Perbuatan Lahir dan Suasana Hati, Ini Sorotan Kitab Hikam (1)
Kitab Al-Hikam dikenal sebagai kitab induk hikmah. Memuat pelbagai ajaran tasawuf, dimensi kerohanian dalam Islam dalam keunggulan Tauhid.
Karya Ibnu Athaillah As-Sakandari ini, menjadi bacaan yang intim bagi dunia pesantren di Indonesia. Karena itu, KH Miftachul Akhyar, Pengasuh Pesantren Miftachussunnah, Kedungtarukan Surabaya, setiap Jumat memberikan pengajian berdasar kitab Al-Hikam itu.
Dalam beberapa edisi mendatang, ngopibareng.id, menghadirkan penjelasan atas aforisme dari Ibnu Athaillah As-Sakandari itu, sebagai bagian dari bahasan tentang dimensi kerohanian dalam Islam ini.
"Perbuatan lahir dan suasana hati. Sebagian dari tanda bersandara kepada amal (perbuatan lahir) adalah berkurangnya harapan (suasana hati) ketika berlaku padanya suatu kesalahan."
"Hati yang bebas daripada bersandar kepada amal sama halnya amal lahir atau amal batin adalah hati yang menghadap kepada Allah s.w.t dan meletakkan pergantungan kepada-Nya tanpa membawa sesuatu amal, lahir atau batin, serta menyerah sepenuhnya kepada Allah s.w.t tanpa sesuatu tafsiran atau tuntutan."
Imam Ibnu Athaillah As-Sakandari, memulaikan kalam hikmatnya dalam Kitab Hikam, mengajak kita merenung kepada hakikat amal. Amal dibagi dalam dua jenis: perbuatan lahiriah dan perbuatan hati atau suasana hati berhubung dengan perbuatan lahiriyah itu.
Beberapa orang boleh melakukan perbuatan lahir yang serupa tetapi suasana hati berhubung dengan perbuatan lahir itu tidak serupa. Kesan amalan lahir kepada hati berbeda antara seorang dengan seorang yang lain. Jika amalan lahir itu mempengaruhi suasana hati, maka hati itu dikatakan bersandar kepada amalan lahir. Jika hati dipengaruhi juga oleh amalan hati, maka hati itu dikatakan bersandar juga kepada amal, sekalipun berupa amalan batin.
Hati yang bebas daripada bersandar kepada amal sama halnya amal lahir atau amal batin adalah hati yang menghadap kepada Allah s.w.t dan meletakkan pergantungan kepada-Nya tanpa membawa sesuatu amal, lahir atau batin, serta menyerah sepenuhnya kepada Allah s.w.t tanpa sesuatu tafsiran atau tuntutan.
Hati yang demikian tidak menjadikan amalnya, lahir dan batin, walau berapa banyak sekalipun, sebagai alat untuk tawar menawar dengan Tuhan bagi mendapatkan sesuatu. Amalan tidak menjadi perantaraan di antaranya dengan Tuhannya. Orang yang seperti ini tidak membataskan kekuasaan dan kemurahan Tuhan untuk tunduk kepada perbuatan manusia.
Allah s.w.t Yang Maha Berdiri dengan sendiri berbuat sesuatu menurut kehendak-Nya tanpa dipengaruhi oleh siapa dan sesuatu. Apa saja yang mengenai Allah s.w.t adalah mutlak, tiada batasan, dan perbatasan. Oleh karena itu orang arif tidak menjadikan amalan sebagai batas membelenggu ketuhanan Allah s.w.t atau "memaksa‟ Allah s.w.t berbuat sesuatu menurut perbuatan makhluk.
Perbuatan Allah s.w.t berada di hadapan dan perbuatan makhluk di belakang. Tidak pernah terjadi Allah s.w.t mengikuti perkataan dan perbuatan seseorang atau sesuatu.
Sebelum menjadi seorang yang arif, hati manusia memang berhubung rapat dengan amalan dirinya, baik yang lahir mau pun yang batin. Manusia yang kuat bersandar kepada amalan lahir adalah mereka yang mencari faedah keduniaan dan mereka yang kuat bersandar kepada amalan batin adalah yang mencari faedah akhirat.
Kedua-dua jenis manusia tersebut berkepercayaan bahwa amalannya menentukan apa yang mereka akan peroleh baik di dunia maupun di akhirat.
Kepercayaan yang demikian kadang-kadang membuat manusia hilang atau kurang pergantungan dengan Tuhan. Pergantungan mereka hanyalah kepada amalan semata-mata ataupun jika mereka bergantung kepada Allah s.w.t, pergantungan itu bercampur dengan keraguan.
Seseorang manusia boleh mengoreksi diri sendiri apakah kuat atau lemah ketergantungannya kepada Allah s.w.t. (bersambung)