Perangi Jual Beli Nilai dalam STIK-PTIK, Ancam Pidanakan Siswa-Dosen Nakal
Praktik tak elok main sogok, setor, suap hampir terjadi di semua lini kehidupan polisi. Tak terkecuali di bidang pendidikan yang seharusnya steril dari noda tadi. Tapi, jual beli nilai akademik, jual beli nilai mental sampai beli buku diktat dosen seharga Rp 1 juta dengan imbalan nilai "A" masih terjadi Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK)- Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Semua itu hendak diberantas Ketua STIK-PTIK Irjen Pol Dr. Remigius Sigid Tri Hardjanto SH, M.Si.
"Saat masuk ke sini (baca STIK-PTIK) salah satu yang saya lakukan mengindentifikasi, kemungkinan-kemungkinan, atau omongan yang tidak sedap. Soal jual beli nilai akademik, jual beli nilai mental, istilah nyoto (baca nyata). Itu saya akui memang ada. Saya tahunya karena sering mendapatkan SMS dari mana-mana. Termasuk dari Pak Arief (Asisten SDM Polri Irjen Arief Sulityanto)," aku jendral kelahiran Yogyakarta itu.
Soal nyoto itu juga mendapat perhatian serius Kapolri Jendral Pol Tito Karnavian. Tito minta Sigit menghilangkan budaya nyoto di tubuh STIK-PTIK. "Nyoto itu (mahasiswa) memberi atau nyogok (pendidik/dosen). Nyoto bisa macam macam. Nyoto dengan buah, duit, benda sampai gratifikasi. Pak Kapolri berkali-kali bilang hilangkan itu. Saya pikir, korelasinya, nyoto kenapa mereka seperti itu, karena mereka ingin lulus dengan ranking yang bagus. Sedangkan ranking itu ada korelasinya dengan penempatan (setelah lulus PTIK) di Polda strategis," kata Sigit.
Selama ini ranking digunakan sebagai dasar penempatan setelah lulus PTIK. Misalnya, rangking 1-10 ditempatkan di Polda Metro Jaya yang menjadi incaran para polisi. Ranking berikutnya ditempatkan di Polda Pulau Jawa dan Polda Sumut. Rangking bontot atau buncit di Polda Luar Jawa seperti Polda NTT, Polda Papua. Karena ranking menentukan penempatan maka para siswa memburu ranking sekalipun harus menggunakan pratik nyoto tadi.
Sigit bertekad hendak memerangi budaya buruk itu di lembaga yang dipimpinnya. Nyoto dalam segala bentuk, manifestasi, dan modusnya sekecil apa pun tidak bisa ditolerir lagi. Selama ini kata Sigit, siswa yang akan maju skripsi juga menyiapkan makanan-minuman (mamin) kepada penguji. Saat ini dilarang.
"Mamin meski nilainya tak seberapa diyakini salah satu bentuk gratifikasi. Apalagi, memberi uang ke dosen. Kalau tertangkap akan dikeluarkan dan dipidana-kan. Itu namanya jual beli nilai," ingat Sigit.
Koordinator mahasiswa yang berwenang memberikan nilai mental kepribadian juga sudah diperingatkan segera menghentikan kebiasaan sotoisasi.
Sigit juga memanggil para dosen/pengajar agar tidak melakukan praktik nyoto. Misalnya, modus klasik ketika dosen minta mahasiswa membeli buku diktat untuk satu mata kuliah harganya selangit; Rp 1 juta. "Kalau beli nilainya bisa A semua. Itu kan tidak benar. Dosennya juga saya ancam. Yang (dosen) seperti itu sudah menjadi bahan evaluasi," kata Sigit.
Sebenarnya para siswa sudah dipagari agar tidak melakukan pengkhianatan intelektual melakukan praktik nyoto. Caranya, membuat surat pernyataan. Semacam janji pada diri sendiri bahwa belajar itu mencari ilmu bukan mencari ranking dengan cara menyogok.
