Perang Melawan Covid-19 (6): Semua Negatif, Kecuali...
PENGANTAR REDAKSI: Fahd Pahdepie, peneliti yang juga penggerak politik anak muda sedang berjuang sembuh melawan Covid-19. Alumni Monash University ini mulai dengan isolasi mandiri sampai dengan dirawat di Rumah Sakit. Bagaimana ia tahu terpapar Covid? Bagaimana ia melawan virus yang ganas itu? Berikut catatan pengalamannya yang ditulis secara bersambung.
---------------------------
Sehari setelah positif Covid dan melakukan isolasi mandiri di rumah, Selasa (22/12) perasaan saya belum tenang. Saya perlu memastikan status istri, anak-anak, adik, keponakan dan dua ART yang tinggal di rumah. Selama sakit dan belum tahu bahwa itu Covid, meski saya membatasi diri berinteraksi dengan mereka, boleh jadi saya duduk di kursi makan, membaca di sofa, berlalu lalang dari kamar ke depan, dan seterusnya. Di situ ada peluang penyebaran virus.
Sejak kemarin seluruh sudut rumah sudah coba disemprot dengan Saniter. Semua orang dirumah juga diwajibkan memakai masker. Entah sugesti atau bukan, Lelik mengeluhkan sakit kepala. Bibi juga melaporkan lemes. Hati saya dag dig dug. Sungguh Covid ini tidak sederhana. Rumit sekali penanganannya.
Selasa pukul 11.00 adalah jadwal seluruh penghuni melakukan swab PCR. Sejak semalam saya sudah janjian dengan petugas medis dari RS Pertamina Jaya agar bisa ke rumah untuk melakukan swab seluruh penghuni, seorang teman baik merekomendasikannya untuk saya. Alhamdulillah Allah permudah jalannya.
Swab PCR Ini penting untuk melakukan tracing sekaligus memutus rantai penularan Covid, terlebih agar tidak timbul klaster keluarga. Mudah-mudahan semua negatif. Tapi kalau ternyata ada yang positif, harus segera mengambil tindakan.
Awalnya saya berfikir untuk rapid test saja, harganya lebih murah hanya 200ribu. Tetapi mengingat tingkat akurasinya yang rendah, saya mengurungkannya. Terfikir juga untuk melakukan swab antigen imuno-serologi, konon akurasinya lumayan dan harganya lebih terjangkau, sekitar 400-500 ribu. Namun untuk memastikan semuanya aman, saya putuskan mengambil 'gold standard' untuk test Covid 19, meski harganya jelas paling mahal, 1,8 juta, apalagi dikali delapan.
Jam sebelas lewat lima belas petugas medis dari RSPJ datang dengan APD lengkap. Rizqa, Kalky, Kemi, Kavya, adik saya Lelik, keponakan saya Ifhami dan, Mbak pengasuh Kavya, dan Bibi semua diswab bergiliran. Mereka tegang, terutama yang dewasa. Kalky dan Kemi saja yang berbeda, lebih tampak excited, maklum anak-anak. Kavya menangis ketika diswab. Saya dikirim videonya.
Setelah selesai semua, petugas medis menemui saya di ruang isolasi. Memberi saya beberapa edukasi tentang Covid, memberi saya suntikan vitamin, dan menyarankan saya untuk cek saturasi setiap dua jam sekali. Jika di bawah 95 atau 90 saya harus segera melapor agar bisa dicarikan rumah sakit dan dirujuk. Tidur harus selalu menggunakan oksigen 3 liter.
"Kapan hasil swab istri dan anak-anak saya keluar?" Tanya saya.
"Insya Allah nanti malam. Paling lambat besok pagi."
Semalaman saya gelisah. Susah tidur. Sejumlah skenario muncul di kepala, tapi lebih banyak berdoa agar semuanya negatif.
Bangun dan usai shalat subuh, Rabu (23/12) saya mengecek HP. Sudah ada 6 dokumen hasil swab yang dikirim. Rizqa, negatif. Kalky, negatif. Kemi, negatif. Kavya, negatif. Lelik, Negatif. Mbak, negatif. Saya menghela nafas panjang penuh syukur. Tapi kemudian dokumen ketujuh masuk: Bibi, POSITIF. Dan dokumen kedelapan, Ifhami, negatif.
DEG! Bibi positif? Apa yang harus saya lakukan? Bagaimana akhirnya Bibi isolasi? Padahal selama ini Bibi yang menyiapkan hampir semua kebutuhan kami. Saya akan cerita penanganannya di jurnal berikutnya. (Bersambung)
Advertisement