Perang Melawan Covid-19 (5): Saya Akan Sembuh
PENGANTAR REDAKSI: Fahd Pahdepie, peneliti yang juga penggerak politik anak muda sedang berjuang sembuh melawan Covid-19. Alumni Monash University ini mulai dengan isolasi mandiri sampai dengan dirawat di Rumah Sakit. Bagaimana ia tahu terpapar Covid? Bagaimana ia melawan virus yang ganas itu? Berikut catatan pengalamannya yang ditulis secara bersambung.
---------------------------
Saya akan sembuh. Pagi itu saya berbisik, memberi afirmasi positif pada diri sendiri. Tubuh saya menggigil dalam suhu 39,5⁰C, telapak kaki dan tangan saya dingin. Saya baru saja melewati malam panjang yang menyiksa, sulit tidur dan sesak nafas. Baju saya kuyup oleh keringat. Mungkinkah ini yang disebut badai sitokin?
Menjelang subuh saya berjalan lunglai ke kamar mandi, sebisa mungkin membersihkan tubuh dan berwudhu, lalu mengganti baju. Sambil meraih handphone dari ranjang, saya mengempaskan tubuh yang lemas ke kasur. Lalu memasang lagi selang oksigen. Sebelum Shalat subuh saya menulis untuk istri saya, "Happy anniversary, Mi. I love you. Maaf tahun ini nggak sesuai rencana.
Hari itu Jumat, 25 Desember 2020, tepat 11 tahun sejak pernikahan saya dan Rizqa. Untuk merayakannya semula kami berencana berumrah bersama. Tapi sayang kebijakan umrah keburu ditutup lagi oleh pemerintah Arab Saudi. Kamipun merencanakan perayaan sederhana, bersama keluarga kecil saja, tapi sekarang harus urung karena saya didera sakit yang tak disangka-sangka. Covid19 ini mengubah segalanya.
Subuh itu saya menangis. Saya berdoa sederhana, tapi bisa saya rasakan kesungguhan saya di sana. Saya mendoakan anak, istri, orangtua, orang-orang di sekeliling saya. Semoga dikuatkan untuk terus membantu orang-orang yang selama ini bersama saya. Usai shalat, Rizqa membalas pesan saya, "Happy anniversary, Pii... Kita gak punya kuasa apa-apa, semua kehendak Allah. Aa yang sehat yaa." Saya tersenyum. Masih ada sisa air mata di pelupuk saya.
Hari itu saya merasa menjadi kekasih yang gagal. Tak ada hadiah, tak ada bunga, tak ada kecupan dan pelukan seperti biasa. Kecuali seorang laki-laki yang sakit di hari yang sangat berharga dalam hidupnya. Tapi saya harus sabar. Saya harus kuat. Saya akan sembuh.
Pagi hari, saat saya membuka pintu untuk sarapan, ada kejutan kecil di depan pintu. Selain bubir ayam, dua telur ayam kampung rebus, dan segelas jamu. Ada juga kertas ucapan dari Rizqa. Tulisan tangannya mengingatkan saya pada surat-surat cinta kami puluhan tahun lalu, "Happy anniversary Pii. I love you. Rizqa." Saya tersenyum. Lalu memotretnya. Ini kenangan yang tak mau saya lupakan.
Belakangan saya tahu Rizqa menangis lama dalam doa sebelum menguatkan diri menulis dan mengantarkannya ke kamar saya. Tangis yang tak pernah ia perlihatkan di video call manapun.
Namun, hari itu memang bukan hari keberuntungan saya, rupanya. Kondisi saya memburuk. Selepas dikunjungi petugas medis yang melihat kondisi saya, saya perlu segera dipindahkan ke rumah sakit. Saturasi saya turun ke angka yang tak diizinkan untuk isolasi mandiri, 90 bahkan 89. Dua jam kemudian, hasil tes darah saya yang terbaru juga keluar. Ada peningkatan enzim yang tidak lazim di area lever. Hari itu dirujuk ke rumah sakit, semua kolega baik saya bergerak mencari kamar kosong. 'Telepon dari atas' meminta saya bergerak ke RSPP.
Konon, Rizqa menangis mendengar kabar itu pertama kali, bahwa saya harus dilarikan ke RS. "Aku tadinya gak kuat, Pi. Lemes. Tapi kalau nunggu ambulans bakal lama katanya, jadimya aku dikasih hazmat lengkap sama petugas. Diizinkan anter sampai pintu UGD aja. Tapi gak boleh turun. Setelah shalat dan minta dikuatkan sama Allah, aku lebih tenanga. Bismillah aku siap." Katanya.
Di jalan, saya lebih banyak diam. Berdoa. Merenung. Berfikir. Mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan Allah. Terutama karunia istri yang baik, sabar, kuat dan luar biasa ini. Hari ini mengantarkan saya, di depan kemudi dengan APD lengkap, penyataan cinta macam apa lagi yang lebih kuat dari adegan ini? Rasanya, film pun belum ada. Ya Allah aku mencintai istriku. Jaga dan lindungi dia. Kuatkan dia. Berikan dia berkah dan kasih sayangMu.
Dari jendela mobil, jalanan terasa melambat, lampu merkuri mulai menyala satu persatu senja itu. Kami tak banyak bercakap-cakap, tapi kami tahu cinta di antara kami berdua saling mendekap, saling menguatkan. Cinta adalah rasa yang kuat di masa-masa berat. Yang saling memegang agar tak goyah. Yang saling menahan agar tak tumbang. Yang saling mengisi dan melengkapi, menggenapkan satu sama lain.
Aku akan sembuh, Mi. Cintamu membantu menguatkan aku. Terima kasih telah menjadi perempuan sekuat itu, sehebat itu. (Fahd Pahdepie/5/Bersambung)
Advertisement