Surat pernyataan tadi dicopy, dibendel jadi satu. Sedangkan yang asli disimpan siswa. Dipigura, dipasang di dinding kamar mereka. Intinya, siswa tidak boleh melakukan tindakan tercela, melakukan pemerasan kepada masyarakat, tidak mencari jabatan dengan membayar, tidak menyalagunakan jabatan, tidak menyuruh bawahan mencari uang sampai menghilangkan budaya setor ke pimpinan. "Setiap surat dibubuhi materai dan ditandatangani pembuatnya. Juga ditandatangani dua rekannya sebagai saksi," papar Sigit.
Tapi, ya itu tadi tetap saja tembus. Saat para siswa sudah lulus dan bertemu Sigit di daerah, mereka jujur bercerita. ‘’Iya Pak, kemarin begini begini. Masih ada nyoto,’’ aku mantan siswa kepada Sigit.
Budaya nyoto sulit dihilangkan karena nyoto bentuk simbiosis mutualisme. Sepanjang ada yang butuh maka suplai akan ada. "Saya gregetan. Pokoknya kalau sampai tertangkap kayak di Sespimmen beberapa saat lalu, dua duanya saya pidanakan. Tapi, kan susah tertangkap tangan. Yang jelas nyoto itu nyata dan menjadi masukan buat saya," aku Sigit jujur.
Mahasiswa PTIK adalah anggota Polri berpangkat AKP yang sedang menempuh pendidikan untuk gelar sarjana ilmu kepolisian (SIK). Anggota Polri yang bersekolah di PTIK jika lulus diproyeksikan sebagai Kasat, Kabag Ops, Kapolsek atau Wakapolres.
Apakah sebaiknya sistem ranking dihapus saja supaya tidak memancing siswa melakukan nyoto? Sigit menyatakan, belum akan menghapus sistem ranking karena itu salah satu tolak ukur atau instrumen menilai keberhasilan pendidikan. Tapi, istilahnya diganti mahasiswa berpredikat terbaik. Misalnya, yang tulisan skripsinya terbaik akan mendapat apresiasi seperti pemberian piagam.
Ditambahkan Sigit, kalau sistem ranking dihapus, dan tidak ada hubunganya dengan penempatan bisa berdampak turunnya semangat mahasiswa dalam kuliah. Mereka berfikir jika ranking 1, tapi ditempatkan di luar Jawa, maka itu tidak sesuai keinginannya.
"Berikan trust kepada saya untuk mengelola sampai tidak ada kolusi, nyoto. Itu sudah saya kikis. Pasti memerlukan waktu, tidak bisa segera. Caranya, kita pasang nilai mereka setiap habis ujian. Saya minta dosen jangan terlalu lama mengoreksinya. Begitu selesai ujian keluarkan nilainya. Pandangan saya sebagai kepala sekolah melihat psikologi mahasiswa, berilah reward pada mereka. Soal penempatan terserah Pak Arief (Asisten SDM Polri). Saya hanya mendidik," aku Sigit.
Sistem Berubah, Lulusan PTIK Galau
Namun sejak jabatan Asisten SDM Polri dipegang Irjen Arief Sulistyanto, Februari 2017 semua aturan dirombak. Peraturan baru itu menempatkan lulusan PTIK di luar daerah asal pengirimnya. Misalnya, si A yang dulunya berangkat dari seleksi Polda Metro Jaya, maka setelah lulus sekolah PTIK dia tak akan kembali berdinas di Polda Meto Jaya. Arief menutup seluruh Polda di Pulau Jawa dan Sumatra Utara bagi penempatan lulusan PTIK berpangkat AKP.
Aturan baru sudah diberlakukan pada mahasiswa PTIK angkatan 70, 71 dan 72. Karena itu Eko Prahutomo, Ketua Senat Perhimpunan Mahasiswa Ilmu Kepolisian PMIK) angkatan 73 bersama rekannya 144 orang mengaku harap harap cemas terkena aturan baru Asisten SDM Polri di atas.
Sebab, bulan Maret 2018 mereka akan diwisuda dan berhak menyandang gelar Sarjana Ilmu Kepolisian (SIK). Artinya, mereka akan dipindahkan ke tempat dinas yang baru. Itu lah yang membuat Eko dkk cemas.
