Perbuatan Lahir dan Suasana Hati, Ini Sorotan Kitab Hikam (2)
Kitab Al-Hikam dikenal sebagai kitab induk hikmah. Memuat pelbagai ajaran tasawuf, dimensi kerohanian dalam Islam dalam keunggulan Tauhid.
Karya Ibnu Athaillah As-Sakandari ini, menjadi bacaan yang intim bagi dunia pesantren di Indonesia. Karena itu, KH Miftachul Akhyar, Pengasuh Pesantren Miftachussunnah, Kedungtarukan Surabaya, setiap Jumat memberikan pengajian berdasar kitab Al-Hikam itu.
Dalam beberapa edisi mendatang, ngopibareng.id, menghadirkan penjelasan atas aforisme dari Ibnu Athaillah As-Sakandari itu, sebagai bagian dari bahasan tentang dimensi kerohanian dalam Islam ini:
Kalam hikmah pertama, yang disampaikan Ibnu Athaillah memberi petunjuk mengenai suasana hati. Lihatlah kepada hati apabila kita terperosok ke dalam perbuatan maksiat atau dosa. Jika kesalahan yang demikian membuat kita berputus asa daripada rahmat dan pertolongan Allah s.w.t itu tandanya pergantungan kita kepadaNya sangat lemah.
Allah s.w.t. dalam firman-Nya: "Wahai anak-anakku! Pergilah dan intiplah khabar berita mengenai Yusuf dan saudaranya (Bunyamin), dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat serta pertolongan Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat dan pertolongan Allah melainkan kaum yang kafir ”. ( Ayat 87 : Surah Yusuf )
"Kegagalan mendapatkan sesuatu yang diingini bukan bermakna tidak menerima pemberian Allah s.w.t. Selagi seseorang itu beriman dan bergantung kepada-Nya selagi itulah Dia melimpahkan rahmat-Nya. Kegagalan memperolehi apa yang dihajatkan bukan bermakna tidak mendapat rahmat Allah s.w.t."
Ayat di atas menceritakan bahwa orang yang beriman kepada Allah s.w.t meletakkan ketergantungan kepada-Nya walau dalam keadaan bagaimana sekali pun. Pergantungan kepada Allah s.w.t membuat hati tidak berputus asa dalam menghadapi dugaan hidup. Kadang-kadang apa yang diingini, dirancangkan dan diusahakan tidak mendatangkan hasil yang diharapkan.
Kegagalan mendapatkan sesuatu yang diingini bukan bermakna tidak menerima pemberian Allah s.w.t. Selagi seseorang itu beriman dan bergantung kepada-Nya selagi itulah Dia melimpahkan rahmat-Nya. Kegagalan memperolehi apa yang dihajatkan bukan bermakna tidak mendapat rahmat Allah s.w.t.
Apa juga yang Allah s.w.t lakukan kepada orang yang beriman pasti terdapat rahmat-Nya, walaupun dalam soal tidak menyampaikan hajatnya. Keyakinan terhadap yang demikian menjadikan orang yang beriman tabah menghadapi ujian hidup, tidak sekali-kali berputus asa. Mereka yakin bahwa apabila mereka sandarkan segala perkara kepada Allah s.w.t, maka apa juga amal kebaikan yang mereka lakukan tidak akan menjadi sia-sia.
Orang yang tidak beriman kepada Allah s.w.t berada dalam situasi yang berbeda. Pergantungan mereka hanya tertuju kepada amalan mereka, yang terkandung di dalamnya ilmu dan usaha. Apabila mereka mengadakan sesuatu usaha berdasarkan kebolehan dan pengetahuan yang mereka ada, mereka mengharapkan akan mendapat hasil yang setimpal. Jika ilmu dan usaha (termasuklah pertolongan orang lain) gagal mendatangkan hasil, mereka tidak mempunyai tempat bersandar lagi. Jadilah mereka orang yang berputus asa.
Mereka tidak dapat melihat hikmat kebijaksanaan Allah s.w.t mengatur perjalanan takdir dan mereka tidak mendapat rahmat dari-Nya.
Jika orang kafir tidak bersandar kepada Allah s.w.t dan mudah berputus asa, di kalangan sebagian orang Islam juga ada yang demikian, bergantung setakat mana sifatnya menyerupai sifat orang kafir. Orang yang separti ini melakukan amalan karena kepentingan diri sendiri, bukan karena Allah s.w.t. Orang ini mungkin mengharapkan dengan amalannya itu dia dapat mengecapi kemakmuran hidup di dunia.
Dia mengharapkan semoga amal kebajikan yang dilakukannya dapat mengeluarkan hasil dalam bentuk bertambah rezekinya, kedudukannya atau pangkatnya, orang lain semakin menghormatinya dan dia juga dihindarkan daripada bala penyakit, kemiskinan dan sebagainya. Bertambah banyak amal kebaikan yang dilakukannya bertambah besarlah harapan dan keyakinannya tentang kesejahteraan hidupnya.
Sebagian kaum Muslimin yang lain mengaitkan amal kebaikan dengan kemuliaan hidup di akhirat. Mereka memandang amal salih sebagai tiket untuk memasuki syurga, juga bagi menjauhkan azab api neraka.
Kerohanian orang yang bersandar kepada amal sangat lemah, terutamanya mereka yang mencari keuntungan keduniaan dengan amal mereka. Mereka tidak tahan menempuh ujian. Mereka mengharapkan perjalanan hidup mereka senantiasa selasai dan segala-segalanya berjalan menurut apa yang dirancangkan. Apabila sesuatu itu berlaku di luar jangkauan, mereka cepat panik dan gelisah.
Balak bencana membuat mereka merasakan yang merekalah manusia yang paling malang di atas muka bumi ini. Bila berjaya memperoleh sesuatu kebaikan, mereka merasakan kejayaan itu disebabkan kepandaian dan kebolehan mereka sendiri. Mereka mudah menjadi ego serta suka menyombong.
Apabila rohani seseorang bertambah teguh dia melihat amal itu sebagai jalan untuknya mendekatkan diri dengan Tuhan. Hatinya tidak lagi cenderung kepada faedah duniawi dan ukhrawi tetapi dia berharap untuk mendapatkan kurniaan Allah s.w.t separti terbuka hijab-hijab yang menutupi hatinya.
Orang ini merasakan amalnya yang membawanya kepada Tuhan. Dia sering mengaitkan pencapaiannya dalam bidang kerohanian dengan amal yang banyak dilakukannya separti berzikir, bersembahyang sunat, berpuasa dan lain-lain. Bila dia tartinggal melakukan sesuatu amal yang biasa dilakukannya atau bila dia tergelincir melakukan kesalahan maka dia merasa dijauhkan oleh Tuhan. Inilah orang yang pada peringkat permulaian mendekatkan dirinya dengan Tuhan melalui amalan tarekat tasawuf.
Jadi, ada golongan yang bersandar kepada amal semata-mata dan ada pula golongan yang bersandar kepada Tuhan melalui amal. Kedua-dua golongan tersebut berpegang kepada keberkahan amal dalam mendapatkan sesuatu.
Golongan pertama kuat berpegang kepada amal lahiriah, yaitu perbuatan lahir yang dinamakan usaha atau ikhtiar. Jika mereka bersalah memilih ikhtiar, hilanglah harapan mereka untuk mendapatkan apa yang mereka hajatkan. (bersambung)