Perang Melawan Covid-19 (7): Bibi ke Rumah Lawan Covid
PENGANTAR REDAKSI: Fahd Pahdepie, peneliti yang juga penggerak politik anak muda sedang berjuang sembuh melawan Covid-19. Alumni Monash University ini mulai dengan isolasi mandiri sampai dengan dirawat di Rumah Sakit. Bagaimana ia tahu terpapar Covid? Bagaimana ia melawan virus yang ganas itu? Berikut catatan pengalamannya yang ditulis secara bersambung.
---------------------------
"Bibi udah dikasih tahu, Mi?" Tanya saya di WA.
"Udah, Pi." Jawab Rizqa.
"Gimana reaksinya waktu dikasih tahu?"
"Ya sedih, sih, wajar aja. Tapi bisa menerima dan siap. Sekarang udah isolasi di kamarnya. Aku juga udah disinfektan area yang dipakai aktivitas bibi terakhir-terakhir." Rizqa menjelaskan.
"Makanannya juga disiapin aja mi. Mulai sekarang semua beli dulu aja. Jangan masak. Bibi juga sediain di depan pintunya." Susul saya.
Boleh dikatakan Bibi positif Covid dengan status OTG (Orang Tanpa Gejala). Karena tak pernah kemana-mana kecuali buang sampah ke depan rumah, hampir bisa dipastikan Bibi tertular dari saya. Mungkin dari baju kotor yang dibawa bibi untuk dicuci setelah saya dari luar. Kasihan Bibi. Saya jadi merasa bersalah.
Pagi itu juga, Rabu (23/12) saya meminta Kang Gimbong, petugas kesehatan RSPJ yang melakukan swab ke rumah untuk mengkonsultasikan obat dengan dokter untuk Bibi. Siangnya, satu bundel obat sudah dikirim engan gojek. Obat yang sama dengan yang saya minum. Lengkap.
Sebelumnya, sambil menunggu obat datang, saya berdiskusi sama Rizqa tentang isolasi yang harus dijalankan Bibi.
"Mi, Bibi kalau isolasi mandiri di kamarnya kasian. Kamar mandinya di luar kamar. Terus nggak ada area jemur. Bibi juga bakal sungkan minta ini itu sama kamu atau Mbak. Situasinya akan beda sama aku. Aku masih bisa pesan gojek, minta teman kirim ini atau itu." Ujar saya. Waktu itu kami video call.
"Iya, Pi. Baiknya gimana ya?"
"Kita cari rumah isolasi atau rumah lawan covid. Atau mungkin Wisma Atlet karena Bibi OTG." Jawab saya. "Aku akan tanya prosedurnya."
Segera saya mengontak 119, ini hotline Kementerian Kesehatan untuk tanggap darurat Covid, extension-nya 9. Petugas di balik telepon menerangkan dengan ramah dan hati-hati. Saya diarahkan untuk melapor ke puskesmas setempat untuk mendapatkan surat rujukan, syaratnya membawa KTP, hasil cek darah, hasil foto toraks, dan jaminan kesehatan atau asuransi.
Tak menunggu waktu lama, saya menghubungi puskesmas terdekat, Puskesmas Pondok Aren, Tangerang Selatan. Dari sana saya mendapat informasi bahwa pasien tak perlu ikut dulu, yang penting terdaftar dulu agar masuk antrian dan berproses. Saya pun mengutus adik saya, Lelik, untuk mendaftarkan Bibi dengan membawa sejumlah persyaratan awal.
Setelah terdaftar, sekitar 2 jam kemudian, giliran Bibi ke puskesmas untuk cek darah lengkap dan foto toraks. Tak lama menunggu hasilnya keluar, kondisinya bagus. Dokter di Puskesmas merujuk ke Rumah Lawan Covid (RLC) Tangsel. Membawa obat-obatan sendiri. Karena kondisi pasien baik, kemungkinan bisa cepat dijemput ambulans.
Karena Bibi tak punya asuransi, saya yang menjadi penjamin. Tapi dokter mengatakan hanya kalau ada apa-apa saja, karena semua ditanggung pemerintah. (Untuk teman-teman, saran saya penting untuk mulai memikirkan punya asuransi kesehatan, boleh yang swasta atau BPJS Kesehatan juga sangat baik coverage-nya).
Siang itu sekitar pukul 13.30 ambulans RLC sudah tiba di depan rumah. Bibi sudah berkemas dan bersiap. Semula, karena kami ada rencana berlibur, Bibi izin mau menengok anaknya di Bandung. Semua rencana itu kini buyar. Bibi harus berlibur dan isolasi di RLC, semoga segera sembuh ya, Bi. Semoga menyenangkan di sana.
Konon, Rizqa dan anak-anak melepas Bibi dengan sedih. Bibi menangis. Ambulans pergi tanpa sirine. Keluarga kami sedang dirundung duka.
Covid ini nyata, Kawan. (Fahd Pahdepie/Bersambung)