Perang Melawan Covid-19 (16): Dari Tes ke Tes
PENGANTAR REDAKSI: Fahd Pahdepie, peneliti yang juga penggerak politik anak muda berhasil sembuh melawan Covid-19. Alumni Monash University ini mulai dengan isolasi mandiri sampai dengan dirawat di Rumah Sakit. Bagaimana ia tahu terpapar Covid? Bagaimana ia melawan virus yang ganas itu? Berikut catatan pengalamannya yang ditulis secara bersambung.
---------------------
Menurut dokter, hasil swab saya sudah keluar. Hasilnya masih positif, meski nilai CT membaik, di atas 30. Sudah tidak infeksius. "Tinggal sisa-sisanya, mudah-mudahan segera negatif di tes swab berikutnya." Ujarnya.
Dan saya harus menunggu lagi. Menjalani serangkaian tes lagi. Tadi pagi kembali diambil darah untuk dianalisis apakah keadaan semakin membaik, apakah masih ada peradangan, apakah masih ada pengentalan darah. Yang terakhir membuat saya agak ngeri: Masih trauma rasanya disuntik pengencer darah tiga hari sekali di perut. Jangan sampai lagi. Sakit sekali.
Secara umum kondisi tubuh saya membaik. Saya merasa jauh lebih segar dari sebelumnya. Bisa mandi setiap hari adalah kebahagiaan tersendiri, tubuh saya mulai menyesuaikan diri. Bahkan dalam dua hari terakhir saya kesulitan tidur, 'excited' ingin segera pulang. Membayangkan kembali ke rumah menemui keluarga. Membayangkan kembali dengan hobi-hobi saya yang menyenangkan.
Namun, susah tidur ini juga membawa masalah tersendiri. Tekanan darah saya jadi rendah. Entah kenapa saya susah sekali tidur akhir-akhir ini. Kalaupun bisa terlelap, hanya sebentar-sebentar. "Ada yang Bapak pikirkan?" Tanya suster pagi tadi dengan ramah. Saya menggeleng. "Cuma ingin pulang aja, Sus." Jawab saya. Suster itu tersenyum, "Mudah-mudahan segera negatif ya." Ia berusaha menghibur saya.
Rasa bosan mulai menjadi-jadi. Hidup di kamar 4x4m setiap hari selama hampir 10 hari ini membuat saya mati gaya. Nonton sudah, membaca sudah, menulis sudah, berzikir sudah, mungkin begini rasanya pikiran terpenjara tubuh dan gerak. Meski saya bisa berkelana ke manapun dengan imajinasi, sensasi tubuh bepergian menemui tempat dan orang-orang baru tak bisa digantikan. Interaksi virtual juga tetap hambar, manusia butuh perjumpaan kulit dengan kulit. Ada rasa yang berbeda di sana.
Yang tersisa adalah sabar. Tak bisa apa-apa dan bagaimana-bagaimana lagi. Seorang kawan baik mengirim saya e-book tentang Daoist Meditation dan Daoist Nei Gong, intinya seni untuk menerima keadaan apapun dengan lapang dan tenang. The art of doing nothing. Konon saat kita tidak melakukan apapun, semesta akan bekerja untuk kita. Tak melakukan apapun adalah sikap pasrah untuk tidak mendikte realitas yang lebih tinggi.
"Bapak, ditensi dulu, ya?" Seorang perawat datang setiap lima jam sekali.
"Bapak cek saturasi dulu, ya?" Ujar yang lain. Saturasi saya terakhir 95 tanpa oksigen. Bagus, katanya. Dokter sudah menyarankan lepas pakai berlatih tanpa oksigen.
"Bapak, sekarang masuk obat, ya? Ada anti radang dan vitamin C. Yang ini agak sakit masuknya." Suster mulai membuka 'keran' infus yang masih terpasang di tangan saya.
Beginilah hari-hari pemulihan dari Covid19. Kalau tak sabar, berat dan menguras emosi. Banyak teman yang gejalanya jauh lebih ringan, bisa sembuh hanya dengan minum obat dan vitamin serta berjemur, kalian harus bersyukur. Banyak yang lain yang harus melewati hari-hari yang lebih berat dan menegangkan. Tadi pagi grup WhatsApp pesantren saya berduka, seorang Kakak Kelas meninggal cukup mendadak. Cepat sekali kondisinya drop. Nyawanya tak tertolong meski sudah dibantu ventilator.
"Untung saya nggak ke dokter atau rumah sakit, takut dicovidkan!" Celoteh seorang netizen. Saya paling sebal kalau sudah baca yang seperti ini. Seolah-olah Covid19 ini kondisi main-main untuk kepentingan segelintir orang saja, apalagi menuduh pemerintah. Orang-orang seperti ini tak tahu saja sakitnya bagaimana. Belum mengerti atau tak mau mengerti sebab mungkin kemalangan belum menimpa diri dan keluarganya.
Teman-teman yang masih berjuang melawan Covid19, teruslah berusaha. Saya menuliskan jurnal ini untuk menemani kalian juga. Bahwa kalian tidak sendirian. Bahwa kalian tidak merasakan bosan sendirian, ada banyak yang lain juga merasakan hal yang sama. Bahkan harus diiringi tes demi tes. Ya memang sekarang kita harus bersabar, tapi konon buah dari sabar itu manis sekali. Nanti kita petik. Kita bagikan kebahagiaannya dengan orang-orang yang kita cintai.
Untuk istri saya, terima kasih ya sudah selalu mengingatkan untuk bersabar. Sabar menebalkan rindu di antara kita berdua. (Fahd Pahdepie/Bersambung)