.w.t yang meletakkan keberkahan kepada tiap sesuatu itu.
"Segala sesuatu adalah kurniaan Allah s.w.t dan menjadi milik-Nya. Orang ini melihat kepada takdir yang Allah s.w.t tentukan, tidak terlihat olehnya keberkahan perbuatan makhluk termasuklah perbuatan dirinya sendiri."
Selanjutnya, sekiranya Tuhan izinkan, kerohanian seseorang meningkat kepada makam yang lebih tinggi. Nyata di dalam hatinya maksud kalimat:
"Tiada daya dan upaya kecuali beserta Allah.
“Padahal Allah yang mencipta kamu dan benda-benda yang kamu perbuat itu!” (QS Surah as- Saaffaat: 96)
Orang yang di dalam makam ini tidak lagi melihat kepada amalnya, walaupun banyak amal yang dilakukannya namun, hatinya tetap melihat bahwa semua amalan tersebut adalah kurniaan Allah s.w.t kepadanya. Jika tidak karena taufik dan hidayat dari Allah s.w.t tentu tidak ada amal kebaikan yang dapat dilakukannya.
Allah s.w.t berfirman:
“Ini ialah dari limpah kurnia Tuhanku, untuk mengujiku adakah aku bersyukur atau aku tidak mengenangkan nikmat pemberian-Nya. Dan (sebenarnya) siapa yang bersyukur maka faedah syukurnya itu hanyalah terpulang kepada dirinya sendiri, dan siapa yang tidak bersyukur (maka tidaklah menjadi masalah kepada Allah), karena sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya, lagi Maha Pemurah”. ( Ayat 40 : Surah anNaml )
Dan tiadalah kamu berkemauan (melakukan sesuatu perkara) melainkan dengan cara yang dikehendaki Allah; sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana (mengaturkan sebarang perkara yang dikehendaki-Nya). Ia memasukkan siapa yang kehendaki-Nya (menurut aturan yang ditetapkan) ke dalam rahmat-Nya (dengan ditempatkan-Nya di dalam syurga); dan orang-orang yang zalim, Ia menyediakan untuk mereka azab seksa yang tidak terperi sakitnya. (QS Surah al-Insaan: 30-31).
Segala sesuatu adalah kurniaan Allah s.w.t dan menjadi milik-Nya. Orang ini melihat kepada takdir yang Allah s.w.t tentukan, tidak terlihat olehnya keberkahan perbuatan makhluk termasuklah perbuatan dirinya sendiri.
Makam ini dinamakan makam ariffin yaitu orang yang mengenal Allah s.w.t. Golongan ini tidak lagi bersandar kepada amal namun, merekalah yang paling kuat mengerjakan amal ibadat.
Orang yang masuk ke dalam lautan takdir, ridha dengan segala yang ditentukan Allah s.w.t, akan senantiasa tenang, tidak berdukacita bila kehilangan atau ketiadaan sesuatu. Mereka tidak melihat makhluk sebagai penyebab atau pengeluar kesan.
Di awal perjalanan menuju Allah s.w.t, seseorang itu kuat beramal menurut tuntutan syariat. Dia melihat amalan itu sebagai kendaraan yang boleh membawanya hampir dengan Allah s.w.t. Semakin kuat dia beramal semakin besarlah harapannya untuk berjaya dalam perjalanannya.
Apabila dia mencapai satu tahap, pandangan mata hatinya terhadap amal mulai berubah. Dia tidak lagi melihat amalan sebagai alat atau penyebab. Pandangannya beralih kepada kurniaan Allah s.w.t. Dia melihat semua amalannya adalah kurniaan Allah s.w.t kepadanya dan kehampirannya dengan Allah s.w.t juga kurniaan-Nya.
Seterusnya terbuka hijab yang menutupi dirinya dan dia mengenali dirinya dan mengenali Tuhannya. Dia melihat dirinya sangat lemah, hina, jahil, serba kekurangan dan faqir. Tuhan adalah Maha Kaya, Berkuasa, Mulia, Bijaksana dan Sempurna dalam segala segi.
Bila dia sudah mengenali dirinya dan Tuhannya, pandangan mata hatinya tertuju kepada Kudrat dan Iradat Allah s.w.t yang meliputi segala sesuatu dalam alam maya ini. Jadilah dia seorang arif yang senantiasa memandang kepada Allah s.w.t, berserah diri kepada-Nya, bergantung dan berhajat kepada-Nya. Dia hanyalah hamba Allah s.w.t yang fakir. (habis)
*) Keterangan: makam = station. Bahasa awal Maqam