"Menurut saya perlu diberikan reward pada mahasiswa di PTIK karena dari segi mentalitas maupun semangat dan motivasi kan berkurang kalau sistemnya seperti saat ini. Dengan perbaikan sistem yang sudah bagus di PTIK sekarang, tak ada lagi nyoto. Maka menurut saya sistem sebaiknya dikembalikan lagi ke aturan lama," kata Eko yang ditemui penulis buku ini di kantin PTIK.
Tak hanya menerapkan sistem baru bagi lulusan PTIK, Arief juga membagi Indonesia menjadi zona barat (Sumatra non Sumatra Utara), zone Tengah (Kalimantan, Sulsel, Bali, Jawa), zone Timur (NTB, NTT, sebagaian Sulawesi, Maluku dan Papua). Mereka lalu dirotasi. Yang berangkat dari Polda di Jawa (zona tengah) maka setelah lulus akan ditempatkan ke zona timur, atau barat. Lalu yang zone timur dipindah ke zona barat. Dan, yang zona barat digeser ke zona tengah.
Gebrakan Arief ini lah yang tidak sesuai tradisi selama ini. Pada masa lalu penempatan lulusan PTIK didasarkan ranking yang diberikan sebagai reward. Misalnya, ranking 1—10 ditempatkan di Polda Metro Jaya dan Jawa. Lalu ranking berikutnya di Polda Sumut dan seterusnya.
Soal ranking terkait penempatan ini lah yang menurut Arief, memancing budaya nyoto hingga dia memutuskan menghapuskan faktor ranking untuk penempatan. "Sistem penempatan berdasarkan ranking menciptakan konspirasi pengajar dengan siswa supaya dapat ranking bagus. Berlomba mencari ranking dengan nyoto. Ini akhirnya merusak proses pendidikan itu sendiri. Tak ada transformasi dan transfer pengetahuan dalam proses pendidikan terhadap siswa yang hakikatnya calon pimpinan Polri. Ranking nyatanya hanya kamuflase artifisial," beber Arief.
Tapi, Eko menampik. "Itu dulu. Sistem di PTIK sekarang sudah bagus. Nyoto atau suap di PTIK menurut saya pribadi sudah tidak ada lagi meski dulu diakui itu ada. Semua karena kebijakan Pak Ketua STIK. Pak Sigid membentuk tim operasi tangkap tangan (OTT). Juga evaluasi terhadap mahasiswa maupun dosennya yang membuat perubahan mindset mahasiswa untuk tidak lagi melakukan praktik suap," ujar mantan Kanit Krimsus Polres Metro Jakarta Selatan itu.
Lulusan Akpol 2010 juga mengklaim jika ranking yang diperoleh para siswa PTIK angkatan 73 benar murni hasil perjuangan mereka. Tak ada lagi praktik suap oleh mahasiswa di PTIK sebagaimana ikrar tertulis yang dibuat para siswa. Ardhie Demastyo, Kasie Operasional Pendidkan di Senat menambahkan, dengan dihapuskannya ranking sebagai reward dalam penempatan, itu membuat semangat belajarnya sempat menurun. Kasarnya, untuk apa belajar kalau tidak ada reward.
"Ngapain nih belajar, coba cari ranking, toh penempatan tidak sesuai ranking dan sesuai yang kita inginkan. Atau pun penempatanya diacak. Meski saya sadar, kita di sini, dipanggil PTIK tugasnya belajar, mencari ilmu untuk diterapkan pada saatnya nanti di wilayah. Akhirnya sih kalau pas mikir gitu kami punya semangat lagi," ujar mantan Kasat Lantas Polres Banjarnegara, Jateng.
Sama seperti Eko, Ardhie berharap ada reward yang diberikan kepada mereka yang berprestasi. Meski dia sendiri belum tahu muncul di ranking berapa karena secara global nilai akhir mereka belum disatukan. Nilai itu terdiri akademik, mental kepribadian, dan kesehatan jasmani. Namun untuk akademik Ardhie yakin masuk 10 besar. "Memang sesuai sumpah saat kita lulus Akpol dulu, kita siap ditempatkan dimana saja. Namun tidak ada salahnya kan apabila kita sudah berprestasi lalu pimpinan memberikan reward kepada kita. Salah satunya dengan penempatan itu," harapnya.
