Perayaan Imlek, Jasa Gus Dur, Bapak Tionghoa Indonesia
Perayaan Imlek, dikenal sebagai Tahun Baru China, menjadi hari libur nasional. Hal itu menunjukkan eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia bagian tak terpisahkan di negeri ini.
Eksistensi kaum Tionghoa hingga mempunyai kedudukan sederajat dengan warga bangsa lainnya di Indonesia, tak lepas dari sosok KH Abdurrahman Wahid. Presiden keempat RI berperan penting, mengakui eksistensi masyarakat etnis Tionghoa itu, melalui kebijakan-kebijakan saat memimpin negeri ini.
Selama era Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto, masyarakat etnis Tionghoa dilarang merayakan Imlek secara terbuka. Belum diketahui alasan atau latar belakang Soeharto melahirkan sejumlah kebijakan yang dianggap mendiskriminasi etnis Tionghoa.
Adapun mengenai larangan perayaan Imlek secara terbuka, kebijakan itu diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Dalam aturan itu, Soeharto menginstruksikan agar etnis Tionghoa yang merayakan pesta agama atau adat istiadat "tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga".
"Selama era Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto, masyarakat etnis Tionghoa dilarang merayakan Imlek secara terbuka. Belum diketahui alasan atau latar belakang Soeharto melahirkan sejumlah kebijakan yang dianggap mendiskriminasi etnis Tionghoa. "
Sementara itu, kategori agama dan kepercayaan China ataupun pelaksanaan dan cara ibadah dan adat istiadat China itu diatur oleh Menteri Agama setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung. Imlek dan Cap Go Meh kemudian masuk dalam kategori tersebut.
Setelah Soeharto jatuh pada 1998, bermacam tradisi dan adat istiadat Tionghoa yang dilarang tidak serta-merta bisa langsung dijalani kembali. Sejumlah kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa juga masih ada, misalnya kewajiban menyertakan surat bukti kewarganegaraan RI ketika mengurus dokumen kependudukan khusus untuk etnis Tionghoa.
Saat Gus Dur terpilih menjadi presiden hasil pemilihan umum pertama pada era reformasi, sejumlah perubahan dilakukan. Salah satu momen penting adalah ketika Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Inpres itu dicabut dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 pada 17 Januari 2000.
Prosesnya terbilang cepat, malah membuat Budi kaget dengan sikap Gus Dur itu.
"Waktu itu, kami ngobrol sambil berjalan mengelilingi Istana. Gus Dur lalu bilang, oke, Imlek digelar dua kali, di Jakarta dan Surabaya untuk Cap Go Meh. Kaget juga saya," kata Sekretaris Dewan Rohaniwan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia Budi Tanuwibowo.
Ia masih ingat kejadian yang melatarbelakangi pencabutan inpres tersebut.
Rencana perayaan Imlek dan Cap Go Meh itu tentu saja terhambat Inpres Nomor 14/1967 yang saat itu masih berlaku. Namun, dengan spontan, Gus Dur berkata, "Gampang, inpres saya cabut."
Pencabutan pun dilakukan dengan penerbitan Keppres Nomor 6/2000. Keppres itu kemudian menjadikan etnis Tionghoa mulai merayakan Imlek secara terbuka.
Kemeriahan pun terlihat di perayaan Imlek, yang saat itu ditandai sebagai tahun Naga Emas. Ornamen naga, lampion, dan angpau ikut terlihat terpasang indah di sejumlah pertokoan. Atraksi barongsai menjadikan perayaan Imlek semakin ceria.
Namun, perayaan Imlek sebagai hari nasional baru dilakukan dua tahun sesudahnya, pada era Presiden Megawati Soekarnoputri. Megawati menyampaikan penetapan tersebut saat menghadiri Peringatan Nasional Tahun Baru Imlek 2553 pada 17 Februari 2002. Penetapan Imlek sebagai hari libur nasional baru dilakukan pada 2003.
Menjadi bangsa Indonesia Meski demikian, bukan berarti diskriminasi terhadap etnis Tionghoa hilang. Pada 2004, Gus Dur pun mengakui masih ada ribuan peraturan diskriminatif yang belum dicabut.
"Masih ada 4.126 peraturan yang belum dicabut. Misalnya, soal SBKRI. Itu kan sesuatu yang tidak ada gunanya," kata Gus Dur, dikutip Harian Kompas, 11 Maret 2004.
