Perang Melawan Covid-19 (17): Mati Sekali Hidup Setiap Hari
PENGANTAR REDAKSI: Fahd Pahdepie, peneliti yang juga penggerak politik anak muda berhasil sembuh melawan Covid-19. Alumni Monash University ini mulai dengan isolasi mandiri sampai dengan dirawat di Rumah Sakit. Bagaimana ia tahu terpapar Covid? Bagaimana ia melawan virus yang ganas itu? Berikut catatan pengalamannya yang ditulis secara bersambung.
---------------------
Setelah melalui serangkaian penanganan dan pengobatan, secara umum bisa dikatakan saya sudah sembuh. Meski masih positif, CT saya sudah di angka 38.9, tinggal bangkai-bangkai virusnya saja. Badan sudah segar, tidak ada keluhan apa-apa lagi. Nafas sudah lega seperti sedia kala.
Meskipun sekarang masih di Rumah Sakit, saya sedang mempersiapkan diri untuk bisa segera pulang. "Tinggal menunggu instruksi dr. Asep." Kata dokter jaga tadi. "Semua kondisinya sudah baik. Tensi bagus. Tidak ada batuk. Hasil foto toraks bagus, masih ada kesan pnemonia ringan, tapi sudah tidak ada sesak," lanjutnya.
Pengalaman dua minggu di Rumah Sakit dan hampir tiga minggu menderita Covid19 ini telah mengajarkan banyak hal buat saya. Saya belajar mensyukuri hal-hal kecil. Belajar mencintai lebih dalam. Belajar melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda-beda. Dibanding penderitaan yang dialami, hikmah yang saya dapatkan dari sakit ini jauh lebih besar. Saya merasa terlahir kembali menjadi individu yang baru.
Banyak orang menyangka kita hanya hidup sekali. Padahal sesungguhnya kita hidup setiap hari, setelah simulasi mati dalam tidur setiap malam. Mati yang betulannya nanti yang sekali, mudah-mudahan bisa kita siapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapinya. Tapi sekarang kita hidup, semoga bisa kita jalani sebaik mungkin, menebar, menanam dan menyemai kebaikan sebanyak mungkin.
Ada satu kutipan puisi Rumi yang ingin saya bagikan hari ini. Saya merasa maknanya dalam sekali terutama ketika mengalami sakit kemarin. Tulis Rumi, "Cinta datang dari langit, agar membakar dirimu secara tiba-tiba. Cinta adalah derita dengan tiba-tiba." Mungkinkah sakit yang datang tiba-tiba ini sebenarnya cinta dari Tuhan?
Kita sering mengira sakit adalah cobaan atau ujian, jarang sekali melihatnya sebagai cinta. Padahal sebenarnya bisa jadi sakit yang dikirim ini adalah rasa rindu Allah yang tiba-tiba, membakar kita yang selama ini berpaling dariNya. Allah ingin kita dekat, ingin kita mengingatNya, ingin mendekap kita dalam kasih sayangNya yang lembut dan agung. Dalam pengertian ini, seperti kata Rumi, cinta adalah derita dengan tiba-tiba.
Banyak orang bercerita bahwa dalam sakit mereka jadi bisa melihat kasih sayang Tuhan. Doa-doa jadi terasa dekat dan syahdu. Air mata mengaliri tebing pipi dengan perasaan yang melegakan. Memang manusia membutuhkan penderitaan untuk menemukan wajah Tuhannya. Rumi bilang, "Kekasih adalah cermin saat jiwa dalam penderitaan."
Untuk teman-teman yang saat ini sedang berjuang melawan Covid19, untuk mereka yang keluarga dan orang-orang terkasihnya sedang diuji dengan penderitaan ini, barangkali kabar baik ini bisa disampaikan: Allah sedang sayang pada kita semua. Allah sedang rindu. Dekaplah sayang dan rindu itu dengan sederas-derasnya rasa berserah. Penderitaan akan terbebaskan pada waktunya.
Terima kasih teman-teman telah selalu membaca dan mengikuti jurnal saya. Hidup ini indah. Tuhan itu baik. Kita semua beruntung. (Fahd Pahdepie/Bersambung)