Sementara Fandy Setiawan, Kabid Akademik di Senat saat ditanya mengapa dia dkk. ingin ditempatkan di Jawa dan Sumatra Utara, Fandy mengaku, seperti pemahaman masyarakat Indonesia pada umumnya bahwa dalam segala hal, baik pendidikan maupun lainnya Pulau Jawa dan Sumatra Utara lebih maju dibandingkan pulau lain.
Kendati begitu, mantan Kasat Reskrim Polres Kuningan , Jabar, itu pada akhirnya mengaku pasrah dan siap ditempatkan dimana saja. Hal yang sama juga juga diungkapkan Eko dan Ardhi. "Kami ini toh pada akhirnya tentu siap ditempatkan dimana saja," kata Fandy.
Sebaliknya Asisten SDM Polri Irjen Arief Sulistyanto berpendapat, selama ini Polri memang tidak salah jika memberikan apresiasi terhadap orang yang berkualitas yang mendapat ranking 1-10 di PTIK. Dengan catatan itu hasil kompetisi yang sehat dan fair. "Tapi, ternyata ada distorsi dalam pelaksanaannya," katanya.
Pola ini lanjut Arief, juga melemahkan Polda Polda yang jauh dari Jawa, misalnya Polda Maluku dan Polda Papua. Polda yang sebenarnya perlu dibangun tapi mereka malah mendapat kiriman yang notabene rankingnya dibawah. Ini tentu tidak sesuai dengan aspek keadilan dan aspek pemerataan kemampuan.
"Saya tidak bisa mencampuri (soal kebijakan masih adanya ranking di PTIK). Itu proses pendidikan (PTIK). Itu domain Kalemdiklat. Tetapi ini berbahaya bagi masa depan kepolisian. Kalau orientasi siswa bisa ditempatkan di Jawa lalu memburu rangking kalau benar benar belajar sih tidak apa apa. Tapi, di sini kan ada distorsi. Dia menghalalkan segala cara yang penting dapar ranking," kata Arief.
Arief menambahkan, banyak lulusan PTIK memperoleh ranking bagus hanya karena bayar. Sementara mereka yang idealis (orang pintar biasanya punya sikap idealisme) umumnya tak mau melakukan hal seperti itu. Hingga akhirnya yang benar benar pintar tak dapat ranking dan tergerus praktik semacam itu. "Akhirnya, Polri kehilangan calon berkualitas. Yang muncul adalah petruk dadi ratu," ujar Arief.
Petruk dadi ratu sebuah sindiran tentang ketidakbecusan seorang pemimpin. Intinya seseorang yang tidak layak dijadikan pemimpin tapi faktanya dia memimpin sehingga yang terjadi hanya kekacauan. Karena itu berdasar kewenangannya, Arief memastikan ranking tak akan dijadikan dasar penempatan. Dia mengambil langkah ini guna mengubah mindset semua tempat dinas di Indonesia sama. Dari Sabang sampai Merauke sama mulianya. Tidak tempat basah, tempat kering. "Semua tempat memberikan tantangan kita bisa berkompetisi," katanya.
Lantas termasuk jabatan basah. Tahun 2014, Kapolri Jendral Sutarman saat itu gregetan dengan berbagai indikasi dugaan pungli di lingkungan Lantas Polda Metro Jaya dan Polda Jatim. Ia pun membuat gebrakan baru. Sutarman melakukan 'uji coba' memilih polisi berlatar Brimob didudukan di fungsi lalu lintas. Saat itu perwira Lantas yang ketahuan bermain api dinonjobkan. Dibuang ke daerah. Sayang upaya itu kurang berhasil.
Gebrakan Arief membenahi SDM di lingkungan Polri atau Arief Effect mulai bisa dirasakan di internal Polri. Komisioner Kompolnas Irjen (pur) Bekto Suprapto mengatakan, dari 33 Polda yang melakukan rekrutmen pada 2017, ada 9 Polda melakukan penyimpangan dan sudah ditindak. Itu bukti salah satu indikator terjadi perubahan rekrutmen dan seleksi Polri 2017. Rekrutmen menjadi lebih bersih, transparan dan obyektif. Pengawasan dilakukan terpadu oleh internal dan eksternal.