"Di mana-mana di dunia, kalau orang lahir ya yang dipakai akta kelahiran, orang menikah ya surat kawin, tidak ada surat bukti kewarganegaraan. Karena itu, saya mengimbau kawan-kawan dari etnis Tionghoa agar berani membela haknya," ujar Gus Dur, ketika itu.
Gus Dur pun berharap semua elemen bangsa memberikan kesempatan kepada masyarakat Tionghoa dalam kehidupan bermasyarakat.
Mereka adalah orang Indonesia. Menurut Gus Dur, tidak boleh dikucilkan hanya diberi satu tempat saja. Kalau ada yang mencerca mereka tidak aktif di masyarakat, itu karena tidak diberi kesempatan.
Cara terbaik, kata Gus Dur, bangsa kita harus membuka semua pintu kehidupan bagi bangsa Tionghoa sehingga mereka bisa dituntut sepenuhnya menjadi bangsa Indonesia.
Atas kebijakan dan pemikirannya yang terbuka, Gus Dur pun mendapat gelar sebagai "Bapak Tionghoa Indonesia".
Bagi kaum Tionghoa, Gus Dur dinilai telah menghapus kekangan, tekanan, dan prasangka. Pada masa lalu, kaum Tionghoa kerap mendapati stigma buruk, baik dari Pemerintah Indonesia, maupun masyarakat pada umumnya. Gus Dur juga dinilai telah berjasa menjadikan semua warga negara menjadi sederajat.
Tentang gelar kehormatan bagi Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa Indonesia, semula diberikan oleh komunitas Tionghoa Semarang, Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong (Rasa Dharma) pada Minggu 24 Agustus 2014.
Penghormatan terhadap Gus Dur diberikan dalam bentuk Sinci papan penghargaan yang dipasang di klenteng tersebut.
Apa alasan Gus Dur dianugerahi penghargaan tersebut?
Bagi kaum Tionghoa, Gus Dur dinilai telah menghapus kekangan, tekanan dan prasangka. Semasa lalu, kaum Tionghoa kerap mendapati stigma buruk baik dari pemerintah Indonesia, maupun masyarakat pada umumnya. Stigma itu misalnya, dalam bentuk keburukan yang menimpa masyarakat, kaum Tionghoa jadi tumbal.
"Dulu, semua keburukan dilimpahkan ke kami, barang mahal, kami yang disalahkan. Kalau masyarakat gagal panen, kami juga disalahkan," kata Sugiri Kustejo.
Sugiri yang akademisi sekaligus tokoh Tionghoa mengungkapkan hal itu, dalam Talk Show "Makna Peletakan Sinci Gus Dur" di Gedung Rasa Dharma Semarang, Sabtu 23 Agustus 2014 malam. Gus Dur juga dinilai telah berjasa menjadikan semua warga negara menjadi setara. Dia merinci bagaimana sulitnya dulu kaum Tionghoa diberi kode tertentu.
Selain dua unsur tersebut, Gus Dur telah mengembalikan kebebasan berekspresi. Dalam hal ini, semua yang berkaitan dengan kebudayaan dibebaskan oleh Gus Dur. Penggunaan bahasa Mandarin, diperbolehkan bersandingan dengan kebolehan belajar menggunakan bahasa Inggris, maupun Arab.
"Gus Dur secara singkat membalikkan semua itu. Beliau juga mengembalikan nama asli kami. Dia meminta agar kaum Tioghoa bisa menggunakan nama lama kami. Gus Dur itu memang toleran dan menerima perbedaan," kata Sugiri.
Selain hal tersebut, Gus Dur berjasa menjalankan kepercayaan tradisional dan menumbuhkembangkan budaya tersebut. Penghormatan pada Gus Dur dilakukan dengan peletakan Sinci masuk dalam latar tradisional Tionghoa. Komunitas ini mewajibkan untuk menghormati orang tua, leluhur baik ketika masih hidup, maupun meninggal dunia.
"Kami ingin menghormati jasa-jasa Gus Dur baik ketika masih hidup dulu. Kalau sudah diberikan Sinci, namanya tentu akan selalu didoakan oleh komunitas Tionghoa," tutur Sugiri. (adi)