Perang Sengit Aktivis Pergerakan di Pilgub DKI
DILUAR isu atau tema syariat Islam, terdapat isu atau tema lain yang coba diketengahkan, yakni menyangkut kebangkitan (almarhum) Soeharto dan (atau) Orde Baru. Isu ini dikaitkan dengan dukungan (personal) Titiek Soeharto kepada pasangan Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno. Saya menduga, sebetulnya Mbak Titiek tidak dalam keadaan memberikan dukungan secara terbuka. Body language yang dimunculkan dalam foto di depan fotografer media massa sama sekali tak memperlihatkan itu. Hanya saja, terdapat satu foto pribadi pasangan calon yang muncul di instagram, lalu menjadi viral.
Bukan malah membantah – atau jangan-jangan sudah mengirimkan pesan duluan kepada pemilik akun (hehehe) – Mbak Titiek justru membenarkan dukungan itu. Terlanjur basah, ya sudah, nyebur sekalian. Sikap Mbak Titiek itu makin ‘sempurna’ kala diadakan acara Salawat untuk Negeri pada tanggal 11 Maret 2017, sekaligus peringatan lebih dari setengah abad Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang terkenal sepanjang era Orde Baru. Pasangan Anies-Sandi turut hadir dalam acara itu. Beberapa hari sebelum acara itu dihelat, serangan terhadap Anies-Sandi begitu luar biasa, dengan beragam argumen.
Ndilalah, sebelum acara itu berakhir sama sekali, justru media online dan elektronik dihebohkan dengan kehadiran Djarot Saiful Hidayat di lokasi acara, yakni Mesjid At Tin, Taman Mini Indonesia Indah. Kehadiran itu rupanya tidak mendapatkan sambutan dari jamaah, sehingga terjadi proses pengusiran. Walau sangat disayangkan, terlihat sekali Djarot juga menempatkan almarhum Soeharto, keluarga Cendana, dan Supersemar sebagai maghnet politik yang tak bisa dilewatkan. Bukan hanya Djarot, bahkan Basuki Tjahaja Purnama ikut juga berkomentar akan mendatangi Jalan Cendana.
Persoalan Orde Baru ini sangat menarik perhatian di media sosial. Terjadi perang tanding berhari-hari tentang keburukan atau kebaikan Orde Baru di mata para netizen. Barangkali, “perang cuitan” ini layak masuk sebagai bentuk akumulasi dari beragam pilihan hidup dan ideologi para aktivis pergerakan 1980-an dan 1990-an yang aktif di media sosial. Potret-potret Orde Baru yang dihadirkan dalam kesempitan dan keterbatasan ruang, ternyata menyita waktu yang tidak sedikit. Ujung dari pertarungan itu tentunya bagaimana membingkai Ahok – Djarot dan Anies – Sandi di area itu.
Yang saya tidak habis pikir, bagaimana bisa Orde Baru dan (almarhum) Pak Harto bisa hadir kembali, pada saat hampir seluruh organisasi yang menopang dalam sistem Undang-Undang Dasar 1945 versi asli sudah dipreteli satu demi satu? Dan apakah komponen intelektual, cendekiawan, atau sebut saja masyarakat sipil yang memberi cap kepada Anies-Sandi itu tidak pernah turut dalam barisan yang melakukan perubahan selama hampir 20 tahun terakhir ini? Contoh kasus, Bambang Widjojanto yang merupakan tim sukses resmi pasangan Anies-Sandi adalah tokoh yang merobek (draft) naskah Rancangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI yang dihasilkan Komisi A tentang Komisi Konstitusi.
Sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Harkat Bangsa yang beralamat di Jalan Proklamasi 41 – sebelum dibeli oleh pihak lain – saya ikut serta dalam berbagai koalisi yang dihela kalangan masyarakat sipil. Dari Koalisi Media, Koalisi untuk Konstitusi Baru, Gerakan Nasional Tidak Pilih Politisi Busuk, hingga koalisi-koalisi lain menyangkut masalah Papua, Aceh, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi. Sejak tahun 2000 hingga tahun 2005, puluhan hingga ratusan aktivis dari generasi pergerakan mahasiswa 1970-an (seperti Mochtar Pabottingi), 1980-an dan 1990-an berkumpul. Apa yang dilakukan? Mempreteli satu demi satu struktur, sistem dan organisasi yang menyebabkan Orde Baru bertahan sebagai rezim.