"Berbagai penyimpangan bisa diungkap dan ketahuan. Padahal, sulit untuk memergoki hal semacam itu bisa tanpa pengawasan . Ditambah pelaku dihukum keras. Di PTDH (pemberhentian tidak dengan hormat alias dipecat," ujar Bekto.
Senada disampaikan Karo SDM Polda Jabar Kombes Dhani Kristanto. Katanya, sudah tidak lagi yang berani main mata di era Arief hingga ke level daerah. Perubahan revolosioner oleh Arief di level pusat (Polri) membuat Karo SDM daerah confidence dan berani.
"Kami minta peserta lepas jimat kalau ada yang pegang jimat (istilah pengakuan dosa karena ada sponsor/titipan). Karena jimat sudah tidak berlaku lagi. Pelaksanaan rekrutmen brigadir di Polda Jabar saya jamin sangat berubah . Sebab, baik peserta maupun panitia wajib menandatangani pakta integritas," tuturnya.
Kepala Bagian Seleksi Pendidikan Biro Dalpers SDM Polri Kombes Andhi Hartoyo menambahkan, paling berat soal menolak surat sakti yang meminta tolong seseorang didudukan di posisi tertentu. Namun, meski berat ternyata semua itu bisa ditolak pada masa Arief menjadi komandanya.
"Awalnya Pak Arief 'wait and see', artinya melihat sesuatu. Tapi, sekarang rasanya dia (Arief) semakin percaya diri, semakin kokoh dan kuat. Jadi bempernya Pak Kapolri kalau ada yang titip titip. Ketika dulu menolak barangkali dia masih melihat siapa kawan, siapa lawan. Begitu sekarang, saat dia didukung semua staf yang kuat, maka semakin berkibar," katanya.
Jadi, saat ini dalam bahasa Andhi. "Kita semakin galak, ngomong semakin keras. Kalau dulu kadang memang tidak konsisten. Kita, dulu kalau keras bisa balik kena diri sendiri. Karena dulu kita tidak ditamengi. Kalau sekarang sudah ada tamengnya, kami tinggal bilang. Kalau berani ngomong langsung sama beliau (Arief). Sekarang itu enak di SDM, paling gampang karena nggak goyang goyang." aku Andhi.
Arief Effect dirasakan Andhi. "Saya juga tidak mengatakan saya Mr Clean, tapi saya mau realistis saja. Saya ketemu Pak Arief yang sebelumnya tidak kenal, dimana dia membuat perubahan luar biasa karena kini kita tinggal sandaran ke Pak Arief, sudah aman. Dia orang yang cukup berani dan tidak hanya lips service saja atau beretorika, tapi konsisten," katanya.
Namun Andhi juga tidak menyalahkan para Asisten SDM masa lalu yang pernah dibantu dan diikutinya. Mereka turut arus karena iklim saat itu termasuk pimpinan puncaknya juga ikut arus, sehingga terlena.
Pada era Arief, Andhi merasakan tidak ada peraturan baru yang janggal. Misalnya, tiba tiba ada perubahan Keputusan Penyelengaraan (Kepgar) untuk memberikan tambahan umur pagi peserta tes Sespimmen, atau tiba tiba menurunkan aturan tinggi badan bagi taruna Akpol. Jika ada aturan janggal begini biasanya pasti si pimpinan sedang ada maunya dan punya tujuan tertentu.
"Kalau tiba tiba diubah, berdasar pengalaman saya masa lalu, saya bisa rasakan ini pasti ada maksud tujuan tertentu. Ingin mengegolkan seseorang. Tapi, kini aturan Kepgar untuk seleksi atau untuk Akpol yang diproses di Biro Jianstra cq Ren SDM Polri, tidak ada janggalnya. Kalau pun ada perbaikan itu untuk menambal," paparnya.
Contohnya Kepgar terkait bobot penilaian dalam seleksi calon taruna Akpol. Pada masa lalu bobotnya adalah 60 persen untuk unsur kesehatan, psikologi,jasmani dan akademik (empat ini unsur terukur) dan 40 persen untuk pemeriksaan penampilan atau ripkil (bersifat subyektif).
