Perang Melawan Covid-19 (13): Nikmat Menunggu
PENGANTAR REDAKSI: Fahd Pahdepie, peneliti yang juga penggerak politik anak muda sedang berjuang sembuh melawan Covid-19. Alumni Monash University ini mulai dengan isolasi mandiri sampai dengan dirawat di Rumah Sakit. Bagaimana ia tahu terpapar Covid? Bagaimana ia melawan virus yang ganas itu? Berikut catatan pengalamannya yang ditulis secara bersambung.
---------------------------
Untuk orang yang terbiasa dengan mobilitas dan kesibukan tinggi seperti saya, mengalami Covid19 selama dua minggu itu rasanya, Ya Allah, lama sekali! Tapi, ya, mungkin ini juga cara Allah untuk memaksa saya beristirahat, mengambil jeda sejenak dan banyak merenungi hal-ihwal. Dan dipaksa itu nggak enak, lebih enak berserah diri.
Saya merasa patuh protokol kesehatan, berhati-hati dalam berinteraksi dengan orang, menjaga jarak dan memakai masker ke manapun pergi. Tapi, ya, memang Covid19 ini misteri. Ada faktor rezekinya juga yang datang dari arah tak terduga dan tak disangka-sangka. Konon, kita yang positif dipilih alam untuk sah menjadi anak zaman. Kalau lulus nanti dapat gelar LC alias Lulusan Covid. Hehehe.
Total saya beristirahat sudah 16 hari. Entah masih akan berlanjut atau tidak, tetapi mudah-mudahan segera pulih dan bisa kembali beraktivitas seperti sedia kala. Tadi pagi saya sudah di-swab dan foto toraks, mudah-mudahan hasilnya baik dan sesuai harapan. Saya hanya bisa berdoa. Keputusannya biar Allah saja yang mengatur, tugas saya ikhtiar.
Pasti ada maksud Allah dengan membuat saya sakit. Saya jadi bisa melihat diri saya sendiri dan kehidupan yang saya jalani dari sisi lain.
Saat foto toraks tadi, saya dan empat orang lainnya ke ruang X-Ray dan CT Scan. Saya sempat mengobrol-ngobrol sejenak dengan mereka. Ada yang sudah 20 hari di rumah sakit ini. Ada yang hampir 30 hari. Ada yang hari masuknya sama seperti saya. Bagi kami, maju ke tahap foto toraks ini sebuah perkembangan bagus, artinya kesehatan kami dipandang membaik. Mudah-mudahan segalanya memang semakin baik dan kami bisa segera pulang. Udah kangen sama keluarga.
Saya jadi membayangkan bagaimana rasaya hidup 30 hari dengan virus di tubuh kita. Pasti melelahkan. Dengan berbagai gejalanya, yang ringan sampai berat, hidup berhari-hari bersama virus pasti menyiksa belaka. Minimal menguji batin dan mentalitas kita, apalagi jika harus swab berkali-kali. Saya kenal seorang teman, katanya ini sudah hari ke-34 sejak ia dinyatakan positif.
Memang gejalanya ringan, bisa isolasi mandiri, tapi 34 hari itu bukan waktu yang sederha untuk berjuang melawan virus. Ya Allah. Butuh kesabaran tersendiri. Banyak hal harus diatur ulang dan disesuaikan pastinya.
Pernah saya berdoa, agak menawar sama Allah, "Ya Allah kalau bisa maksimal seminggu saja saya sakit." Tapi tahu-tahu sekarang sudah 16 hari. Mungkin sebagian sakit memang tak bisa kita tawar waktunya, ada tenggat-tenggat tertentu yang harus dipenuhi, agar purna peluruhan dosa-dosa kita. Semoga saja. Pengin, sih, kayak Maia Estianty, hanya positif Covid19 tiga hari saja, tapi rasanya itu kasus yang langka sekali. Sejuta banding satu.
Belakangan saya banyak mendapat kabar teman-teman dekat juga positif Covid19. Ada yang cerita, ada yang diam-diam. Tapi intinya Covid19 ini memang makin mengkhawatirkan. Konon positivity rate-nya sudah mencapai 29%, artinya 1 dari 3 orang Indonesia yang dites swab berpotensi positif Covid19. Ruang Rumah Sakit di banyak daerah juga semakin penuh tingkat okupansinya, sementara kita tahu tak semua orang layak untuk isolasi mandiri di rumah. Dalam kasus-kasus tertentu harus dirawat.
Sedikit tips untuk teman-teman yang sedang isolasi mandiri, selain obat-obatan dan vitamin, selalu siapkan oxymeter jari untuk mengukur saturasi, termometer dan kalau bisa oksigen. Pada saat situasi memburuk, misalnya panas tak kunjung turun atau kadar oksigen dalam darah drop, segera ke Rumah Sakit. Ke IGD saja dulu. Nanti akan dirujuk untuk dirawat, selama kamar perawatan masih tersedia. Doakan kami-kami yang masih dirawat bisa segera keluar, ada banyak teman lain yang membutuhkan ranjang perawatan di luar sana.
Akhirnya, saya masih menunggu. Menunggu hasil swab, hasil foto toraks, hasil cek darah lengkap, mudah-mudahan semua hasilnya baik dan dinyatakan negatif Covid19. Kalau negatif saya ingin bernadzar untuk bersedekah kepada pihak-pihak yang membutuhkan, sudah lama juga saya tak mengirim bahan makanan untuk anak-anak yatim, sudah lama ada niat untuk membantu pesantren, semoga saya diberi nikmat sehat dan kelapangan rezeki untuk segera merealisasikannya. Sekarang mulai saya realisasikan, meski masih di RS.
Ternyata Covid19 ini memberi kita nikmat menunggu. Nikmat untuk menyendiri. Nikmat untuk terpisah sejenak dari dunia dengan segala hiruk pikuknya. (Fahd Pahdepie/Bersambung)
Advertisement