Perang Tiket
Sejak siang hari, jalanan di sekitar Gelora Bung Karno (GBK) sudah berwarna merah di peta digital. Itu tanda arus lalu lintas sedang padat merayap. Beberapa jam jelang pertandingan antara Timnas Indonesia melawan juara dunia Timnas Argentina.
Semua pintu masuk ke stadion termegah tinggalan Bung Karno sudah ditutup untuk kendaraan bermotor. Tentu kecuali bus yang mengangkut pemain kedua tim dan penonton VVIP. Ini memang laga bersejarah: Tim Garuda yang berada di peringkat 149 melawan tim peringkat 1 dunia.
Ketidakhadiran mega bintang Argentina seperti Lionel Messi, Angel Di Maria, dan Nicolas Otamendi, tak membuat surut antusiasme suporter Indonesia. Keinginan mereka menyaksikan laga pertemanan ini secara langsung sudah terlihat sejak penjualan tiket laga yang tak murah.
Itu terbukti dari tetap penuhnya penonton yang memenuhi seluruh tribun GBK. Mulai mereka yang membayar Rp4 juta lebih maupun yang terendah Rp600 ribu. Menurut pengumuman panitia, total penonton yang memenuhi stadion berdasarkan hasil penukaran tiket ada 56 ribu dari 60 ribu kapasitas stadion.
Manajemen penonton tergolong bagus. Termasuk saat matchday Timnas Indonesia melawan Palestina di Surabaya. Kebetulan saya bareng seseorang yang menukar tiket VIP untuk orang lain. Karena tidak ada surat kuasa dan tidak bisa menunjukkan kartu tanda pengenal sesuai pemesan, tiket gelang pun tak bisa didapatkan.
Tampaknya memang ada fenomena baru dalam industri pertunjukan di Indonesia. Apa itu? Antusiasme dalam mengikuti ticket war alias “perang” memperebutkan tiket pertunjukan yang berlangsung di negeri dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta ini.
Dalam tahun ini saja, setidaknya ada sejumlah pertunjukan yang harus melalui ticket war untuk mendapatkannya. Itu terjadi untuk pertunjukan musik dan sepakbola. Kebetulan ada mega show di dua industri itu di negeri ini yang ditawarkan.
Di industri pertunjukan musik, ada penjualan tiket untuk mega show Coldplay. Ini adalah group band dari luar negeri yang sedang digemari oleh warga Indonesia. Puluhan ribu tiket pertunjukan yang akan berlangsung September mendatang itu langsung ludes hanya dalam beberapa menit.
Di industri olahraga juga demikian. Ketika PSSI menggelar FIFA Matchday dengan menghadirkan juara dunia Timnas Argentina, penjualan tiket melalui loket online juga ludes hanya dalam waktu beberapa menit. Padahal, setiap pembukaan dilepas 20 ribu tiket untuk menonton aksi Timnas Indnonesia meladeni Timnas Argentina. Hal yang sama juga untuk penjualan tiket FIFA Matchday antara Timnas Indonesia vs Timnas Palestina.
Saya sempat menugaskan dua staf untuk mendapatkan tiga tiket VIP laga FIFA Matchday hari ini. Satu staf mengikuti ticket war dengan menggunakan PC alias personal computer. Sedangkan satu staf menggunakan handphone untuk mengikuti perebutan membeli tiket. Mereka mengikuti ticket war saat presale khusus untuk nasabah BRI.
Bagaimana hasilnya? Target untuk mendapat tiga tiket VIP di tribun barat atau timur GBK (Gelora Bung Karno), Senayan, Jakarta, hanya berhasil mendapatkan satu tiket. Itu pun hampir gagal saat antre pembayaran melalui m-banking. Sementara dua tiket yang diburu melalui handphone gagal.
Saya tidak tahu bagaimana strategi ticket war berlangsung. Apakah ketika diumumkan dalam satu session (sesi) dilepas 20 ribu tiket benar-benar sejumlah itu yang diperebutkan? Atau itu hanya semacam gimmick marketing dan selling dalam dunia digital marketing sekarang ini? Atau memang respon pembeli tiket yang memang sangat luar biasa?.
