Perbedaan Takwil, Kenapa Harus Mengafirkan?
Ulil Abshar Abdalla, cendekiawan Muslim yang kini sedang merinis berdirinya PP Ghazalian College, kembali aktif menggelar pengajian online. Kali ini, Ngaji Kitab Faishalut At Tafriqah.
Pada saat ini, adalah fasal pembahasan tanggal 26 Juli 2022. Disebutkan, keterangan yang bukan berasal dari Imam Al- Ghazali melainkan klarifikasi atau penjelasan dari penulis mengenai kaidah untuk memahami atau menakwili sifat-sifat Allah SWT terutama yang secara makna menggunakan akal manusia sulit dipahami (ayat-ayat mutasyabihat). Ini adalah kaidah takwil secara umum. Kira-kira seperti metode takwil ala Imam Al-Ghazali. Hermeneutika ala imam Al-Ghazali.
Maka dengarkanlah mengenai cara-cara menakwili ayat-ayat mutasyabihat.
Sesungguhnya engkau telah mengetahui konsensus atau kesepakatan dari kelompok-kelompok dalam agama Islam mengenai derajat-derajat yang 5 yang digunakan dalam mentakwil. (derajat 5 wujud seperti penjelasan di ngaji sebelumnya). Semua mazhab menyetujui derajat 5 wujud ini namun output-nya dalam penggunaannya akan berbeda-beda. (Hasil atau output yang berbeda-beda inilah yang menyebabkan perselisihan).
Tak Mengandung Pembohongan
Mereka juga sepakat bahwa segala sesuatu berdasarkan derajat 5 tersebut tidak mengandung pembohongan.
Mereka juga sepakat bahwa berdasarkan derajat 5 tersebut ada hal yang mustahil dipahami secara wujud fisik dan hanya bisa dipahami secara batin. Contoh ‘batu kali’ ada wujud fisik, sedangkan ‘kamu kepala batu’ adalah simbolisme karena bukan berarti kepalanya berwujud batu.
Karena sesungguhnya pada derajat pertama bisa digunakan maknanya maka derajat lainnya ikut. Sedangkan jika tidak maka derajat sebelumnya tidak bisa digunakan. Contohnya itu ‘kamu kepala batu’ ini maknanya berada derajat ke-4 dan karenanya makna di derajat pertama tidak masuk akal. Oleh karenanya jika suatu makna sulit dipahami secara akal di derajat pertama maka turun ke derajat selanjutnya dan selanjutnya. Sistematis.
Maka sesungguhnya jika makna di derajat kedua dipahami maka dengan demikian akan mengandung makna di derajat selanjutnya. Jika tidak maka turun ke derajat selanjutnya. Demikian turun dan turun ke derajat di bawahnya hingga derajat terakhir.
Tidak ada keringanan dari sebuah tingkatan makna(semantik) turun dari makna derajat pertama misalnya langsung ke derajat ketiga. Terkecuali ada keadaan mendesak. Maka perbedaan yang timbul tersebut kembali kepada metode yang digunakan oleh setiap kelompok dalam Islam.
Karena seorang pengikut imam Ibn Hanbal (kelompok yang paling minimal menggunakan takwil, lebih utamakan literal. Yang paling maksimal kelompok Mu'tazilah) menjelaskan: tidak ada dalil mengenai terkhususkannya sifat Allah SWT secara khusus dengan arah atas (arah atas secara umum, general) karenanya tidak usah menakwili ayat tersebut. (ini mengacu pada ayat ‘Allah SWT duduk di atas singgasana’ yang menyebabkan pemahaman Allah SWT memiliki badan agar bisa duduk).
Dua Kelompok
‘Penjelasan Gus Ulil: Umat Islam terbagi atas 2 kelompok yaitu Sunni dan Syiah. Aqidah terbagi 2 yaitu aqidah Asy’ariah dan Maturidiyah (sebenarnya mirip tapi ada sedikit perbedaan). Aqidah Asy'ariyah pada umumnya diikuti oleh kelompok sunni 2 mazhab yaitu mazhab Syafi’i dan Maliki. Pengikut mazhab Syafi’i tersebar di Asia Tenggara dan pengikut mazhab Maliki tersebar di Afrika dan sebagian Mesir serta Syria. Aqidah Maturidiyah umumnya diikuti oleh mazhab Hanafi.’
‘Selain itu ada umat sunni yang ikut aqidah Salaf yaitu kaum Wahabi dan Muhammadiyah. Walau berbeda-beda semuanya tetap ahlul Islam dan sesama ahlul Islam dilarang saling mengkafir-kafirkan yang berbeda. Persaudaraan Islam bukan artinya harus sepakat semua-muanya. Perbedaan ini adalah rahmat Allah SWT.’
Tetapi pengikut Imam Asy’ariyah membalas bantahan pengikut imam Hanbali tersebut bahwa tidak ada kemustahilan melihat Allah SWT kelak di akhirat karena ada dalilnya di Al-Qur’an. Bisa dilihat dengan akal, bahwa kelak di akhirat umat Islam bisa melihat Allah SWT.
Dan seolah-olah dari tiap kelompok itu tidak puas terhadap pendapat lawannya tersebut (lawan debat bukan musuh. Hanya lawan atau teman diskusi). Juga takwil setiap kelompok bukanlah ketetapan. Jika ada suatu perkara yang terjadi pun tidak seyogyanya tiap kelompok mengafirkan lawannya karena perbedaan takwil.
*) Ringkasan Ngaji Faisal al-Tafriqah, akun fb Warna Embun.