Perbedaan Aturan Fikih dan Aturan Personal, Ini Penjelasan Ulama
Aturan fikih dan aturan personal kadang menjadi rancu apabila yang memberi aturan adalah tokoh agama atau orang yang secara umum diperintah oleh agama agar ditaati.
Tapi keduanya tetap harus dibedakan sebab konsekuensinya berbeda. Berikut ini perbedaannya:
1. Aturan fikih berasal dari dalil syariat yang terperinci, sedangkan aturan personal berasal dari pertimbangan pribadi yang menganggap suatu tindakan sebagai kebaikan atau kesalahan.
2. Aturan fikih bersifat mengikat secara syariat dalam arti yang melanggar dianggap berdosa sebab menentang aturan agama. Namun aturan personal tidak sampai demikian sehingga yang melanggar tidak dianggap berdosa tapi dianggap tidak patuh terhadap kebijakan pemberi aturan.
Kalau pun ada sanksi pada pelanggar aturan personal, maka itu hanya sanksi sosial, bukan sanksi atas nama agama.
Contoh aturan fikih adalah:
- wajib shalat lima waktu,
- sunnah shalat tahajjud,
- makruh makan minum berdiri,
- haram memutus silaturahmi dan sebagainya.
Semua aturan fikih berasal dari dalil--dalil syariat yang terperinci dan jelas. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada perbedaan pendapat dalam memahami dan menyimpulkan dalil tersebut. Tapi meskipun kadang kesimpulannya berbeda-beda, semuanya tetaplah aturan fikih.
Empat Contoh Masalah
Contoh aturan personal adalah:
- Seorang Habib atau banyak Habaib melarang putrinya (Syarifah) menikah dengan non-Sayyid agar nasab kenabian jalur lelaki tidak putus.
- Seorang konglomerat melarang anaknya menikahi orang miskin agar rumahtangganya lebih stabil.
- Seorang ibu memerintahkan anaknya bercerai karena merasa tidak cocok dengan menantu perempuannya.
- Seorang guru mewajibkan anak didiknya shalat tahajud atau puasa sunnah.
Semua aturan semisal di atas adalah aturan personal sebab bukan berasal dari dalil syariat yang terperinci tetapi berasal dari pandangan pribadi dengan alasan tertentu. Alasan tersebut bisa saja benar, bahkan sangat benar dan dapat dimaklumi, tetapi tetap saja itu bukan aturan syariat yang berasal dari Allah atau Rasulullah.
Dengan demikian, yang tidak patuh terhadap aturan tersebut bukan berarti bermaksiat terhadap Allah dan Rasulullah tetapi hanya melanggar kebijakan pemberi aturan. Paling banter, pelanggar hanya bisa dimarahi atau diberi sanksi sosial tertentu, tetapi tidak bisa dihukumi berdosa, bermaksiat, apalagi disebut menentang Allah atau Rasulullah.
Namun, perlu dicatat bahwa ada sebagian aturan personal yang secara syariat diakui sehingga secara syariat pula tidak boleh dilanggar, semisal perintah dari ulil amri yang berupa hal-hal yang maslahat, ini wajib ditaati sehingga pelanggaranya dianggap berdosa.
Dalam kasus pernikahan antara Syarifah dan non-Sayyid, mungkin beberapa pihak menganggap contoh saya ini sangat sensitif sebab tokoh ulama dari kalangan Habaib yang melarang cukup banyak.
Saya sangat memaklumi pelarangan tersebut bahkan saya setuju terhadap kebijakan semacam itu, tetapi tetap saja bagi saya itu bukan fikih namun pertimbangan personal. Kalau bicara dalil fikih, justru tidak ada pelarangan bahkan sebaliknya ada dalil-dalil kebolehan.
Namun sekali lagi, wajar bila belakangan ada yang merasa pantas melarang praktik pernikahan semacam itu demi alasan menjaga kemurnian nasab, tapi sekali lagi ini bukan fikih.
Semoga bermanfaat.
Demikian penjelasan Abdul Wahab Ahmad dari Universitas Islam Negeri KH Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember.
Advertisement