Yang pasti, perang tiket dapat terjadi dalam bentuk hiburan apa pun, termasuk konser, acara olahraga, film, pertunjukan teater, dan lain-lain. Perang tiket biasanya ditujukan untuk meningkatkan persaingan dalam industri hiburan karena berbagai tempat bersaing untuk menarik pelanggan.
Biasanya, perang tiket diberlakukan untuk menawarkan tiket diskon, paket, atau diskon eksklusif untuk menarik lebih banyak pelanggan. Namun, yang terjadi pada perang tiket di negeri, beberapa waktu terakhir, tidak ada kaitannya dengan diskon harga maupun penawaran harga yang lebih murah. Tiket dengan harga umumnya bisa ludes tanpa ada iming-iming diskon.
Dalam kasus laga Timnas Indonesia vs Timnas Argentina, saya mendapatkan tiket melalui perang tiket. Sementara itu, dalam laga FIFA Matchday antara Timnas Indonesia vs Timnas Palestina di Gelora Bung Tomo (GBT), Surabaya, saya mendapatkan pembagian dari bank yang menjadi sponsor laga tersebut.
Terlepas apa yang terjadi di balik perang tiket setiap laga tersebut, yang menarik adalah antusiasme publik negeri ini terhadap perang tiket. Mengapa antusiasme publik Indonesia begitu tinggi terhadap perang tiket di industri musik dan sepakbola? Apakah ini sekadar kelatahan atau menunjukkan indikator ekonomi kita?
Saya lebih suka melihat fenomena ini dari perspektif yang positif. Bisa jadi, perang tiket yang sukses untuk industri hiburan di Indonesia ini merupakan indikator meningkatnya buying power masyarakat. Tiket dengan harga yang tidak murah pun mereka mau berebut. Dan ini tentu menjanjikan untuk industri hiburan di negeri ini.
Beberapa tahun lalu, industri ini masih dikuasai oleh negara tetangga. Setiap ada grup band yang mengadakan tur ke Asia, venue yang dipilih bukan Indonesia. Singapura atau Kuala Lumpur lebih banyak menjadi pilihan. Padahal penonton terbesarnya lebih banyak dari Indonesia.
Dengan berkembangnya ekosistem industri hiburan di Indonesia, maka tidak harus banyak devisa yang lari ke luar negeri. Juga akan menambah uang beredar di dalam negeri. Menurut perhitungan, uang beredar di sekitar laga Timnas Garuda vs Timnas Argentina ini bisa mencapai Rp950 miliar. Jumlah yang cukup berarti.
Tentu saja, geliat industri hiburan akan membikin negara tetangga seperti Singapura gerah. Sebab, mereka sudah lama investasi untuk infrastruktur industri hiburan. Semakin banyak event digelar di Indonesia, maka investasi itu akan menjadi sia-sia. Setidaknya mengurangi jumlah orang Indonesia yang membuang uang di negerinya.
Hadirnya juara dunia Argentina tak hanya memberi semangat bagi punggawa Timnas. Tapi menambah keyakinan diri bahwa kita bisa menggelar event industri hiburan yang berkelas. Apalagi dalam satu dekade terakhir, pemerintah terus memperbaiki infrastruktur pendukungnya. Beberapa stadion sudah masuk standar internasional.
Saya pun menyaksikan 56 ribu penonton yang memenuhi GBK meneriakkan dukungan ke Timnas Garuda tanpa henti. Bahkan, mereka tak beranjak meski wasit telah meniup peluit panjang tanda pertandingan telah usai. Meski kalah 2:0, para suporter tetap bangga dengan perkembangan sepak bola Indonesia.
Eh, ini bukan sekadar pertandingan bola. Ini bisa menjadi tonggak bangkit ya industri pertunjukan di Indonesia. Industri hiburan dan olah raga. Masak terus kalah dengan Singapura? Kali ini, saya tetap merasa bangga meski Timnas Indonesia kalah dari Argentina. (Arif Afandi)