Perbanyak Lawatan ke Luar Negeri, Ini Alasan Gus Dur
Ini ijtihad Gus Dur. Menyelesaikan masalah dalam negeri dari luar negeri. Gus Dur berkeyakinan, berbagai persoalan dalam negeri, sangat terkait erat dengan pihak luar negeri. Karena itu, memperkuat lobby dan kerja sama dengan pihak luar adalah sebuah solusi. Gus Dur pun akhinrya secara marathon berkunjung ke beberapa negara.
Saat Gus Dur memerintah, NKRI memang dalam kondisi rawan. Timor-Timur baru saja melepaskan diri dari Indonesia, kemudian menjadi negara Timor Leste. Perekonomian dalam ancaman krisis. Gerakan untuk melepaskan diri dari pangkuan ibu pertiwi masih terdengar di Aceh dan Papua. Bahkan, di Maluku juga sayup-sayup terdengar.
Ambon masih membara. Terjadi konflik horisontal antara masyarakat yang beragama Islam dan Kristen. Ratusan atau bahkan ribuan nyawa sudah melayang sia-sia. Tanda-tanda konflik berakhir belum kelihatan. Di sana, kehidpan masyarakat benar-benar terbelah. Baik secara teritorial maupun secara sosial.
Semua itu butuh penyelesaian cepat. Pemerintahan B.J. Habibie, telah mengupayakan berbagai penyelesaian. Namun, hasilnya belum optimal. Karena itu, Gus Dur berusaha mencari terobosan baru dengan melakukan pendekatan-pendekatan diplomatik di luar negeri. Harapannya, para pemimpin dunia ikut membantu menyelesaikan. Paling tidak, tidak menyokong. Atau melarang warganya ikut campur.
Logis! Namun, Langkah itu tetap menimbulkan pro-kontra. Ini bisa dimaklumi, untuk perjalanan ke luar negeri, rombongan presiden tentu membutuhkan dana yang cukup besar. Pesawat yang dipakai adalah pesawat carteran. Biasanya milik Garuda. Karena pada waktu itu, Indonesia belum memiliki pesawat kepresidenan seperti sekarang.
Pesawat yang dicarter untuk pesawat kepresidenan, sebelum dipakai, harus disulap dulu tata letak cabinnya. Disesuaikan dengan standar pesawat kepresidenan. Bagian depan, cabin pesawat didesain untuk ruang presiden dan keluarga. Ada kamar tidur, ada ruang kerja. Juga tempat duduk VVIP. Di belakang itu, baru ruang VIP untuk para menteri dan pengusaha yang ikut serta. Adapun ajudan, staff istana dan wartawan, menempati ruangan yang paling belakang.
Ribet! Butuh persiapan serius. Bisa dibayangkan, berapa biaya yang dibutuhkan untuk semua itu. Tentu tidak sedikit. Jadi, wajar bila ada pihak-pihak yang merasa keberatan dengan lawatan Gus Dur itu. Apalagi, frekuensinya memang over bila dibanding dengan presiden-presiden sebelumnya. Dan, hasil dari kunjungan itu, tentu tidak bisa dilihat dalam waktu sekejap.
Soal biaya yang besar itu, sepertinya sangat disadari oleh pihak istana. Maka, upaya menekan biaya perjalanan pun dilakukan. Yang saya tahu adalah terkait dengan jurnalis. Selama mengikuti perjalanan ini, wartawan hanya mendapat fasilitas transportasi. Artinya, yang gratis hanya pesawatnya dan kendaraan selama berada di negara tujuan. Untuk akomodasi; hotel dan makan ditanggung sendiri. Makan gratis hanya ketika ada jamuan makan, baik yang diadakan KBRI atau oleh tuan rumah.
Ini sangat beda dengan era Pak Harto. Semua gratis. Juga dapat uang saku, baik dari negara, maupun dari keluarga Cendana yang ikut serta. “Kadang kita masih dibelikan oleh-oleh,” kata seorang wartawan senior.