"Penilaian dengan pola bobot 60-40 ini kental subyektifitas. Maksudnya, kalau ada calon taruna yang ingin dimasukan pimpinan, sementara nilai kesehatan, jasmanai, psikoligis dan akademi jeblok ya tinggal bobor Ripkilnya yang berbobot 40 persen dikatrol sampai maksimal supaya dia bisa lolos. Nah, kini (Era Arief) cara begini tidak bisa," katanya.
Sebab, bobot Ripkil yang tidak terukur dan subyektif dikurangi. Semula 40 persen kini hanya tinggal 20 persen. Bahkan rencananya nanti bobot Ripkil disisakan 10 persen saja. "Artinya nilai Ripkil tidak akan lagi mengatrol bobot nilai seseorang yang jatuh pada nilai kesehatan, psikologi, jasmani, dan akademik," paparnya
Ripkil dilakukan pejabat utama Polri (Wakapolri, Irwasum, Kalemdiklat, AS SDM. Kadiv Propram, dan Gubernur Akpol) dan digelar dalam tahapan akhir seleksi taruna Akpol di Semarang.
Sementara Karo Pembinaan Karier (Binkar) SDM Polri Brigjen Pol Eko Indra Heri mengaku sedang menggenjot Arief Effect. Dimana Arief bisa menjungkirbalikkan kekeliruan yang selama ini dianggap benar dan mapan. "Dari dulu SDM Polri berubah. Tapi, banyak tantangan baik dari luar maupun dalam yang memang siqnifikan, maka berat sekali. Modal pimpinan seperti Pak Arief bisa mengubah. Dulu Binkar kursi basah. Semua orang ingin duduk di kursi Binkar," katanya.
Di lingkungan Polri, Binkar ibarat malaikat yang menentukan hidup matinya, basah keringnya karir polisi. Jika dekat dengan orang Binkar, karier aman dan meroket. Begitu sebaliknya. Fakta ini membuat pejabat di Binkar pada masa itu nyaman, aman dan menikmati. Ada "dupa" ada rupa. Sejumlah oknum memanfaatkan pratik koluktif.
"Sekarang tidak ada lagi. Harus diakui tidak semua orang suka terhadap Arief Effect. Di internal pun saya lihat ada kelompok kecil yang tidak suka. Tapi, bagi mereka yang ini perubahan ini lah saat melakukan perubahan mendasar. Dari dulu sistemnya sudah ada dan baik. Tapi, komitmen dan eksekusinya dulu tidak sanggup menegakkan. Saat ini, saya, kita mampu," aku Eko.
Di era Arief, para yunior yang sudah waktunya promosi dan punya kompetensi mereka pasti dipromosikan. Tak perlu repot datang, menghadap Jakarta. Kompetensi menjadi kunci dan Binkar yang mengkombinasi mereka yang hebat pada levelnya.
"Ada yang kita lihat sudah bertahun tahun di situ, ada 4-5 tahun, kadang kita ngenes ya melihat seperti itu. Tidak ada harapan dan akan menimbulkan demotivasi kan. Ini yang dibangun Pak Arief. Kita promosikan dia. Kaget kaget dia karena merasa tidak pernah menghadap ke sini (Binkar), tidak pernah ketemu. Tapi, tiba tiba jadi Kombes, tiba tiba jadi jabatan ini lah, itu lah. Kaget dia," tutur Eko.
Salah satu pejabat polisi yang merasakan manisnya kebijakan Arief yang diteruskan Eko adalah Kapolres Lampung Tengah AKBP Slamet Wahyudi yang dilantik 23 Janurai 2018. Slamet kaget dan tidak menyangka karena sudah 12 tahun berdinas jauh dari keluarga dan tanpa sibuk berkolusi. Kini, bisa kembali dekat keluarga.
"Saya tidak menyangka, saya tidak pernah meminta. Saya ini anak seorang Ustadz dan guru SD. Alhamdulilah diberi kesempatan ini, dan diberi kesempatan berkarya di tempat yang baik. Saya merasakan jabatan diberikan secara adil dan kepada yang berprestasi ditempatkan di wilayah lebih baik," kata Slamet.
Sebelumnya Slamet adalah Kapolres Sabang, Polda NAD. Posisi Kapolres Lampung Tengah lebih strategis dibanding Kapolres Sabang. (Bahari/habis)