Perang Melawan Covid-19 (9): Mereka Yang Menolongmu
PENGANTAR REDAKSI: Fahd Pahdepie, peneliti yang juga penggerak politik anak muda sedang berjuang sembuh melawan Covid-19. Alumni Monash University ini mulai dengan isolasi mandiri sampai dengan dirawat di Rumah Sakit. Bagaimana ia tahu terpapar Covid? Bagaimana ia melawan virus yang ganas itu? Berikut catatan pengalamannya yang ditulis secara bersambung.
---------------------------
RSPP Extension Modular Simprug merupakan Rumah Sakit khusus untuk penderita Covid 19. RS ini dibangun berkat kerjasama dua anak perusahaan Pertamina, yakni Patra Jasa dan Pertamedika IHC. Berdaya tampung 300 tempat tidur untuk perawatan IGD, ICU, HCU dan non-ICU, ini merupakan RS Khusus Covid 19 terbesar di Indonesia yang saat ini beroperasi.
Saya beruntung mendapat 1 tempat di sini. Sisanya penuh. Daya tampung tempat tidur Jakarta dan sekitarnya sudah hampir habis, nyaris mendekati 90% tingkat okupansi untuk perawatan ICU maupun non-ICU. Tidak mengherankan jika dilaporkan di sejumlah IGD RSUD dan RS swasta pasien-pasien Covid dikabarkan menumpuk. Jika pun ada kamar yang tersedia, boleh jadi tidak sesuai dengan harapan atau kriteria pemakaiannya.
Saya menyadari berada di Rumah Sakit ini akan memberi saya sejumlah pengalaman tersendiri. Saya tahu rasanya menjadi 'yang sedang sakit dan dirawat di rumah sakit', maunya serba diperhatikan, ada ego 'sayalah yang sakit', atau 'saya di sini membayar, tolong berikan pelayanan dan fasilitas terbaik'. Tapi, melihat pasien lain, melihat para tenaga medis yang berjuang, sebisa mungkin saya harus menjauhkan pikiran-pikiran bodoh itu.
We are in this together! Kita di sini berjuang bersama-sama. Mungkin saya bukan yang paling sakit, banyak yang lain yang lebih kritis dan perlu di selamatkan. Contohnya Bapak sepuh di samping saya yang terlihat lemah tak berdaya. Saya juga tak boleh berfikir 'ayo layani saya dengan baik' sebab sesungguhnya nakes ini tidak sedang benar-benar bekerja, mereka berjuang, mereka ingin membantu dan menolong kita.
Ternyata benar, banyak di antara mereka adalah para relawan yang didatangkan dari RS-RS atau fasilitas kesehatan lain termasuk milik TNI dan Polri. Para dokter juga berjaga bergantian, memastikan semua pasien terjaga dan terawat dengan baik. Nyali mereka ini luar biasa, meski dengan APD lengkap, bayangkan mereka stiap hari berjalan memasuki fasilitas kesehatan ini, yang dihuni 300 pasien Covid dengan segala tingkatannya. Sungguh penuh resiko penularan, very contagious, sangat berbahaya bagi kesehatan dan diri mereka sendiri—tetapi mereka menerjang risiko itu, jiwa mereka sudah menjadi penyelamat dan penolong.
Ketika saya mengobrol dengan satu atau dua perawat, banyak di antara mereka juga adalah para penyintas Covid19 itu sendiri. Mereka tertular pada saat bertugas. Tetapi itu tak membuat mereka berhenti, setelah sembuh mereka bertugas lagi dengan tekad yang lebih kuat. Padahal jika dipikir-pikir, mereka juga manusia biasa, punya kecemasan, punya kekhawatiran, punya keluarga di rumah. Tapi jiwa mereka terlalu besar untuk itu.
Kemarin (29/12) ketika mendengarkan konferensi pers Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, kita bersedih mendengar sudah 507 tenaga kesehatan gugur di garda terdepan Covid19 ini. Maka memberi 1,3 juta nakes vaksinasi terlebih dahulu saya kira bukan hanya sesuatu yang bijaksana belaka, tetapi keharusan. Merekalah yang akan menolong kita semua di tengah pandemi ini.
Jika ada satu-satunya pihak yang tidak memikirkan dirinya sendiri di Rumah Sakit ini, saya tahu mereka adalah para petugas medis. Semuanya, mulai dari dokter, perawat, kitman, cleaning service, dan lainnya. Mereka yang bergerak dari satu kamar ke kamar lain menjawab setiap panggilan dan keluhan, mengecek tekanan darah, detak jantung, mengganti selang infus, mengantar ke toilet dan seterusnya. Entah terbuat dari apa jiwa mereka yang mulia, mereka yang melampaui ketakutan, ego, dan diri sendiri untuk kebaikan orang lain.
Kadang saya melihat mereka menghibur diri: Membaca handphone yang dimasukkan ke dalam plastik, mengobrol satu sama lain soal keluh dan kesah mereka, menuliskan kalimat-kalimat lucu setengah curhat di hazmat mereka. "GWS Papi!" Tulisan itu tertulis di APD seorang dokter. Mungkin suaminya sakit, atau ayahnya, dokter ini juga manusia yang punya perasaan seperti kita. Nyeri meninggalkan keluarga seperti kita. Mudah-mudahan mereka tidak lupa makan.
Keterlaluan jika ada nakes yang positif Covid19 lalu dikucilkan di rumah atau di tempat kosnya. Biadab jika ada yang justru menjauhi mereka, merantai rumah mereka, bahkan meminta mereka pergi dari lingkungan. Jika orang-orang yang merisak dan mengusir itu sakit kelak, siapa mereka pikir yang akan merawat mereka selain para petugas medis ini?
Jurnal kali ini saya dedikasikan untuk para petugas medis. Apapun tugasnya. Kalian luar biasa. Kalian istimewa. Kalian malaikat-malaikat Tuhan yang ditugaskan untuk menyelamatkan nyawa manusia, dengan ilmu dan kesabaran yang kalian punya. Jika ada lelah, semoga semua itu menjadi lillah, menjadi jalan yang kelak akan mempermudah kalian ke surgaNya kelak.
Tugas kalian mulia menyelematkan nyawa manusia. Sementara kata Allah, "Barangsiapa menyelamatkan satu nyawa, seolah-olah telah menyalamatkan seluruh umat manusia." Oh betapa tangan klian tangan yang mulia! Terberkatilah semua dokter dan perawat, semua petugas rumah sakit yang berjuang melawan pandemi ini. Terimalah doa dan ucapan terima kasih terbaik saya. Hadiah dan bunga mungkin kelak terhantarkan juga kepada kalian, atas nama cinta.
Kita tidak saling mengenal, tetapi saling mendoakan. Terima kasih sudah menolong. (Fahd Pahdepie/Bersambung)
Advertisement