Perang Melawan Covid-19 (10): Nikmat Makan
PENGANTAR REDAKSI: Fahd Pahdepie, peneliti yang juga penggerak politik anak muda sedang berjuang sembuh melawan Covid-19. Alumni Monash University ini mulai dengan isolasi mandiri sampai dengan dirawat di Rumah Sakit. Bagaimana ia tahu terpapar Covid? Bagaimana ia melawan virus yang ganas itu? Berikut catatan pengalamannya yang ditulis secara bersambung.
---------------------------
Salah satu yang diuji saat menderita Covid19 adalah berkurangnya nikmat makan. Konon pada hari ke-8 atau ke-9 virus ini aktif dalam tubuh kita, ia bisa menyerang fungsi pernafasan dan penciuman. Indra penting untuk membaui dan mengecap makanan itu kolaps, membuat kita sulit membedakan bau dan rasa.
Dalam kasus yang saya alami, indra penciuaman dan perasa tidak hilang seketika. Ia hilang perlahan tapi tidak sampai mati rasa total. Hanya mengacaukan kemampuannya. Hidung dan lidah saya seolah-olah kacau dalam meregister bau dan rasa, yang seharusnya manis jadi pahit, yang asin jadi amis, yang amis jadi getir atau pahang. Semua kacau di hidung dan lidah. Kadang ada manis yang dominan, asin yang dominan, atau pahit yang dominan. Rasa dan bau makanan tidak sesuai seperti bentuknya, seperti bagaimana ia teregister di otak kita.
Puncaknya saya menitikkan sabun di lidah, hampir tidak ada rasanya. Mengoleskan kayu putih di lidah, juga hampir tak ada rasanya, hanya hangat. Ini ujian yang berat untuk pecinta makan seperti saya. Apalagi di situasi seperti ini, saat tubuh perlu asupan gizi dan energi yang banyak, apa jadinya jika hidung dan lidah tidak menghendakinya?
Awalnya saya pikir ini gara-gara makanan Rumah Sakit. Lalu saya coba pesan ayam goreng cepat saji favorit saya, rasanya jadi ngawur. Saya coba Caramel Macchiato yang biasa saya pesan, rasanya jadi pahang nggak keruan. Saya coba roti, snack, dan yang lain, rupanya saya memang harus bersabar dengan ujian rasa ini.
Beberapa hari saya lalui salah satu fase yang menyiksa ini. Rasanya harus jadi santri lagi. Menggigit tempe, jangan rasakan itu tempe, tapi bayangkan itu sop buntut. Mengunyah tahu, bayangkan itu ayam goreng terenak di dunia. Bedanya, kali ini saya beneran menggigit daging, ikan, ayam, telur, atau lainnya tetapi harus berusaha sekuat tenaga membayangkan rasanya.
"Yah nggak usah dikunyah, Pak. Telen-telen aja." Canda Dokter Asep. "Yang penting asupannya terjaga. Memang itu gejalanya. Wajar. Insya Allah nanti kembali."
Saya ngenyir. "Seandainya saya bisa makan tanpa nginyah, dok. Ini tinggal saya masukin aja semuanya."
Kami tertawa.
Alhamdulillah dalam dua hari terakhir indra penciuman dan pengecap saya perlahan berangsur normal. Saya mulai bisa membedakan dan merasakan bau serta rasa lagi. Lega rasanya. Seperti menemukan lagi cara untuk mencocokkan antara apa yang ada di depan mata dengan daftar dan bau yang telah teregister di kepala.
Siang ini saya menerima makan siang dengan penuh perasaan. Saya tatap semua makanan dan minuman itu. Saya menundukkan wajah, "Ya Allah, terima kasih atas nikmat makanan ini." Belum pernah sebelumnya saya sedalam ini menghayati nikmat makanan, nikmat rasa, nikmat bau. Di tengah berbagai derita yang dibawanya, Covid ini banyak mengajarkan saya hikmah dan kebijaksanaan.
Teman-teman yang sehat, yang masih merasakan nikmat mencium dan mengecap, syukurilah makan Anda hari ini. Syukuri apa pun saja. Seblak, cireng, cilok, batagor, lotek, sambel, ikan asin, kerupuk, pete, apapun, nikmatilah dengan penuh rasa syukur. Nikmat hidung dan lidah itu luar biasa.
Pernah saya dalam hari-hari ketika tidak enak makan, membayangkan ingin nasi panas dengan bala-bala alias bakwan, ditemani kerupuk kaleng putih dengan cumi asin yang digoreng kering. Aduh nikmaaaaattt!
Makan apa hari ini? Syukuri masakan istri. Itu masakan terenak di dunia. (Fahd Pahdepie/bersambung)
Advertisement