Perang Ukraina Bagian dari Konflik Peradaban?
Perang Ukraina sejak 24 Feruarib 2022 sudah berlangsung tiga bulan dan belum ada indikasi usai. Setelah gagal merebut ibu kota Kiev kini pasukan Rusia berusaha meguasai perbatasan sisi timur yg membentang dari Crimea di Selatan ingga ke sisi utara sampai wilayah luar kota Kharkiev yang merupakan segitiga perbatasan Rusia, Belarusia dan Ukraina.
Kota Kharkiev gagal direbut dan sebagai gantinya Rusia ingin merebut kota Donbass yg terletak di propinsi Lohans dimana penduduknya berbahasa Rusia.
Invasi Rusia ke Ukraina bertujuan untuk mencegah perluasan NATO ke Ukraina yang berbatasan langsung dengan Rusia. Alasan Rusia itu bisa difahami karena setelah bubarnya Uni Soviet bubar pula Pakta Warsawa. Di mata Rusia, tidak logis meluaskan wilayah NATO sampai ke perbatasan Rusia dan hal itu bisa dimaknai bahwa AS/NATO masih menganggap Rusia sebagai ancaman dan sekaligus sebagai lawan.
Melacak sejarah masa lalu, bangsa Rusia merupakan bangsa besar yang wilayah kekuasaan pada era kekaisaran Tzar meliputi seperdelapan wilayah dunia. Penduduknya juga beragam, bukan hanya terdiri bangsa yang mempunyai ikatan pertalian budaya dan peradaban dengan bangsa kulit putih, tetapi juga bangsa Kaukasia, Slavia, Asia Tengah dan suku bangsa yg mendiami kawasan Siberia. Rusia membentuk peradaban tersendiri yang tidak bisa disamakan dengan Eropa Barat.
Rusia Khawatir Perluasan NATO
Upaya perluasan NATO ke Ukraina menimbulkan kekhawatiran Rusia tentang kemungkinan perluasan NATO ke wilayah bekas Uni Soviet yang berbatasan langsung dengan Etopa Barat seperti Belarus, Latvia, Lithuania dan Georgia. Berabad abad berada dibawah pemerintahan Tzar, bangsa Rusia mengembangkan peradaban yang berbeda dengan Eropa Barat. Sebagai contoh dalam hal agama, pengikut Nasrani mengikuti Gereja Ortodok Rusia yang berpusat di Moskow.
Dengan demikian dalam diri bangsa Rusia tersimpan sentimen budaya dan peradaban yang berbeda dengan Eropa Barat. Padahal, dalam kaitannya dengan isu globalisasi, terbawa juga kepentingan politik global berupa aspirasi hegemoni Neo-Liberalisme, suatu upaya untuk menjadikan Peradaban Barat sebagai kekuatan hegemoni atas peradaban lainnya.
Hal itu berarti, para pendukung Liberalisme merencanakan penguasan peradaban lain. Kata Huntington dan Fukuyama, dua peradaban besar dunia yaitu peradaban Timur (India, China, Jepang dan sekarang Rusia) dan peradaban Islam (Timur Tengah, Asia Tenggara) akan hancur dan Neo-Liberalisme sebagai satu-satunya penguasa dunia.
Globalisasi/globalisme mulai berhembus kuat pada pertengahan 1980an. Sejak akhir 1980an sampai akhir dekade 1990, AS dan Sekutunya melancarkan perang ekonomi terhadap Jepang, salah satu raksasa ekonomi pada masa itu. Namun Jepang bertahan gigih, sampai 1997 pertumbuhan ekonomi negara mata hari tersebut tetap surplus.
AS dkk mengubah taktik dengan melancarkan serangan ekonomi terhadap patner dagang Jepang di kawasan Asia termasuk Indonesia.
Serangan itu berupa pelemahan nilai mata uang negara patner dagang Jepang. Terjadilah krisis moneter di Asia dan Jepang akhirnya menurun pamornya sebagai salah satu raksasa ekonomi. Akibatnya terjadilah krisis moneter regional Asia termasuk Indonesia dengan dampak politik jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaan.
Beberapa tahun lalu, AS pada era Presiden Donald Trump melancarkan perang ekonomi terhadap RRC. Pecah perang dagang AS vs RRC layaknya seperti perang ekonomi AS - Jepang sebelumnya. Dan ketika perang dagang AS - RRC masih berlangsung, terjadi invasi Rusia ke Ukraina. Dan invasi Rusia terhadap Ukraina menimbulkan dampak yang tidak terduga berupa perang ekonomi baru yang melibatkan sejumlah negara termasuk Indonesia yang merasakan dampak negatifnya.
Embargo AS dkk terhadap Rusia sejalan dengan pola perang dagang AS vs Jepang dan AS vs RRC. Bahkan perang ekonomi AS/Barat vs Rusia, dampak ekonomi lebih luas. Hampir semua negara merasakan dampak negatif dari krisis ekonomi termasuk Indonesia.
Tiga kekuatan ekonomi yaitu Jepang, RRC dan kini Rusia bagi AS/Barat adalah penghalang “proses globalisme“ atau dalam bahasa lain suatu upaya untuk “menyeragamkan peradaban dunia dibawah Neo-Liberalisme”. Tentu kita harus menolaknya karena peradaban yang selaras dengan Pancasila adalah “keanekaragaman budaya/peradaban“.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial-Politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027, tinggal di Jakarta.