Perang Survei Pilkada Jatim, Pengamat: Kampus Lebih Independen
Setelah sejumlah lembaga survei merilis keterpilihan pasangan calon dalam Pilkada Jawa Timur, tadi siang giliran Laboratorium Kebijakan Publik dan Perencanaan Pembangunan (LKP3) Univeritas Brawijaya mengumumkan hasil surveinya.
Apa perbedaan hasil dari lembaga survei dan lembaga universitas? “Kalau survei dari lembaga universitas, mereka bergerak karena orientasi akademis. Bukan untuk kepentingan calon tertentu, atau disewa calon tertentu,” kata Novri Susan, pengamat politik FISIP Universitas Airlangga, di Kota Surabaya, Selasa, 8 Mei 2018.
Ia mengatakan, dalam 2 bulan terakhir Pilkada Jawa Timur, diwarnai “perang” antar lembaga survei. Ada yang merilis hasil keunggulan Calon Gubernur Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan Calon Wakil Gubernur Puti Guntur Soekarno, kandidat nomor 2.
Ada pula lembaga survei yang merilis keunggulan Calon Gubernur Khofifah Indar Parawansa dan Calon Wakil Gubernur Emil Elestianto Dardak. “Karena itu, wajar kalau publik juga bingung bahkan ragu atas akurasi hasil masing-masing lembaga survei,” kata Novri.
Seperti diketahui, setelah barisan lembaga survey mengumumkan hasil penelitiannya, mulai dari PolMark, Poltracking, Populi, Charta Politika, Kedai Kopi, hingga Litbang Kompas. Masing-masing memenangkan salah satu pihak. Kemarin, Selasa, 8 Mei 2018, Universitas Brawijaya mengeluarkan hasil penelitiannya sendiri.
Kampus perguruan tinggi negeri yang berlokasi di Malang ini menyatakan bahwa pasangan Gus Ipul-Puti Guntur Soekarno unggul 6,7 persen atas Khofifah-Emil Dardak. Gus Ipul-Puti meraih 47,9 persen suara. Sedangkan Khofifah-Emil hanya 41,2 persen. Sebanyak 10,9 persen belum memilih.
“Jika yang mengeluarkan lembaga kampus, masyarakat meyakini mereka relatif lebih independen. Sebab, kampus tidak bisa partisan. Orientasi mereka lebih sebagai akademisi atau peneliti,” kata Novri.
Sebaliknya, kata dia, rilis survei dari lembaga-lembaga yang disewa pasangan calon, hampir dipastikan akan mengeluarkan hasil yang berbeda satu sama lain. “Perang opini tidak bisa dihindari. Itu wajar. Bagian dari dinamika opini dan komunikasi politik,” kata Novri.
Pada akhirnya, kata Novri, para pemilik suara adalah rakyat, masyarakat Jawa Timur. Mereka yang akan menentukan, siapa yang mendapatkan dukungan suara mayoritas, dan siapa pasangan calon yang mendapatkan dukungan lebih minoritas.
“Pada akhirnya, rakyat yang akan menjadi hakim dari pesta demokrasi ini,” kata Novri Susan. (frd/wah)