Saya tidak tahu, pada kemana orang-orang yang dengan mudah mengaitkan Orde Baru hanya kepada nama seseorang atau keluarga tertentu, tanpa melihat sama sekali begitu banyak perubahan yang sudah terjadi. Polisi, misalnya, bukan lagi bagian dari Angkatan (Perang) Bersenjata, melainkan sudah masuk sebagai alat keamanan dan hukum. Pemilihan presiden dilakukan secara langsung, dengan pembatasan hanya sampai dua periode dalam siklus lima-tahunan (kalau mau mencalonkan diri lagi, silakan abstain dulu selama satu periode). Bahkan kata “Indonesia asli” sudah sama sekali tak terdengar lagi sebagai syarat presiden dan wakil presiden RI.
Tahun 2006 sebetulnya adalah tahun terakhir keterlibatan banyak aktivis dalam melakukan proses pemretelan bangunan UUD 1945 yang asli itu. Pekerjaan paling akhir itu adalah menyusun semacam Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran yang pada prinsipnya masih mengganjal hingga kini, setelah pasal jantungnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi RI. Tanggal 07 Desember 2006, Mahkamah Konstitusi RI mencabut sejumlah pasal dalam UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran. Akibat pencabutan itu, keseluruhan bunyi UU itu sama sekali tak bisa dilaksanakan, termasuk keberadaan Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran yang dibentuk berdasarkan UU itu.
Tahun 2007, semakin sedikit kalangan aktivis pergerakan yang berkumpul. Terbunuhnya Munir membuat luka yang sangat serius, disamping upaya untuk mengungkap kematiannya. Boleh dikatakan tahun 2007 adalah masa jeda, sekaligus masa migrasi kalangan aktivis pergerakan ini ke dalam lembaga-lembaga (demokrasi) yang terbentuk, sebut saja Komisi Pemilihan Umum, Komnas HAM, Dewan Pers, KPK, Mahkamah Konstitusi, dan bahkan partai-partai politik.
Seingat saya, memang terdapat sejumlah nama yang belakangan rajin bersorak di media sosial yang baru pulang dari luar negeri, pada saat pekerjaan-pekerjaan turun mesin Orde Lama dan Orde Baru itu sebagian besar selesai dilakukan. Kenapa Orde Lama? Karena kekuasaan Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto yang disebut sebagai Orde Lama dan Orde Baru sesungguhnya dimulai dengan Dektrit Presiden Sukarno tanggal 05 Juli 1959 yang membenamkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 dan memberlakukan UUD 1945 versi asli. Disertasi Adnan Buyung Nasution sudah menulis kisah (tragis) itu dengan sangat jernih, begitu juga rasa kagum atas kedahsyatan UUD Baru versi Dewan Konstituante yang tak jadi diberlakukan akibat perdebatan tentang dasar negara. Padahal, seluruh bunyi UUD Baru versi Dewan Konstituante hasil Pemilu 1955 itu jauh lebih humanistis, demokratis dan visioner dibandingkan dengan naskah UUD 1945 asli yang disusun terburu-buru.
Saya jadi bertanya-tanya, aktivis pergerakan mahasiswa seperti apa yang begitu mudah mengumbar tudingan-tudingan yang terasa aneh itu? Dan apakah di mata mereka seorang Gubernur atau Wakil Gubernur DKI Jakarta yang diikat dengan UU Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak kapan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta lebih kuat dan berada di atas UU?
Dan apakah di mata mereka seorang Gubernur atau Wakil Gubernur DKI Jakarta yang diikat dengan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa menghela rezim Orde baru (sekaligus Orde Lama itu) dengan sekali hentakan?
Ah, jangan-jangan....