Saya punya pengalaman mengikuti kunjungan dengan Gus Dur ke 12 negara di Asia dan Eropa. Dimulai dari Arab Saudi, lalu ke beberapa negara di Eropa, India, Jepang, Korea Selatan dan berakhir di Thailand. Untuk mengikuti kunjungan itu, saya harus membawa uang dollar cukup banyak. Karena itu, hanya kantor-kantor media besar saja yang berani mengikutkan wartawananya.
“Dengan mengikutkan wartawan ke luar negeri, perusahaan media mendapatkan keuntungan besar. Karena itu, mereka harus mengeluarkan dana sendiri. Membiayai sendiri. Jangan menggunakan uang rakyat,” begitulah alasan yang pernah disampaikan Gus Dur.
Alasan yang rasional. Mudah dipahami! Tapi, lagi-lagi tidak semua bisa menerima dan memahaminya. Para wartawan senior yang di era Pak Harto selalu diikutkan kunjungan secara bergiliran, menjadi panas dingin. Ketidaksukaan mereka terhadap Gus Dur gara-gara melonggarkan syarat seorang wartawan bisa liputan di istana, belum juga terobati. Ini malah ditambah dengan masalah baru. Klop! Luka belum sembuh, disiram air garam!
***
Selama menjadi wartawan kepresidenan, saya pernah ke luar negeri bersama dua presiden dan satu wakil presiden; Gus Dur, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Jusuf Kalla. Kunjungan dengan SBY saya anggap perjalanan yang sangat normal dan bisa dinikmati. Semua biaya perjalanan dan akomudasi gratis. Uang saku juga disiapkan dari istana. Schedule tersusun rapi. Selain aganda resmi, dialokasikan waktu untuk “mengatur nafas”, jalan-jalan dan belanja oleh-oleh.
Kunjungan dengan Kalla, hampir mirip dengan SBY. Hanya yang beda, Kalla tidak menggunakan pesawat kepresidenan. Sehingga, rombongan harus berangkat secara bergelombang dengan pesawat reguler yang berbeda-beda. Dijemput di bandara negara tujuan dan ketemu di tempat acara.
Kalla berangkat terlebih dahulu. Juga dengan mengunakan pesawat regular. Rombongan yanag menyertai sangat kecil. Setelah itu, staff wapres dan jurnalis berangkat sendiri-sendiri. Rombongan dibagi sekenanya, sesuai dengan tiket pesawat yang tersedia. Saya kebagian harus berangkat berdua, dengan hanya satu teman.
Dalam lawatannya, SBY maupun Kalla tidak mengagendakan banyak negara untuk dikunjungi. Saat itu, SBY hanya mengagendakan tiga negara: Kuba, Finlandia dan Norwegia. Sedang Kalla, hanya dua negara; Jepang dan Korea.
Bagaimana dengan Gus Dur? Perbedaan yang mencolok adalah soal biaya akomodasi dan konsumsi yang menjadi tanggung jawab sendiri. Uang saku atau uang perjalanan juga tidak ada. Yang membedakan lagi adalah padatnya agenda yang disiapkan. Tidak ada alokasi waktu untuk jalan-jalan (refreshing). Apalagi belanja ria di pusat perbelanjaan atau di pusat oleh-oleh. Kalau ingin menyalurkan hajat itu, ya harus pinter-pinter ngatur waktu.
Lawatan luar negeri Gus Dur yang saya ikuti kebetulan cukup spektakuler. Dalam waktu 16 hari, negara yang dikunjungi 12. Semula 13 negara, namun satu dibatalkan karena presidennya sakit. Bisa dibayangkan betapa padatnya acara. Ketika kunjungan di Eropa, satu hari kegiatan diadakan di 3 negara. Pagi di Jerman, siang di Perancis, malam di Belanda.
Selalu full agenda. Begitu tiba di negara tujuan, langsung ke lokasi acara. Tidak ada waktu ganti baju atau sekedar cuci muka dulu. Barang bawaan pun masih standbay di bagasi pesawat.
