Perang Melawan Covid-19 (4): Anak-Anak Terpaksa Mengungsi
PENGANTAR REDAKSI: Fahd Pahdepie, peneliti yang juga penggerak politik anak muda sedang berjuang sembuh melawan Covid-19. Alumni Monash University ini mulai dengan isolasi mandiri sampai dengan dirawat di Rumah Sakit. Bagaimana ia tahu terpapar Covid? Bagaimana ia melawan virus yang ganas itu? Berikut catatan pengalamannya yang ditulis secara bersambung.
----------------
Sejauh ini yang terpapar virus di rumah adalah saya dan Bibi. Tujuh orang lainnya, termasuk istri dan tiga anak saya semua negatif. Untuk jaga-jaga, semua akan diswab ulang seminggu kedepan. Terutama jika ada yang bergejala. Kami tidak mau membentuk klaster keluarga. Sebisa mungkin harus dicegah.
Setelah mengobrol panjang lebar dengan keluarga besar, akhirnya saya dan Rizqa memutuskan untuk mengungsikan anak-anak kami ke Bandung. Ada rumah aman di samping rumah orangtua saya di Bandung, bisa dijadikan tempat karantina sementara. Kalky, Kemi, Kavya, adik saya Lelik dan Mbak yang menjaga anak-anak akan di sana dulu selama lima hari sampai swab kedua. Kemudian pindah ke rumah Kakek-Nenek setelah semua aman—Insya Allah semua tetap negatif.
Kamis (24/12) Rizqa sudah mengemasi koper anak-anak. Kalky dan Kemi sudah siap bersepatu dari siang, menunggu dijemput Om Aang yang masih melakukan swab antigen. "Papi cepat sembuh, ya!" Teriak Kalky dari luar pintu.
"Papi, Kemi mau ke Nenek, nanti Papi nyusul, ya?" Sahut Kemi.
"Iya, Kem." Jawab saya. Berusaha meyakinkan.
Akhir-akhir ini, selama tiga hari isolasi mandiri, hiburan saya adalah teriakan-teriakan anak-anak. Kadang saya mendengar Kalky dan Kemi tertawa, main perang-perangan, berantem, atau lainnya khas anak-anak. Sering juga kami mengobrol lewat video call, dengan suara yang kadang masih bocor menggema karena masih di rumah yang sama.
"Papi! Kata mami pengin makan apa?" Itu pertanyaan favorit saya dari Kalky.
"Pipi, pipi, bye!" Dan Kavya yang menggemaskan mulai pandai berbicara.
Hari ini anak-anak akan pergi. Pasti rumah akan sepi. Tinggal saya, Rizqa, dan Ifhami, keponakan istri saya, yang akan menemani. Covid ini cobaan yang berat, bukan hanya menyeranh fisik, tapi juga psikis, mental, finansial, sosial. Hampir seluruh aspek dalam kehidupan kita akan kena dampaknya. Harus kita tata ulang, kita akali agar tak ambruk oleh makhluk tak terlihat itu.
Saya banyak mendengar keluarga lain kesulitan menghadapi virus ini, apalagi jika sampai terbentuk klaster keluarga dan semua anggota keluarga positif Covid. Betapa berat yang harus mereka hadapi. Dan apabila masih ada masyarakat yang justru mengucilkannya, tanpa sedikitpun membantu, betapa kerdil kemanusiaan mereka. Betapa dangkal nalar pengetahuan mereka. Saya menyesal jika hal-hal semacam itu masih terjadi.
Jam 17.00 Om Aang dan Om Rebby baru tiba di rumah. Anak-anak sudah lelah menunggu tapi tetap antusias ketika mereka datang. Agar tak terlalu padat, 8 orang rombongan dibagi dua mobil. Diperkirakan perjalanan menuju Bandung sekitar 5 jam dari Bintaro. Semoga semuanya slamat dan lancar di perjalanan.
"Papi, Kalky pergi sekarang, ya? Papi hati-hati!" Sahut Kalky, pamit.
Saya tersenyum. Harusnya saya yang bilang hati-hati. "Iya, Kal! Doain Papi, ya?"
"Iya, Papi cepat sembuh, ya! Semoga cepet negatif lagi." Jawab Kalky.
"Jaga Kemi sama Kavya, ya! Jangan lupa shalat."
"Iya, Pi."
Dari jendela kamar lantai dua, saya melihat mereka satu persatu naik ke mobil. Kali ini rupanya Allah sedang mengajak saya melihat dan menjalani satu episode hidup yang rumit. Perlahan lampu rem mobil menyala merah, pertanda mereka bersiap pergi.
Kemudian mobil-mobil itu melaju perlahan, menembus senja, mengecil ke ujung jalan. Lamat-lamat Pamungkas bernyanyi pelan di kepala saya:
I love you but I'm letting go
I love you but I'm letting go
I love you and I'm letting go
Konon sakit adalah penggugur dosa-dosa besar. Rupanya seberat ini. Hanya cinta yang bisa menyakiti sedalam ini.
Tetap sehat. Jaga jarak. Pakai masker. Cuci tangan. Sayangi keluarga! (fahd Pahdepie/4/bersambung)