Tancap gas sudah dimulai di hari pertama lawatan. Subuh berangkat dari Bandara Halim Jakarta. Setibanya di Riyadh, berbagai agenda langsung digelar. Pertemuan dengan Raja Arab dan dengan para pengusaha Arab. Malam harinya, jam 22.00 waktu setempat atau sekitar 02.00 dini hari waktu Indonesia langsung melaksanakan ibadah umroh.
Teler betul. Saat itu, saya mengalami diare cukup serius. Untung masih bisa menjalankan ibadah umrah dengan sempurna.
Umrah bersama Gus Dur ini adalah umrah pertama bagi saya. Sungguh moment indah dan sangat membahagiakan. Namun, menjalaninya sambil tertatih-tatih. Rasanya seperti mimpi. Terkadang mimpi betulan karena terlelap tidur (hehehe..). Ngantuk di atas mobil.
Bisa dibayangkan seperti apa lelahnya; berangkat subuh, berarti saya harus siap-siap (bangun tidur, mandi dan ganti baju) mulai pukul 02.00 WIB. Pukul 02.30 keluar dari kontrakan, cari taksi dan sampai bandara jam 04.00 WIB. Kalau kemudian umroh pada pukul 22.00 waktu Arab Saudi, berarti sama saja pada pukul 02.00 WIB saya mulai umroh. Artinya, 24 jam nonstop tidak istirahat.
Agenda padat itu, terus terjadi selama lawatan. Sehingga 12 negara yang dikunjungi itu, hanya dilewati sekilas-sekilas. Menara Eiffel yang terkenal itu, hanya bisa saya lihat dari jendela bus. Tidak sempat mendekat, apalagi foto-foto.
Bagi jurnalis, kondisi ini benar-benar merepotkan. Berita yang didapat memang banyak. Tapi, waktu untuk menulisnya yang tidak ada. Tidak jarang kami harus menulis berita di atas pesawat atau di atas mobil. Begitu sampai lokasi, kita kedandaban (pontang-panting) mencari facsimile untuk mengirim berita. Zaman itu, jaringan internet belum secanggih sekarang. Jika tidak ditemukan mesin facsimile, maka laporan via telpon-lah yang menjadi pilihan. Heboh alias Seru! Hehehe..
Ada kejadian menggelikan menimpa para jurnalis selama kunjungan dengan Gus Dur ini. Yakni, ketika lawatan di Inggris. Seperti kunjungan di negera-negara sebelumnya, para kuli tinta ini sudah di-booking-kan hotel oleh pihak istana. Sehotel atau paling tidak, dekat dengan hotel presiden. Namun untuk di London ini bermasalah. Tarif hotelnya terlalu tinggi. Sekitar Rp 5 juta lebih per malam. Para wartawan keberatan. Budget dari kantor tidak sebesar itu. Solusinya? Dibatalkan dan cari hotel baru.
Ini solusi. Tapi, tidak seindah jargon pegadaian: menyelesaikan masalah tanpa masalah. Ini menyelesaikan masalah dengan masalalah. Gara-gara opsi itu, kami harus berjalan beriringan menyusuri kota London dengan memanggul koper. Tujuannya satu: mencari hotel murah. Terjangkau oleh budget kantor.
“Jauh-jauh ke London, ternyata jadi kuli panggul koper,” gurau saya ke teman-teman.
Alhamdulillah akhirnya dapat. Jurnalis yang berjumlah sekitar 30 orang itu harus terpencar di beberapa hotel. Saya dapat sebuah hotel kecil. Ruangannya sangat fresh body. Ngapret! Penuh sesak terisi dua bad kecil dan kamar mandi mungil. Berapa tarifnya? Tetap saja selevel hotel bintang 5 di Indonesia.
Oke. Tidak apa-apa. Yang penting bisa mandi dan merebahkan badan. Hanya tidur sekitar 4 jam. Dini hari, harus tancap gas lagi mengikuti ke mana Gus Dur melangkah. (bersambung)
Akhmad Zaini
Mantan jurnalis, kini aktif di IAINU Tuban.