Perang Intelijen, AS Tuding China Cenderung Ingin Dominasi Global
Hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan China semakin menegangkan. Direktur Intelijen Nasional AS John Ratcliffe menyebut China sebagai ancaman terbesar bagi demokrasi dan kebebasan di seluruh dunia sejak Perang Dunia II. Keberadaan Beijing dinilai cenderung ingin mendominasi global.
"Ancaman terbesar bagi Amerika saat ini, dan ancaman terbesar bagi demokrasi dan kebebasan di seluruh dunia sejak Perang Dunia II," kata Ratcliffe dalam artikel opini di situs Wall Street Journal, Sabtu 5 Desember 2020.
Pejabat tinggi intelijen AS ini menyatakan dia telah mengalihkan sumber daya dalam anggaran federal tahunan 85 miliar dolar AS yang dialokasikan untuk intelijen untuk meningkatkan fokus pada China.
"Intelijennya jelas, Beijing bermaksud untuk mendominasi AS dan seluruh planet secara ekonomi, militer, dan teknologi," kata Ratcliffe.
Ratcliffe mengatakan pendekatan spionase ekonomi China ada tiga yakni 'Rob, Replicate, and Replace'. Maksudnya, entitas China mencuri kekayaan intelektual perusahaan AS, menyalinnya, dan kemudian menggantikan perusahaan AS di pasar global.
Mantan anggota kongres Partai Republik yang ditunjuk oleh Presiden Donald Trump untuk jabatan mata-mata teratas AS tahun lalu itu menyinggung laporan yang dikumpulkan oleh badan intelijen. Dalam laporan itu disebut perwakilan China juga berusaha mencampuri politik dalam negeri AS.
Ratcliffe juga menuduh hChina telah mencuri teknologi pertahanan AS untuk mendorong rencana modernisasi militer agresif Presiden Cina, Xi Jinping.
"Pemilihan sudah selesai. Sekarang mari kita jujur tentang China," ujarnya.
Dalam uraiannya, Ratcliffe menyinggung pula tentang pihak berwenang Beijing telah melakukan pengujian manusia pada anggota tentara China. Upaya ini diklaim untuk mengembangkan tentara dengan kemampuan yang ditingkatkan secara biologis.
Lembaga think tank yang berbasis di AS telah melaporkan bahwa China semakin mementingkan bioteknologi dalam strategi militernya. Namun, mereka belum merilis laporan terperinci tentang jenis pengujian yang dituduhkan oleh Ratcliffe.
Seorang juru bicara Kedutaan China menyanggah komentar Ratcliffe sebagai upaya memutarbalikkan fakta dan munafik.
"Pola pikir Perang Dingin yang mengakar dan prasangka ideologis dari beberapa orang di pihak AS," ujarnya.
Esai Ratcliffe adalah serangan terbaru melawan China dari pemerintahan Trump karena berusaha memperkuat tindakan keras yang selama ini telah dilakukan.
Pendekatan Trump telah membawa hubungan antara dua ekonomi terbesar dunia ke titik terendahnya dalam beberapa dekade dan analis mengatakan hal itu dapat membatasi ruang manuver pemerintahan Joe Biden yang akan datang untuk menangani Beijing.
Pakar Asia di lembaga pemikir Pusat Studi Strategis dan Internasional, Bonnie Glaser, mengatakan komentar Ratcliffe tampaknya ditujukan untuk membuat pendekatan yang sulit sebelum Presiden terpilih Joe Biden menjabat pada 20 Januari 2021.
"Tampaknya itu adalah bagian dari upaya yang lebih luas untuk mengikat tangan Biden dan membatasi ruangannya untuk bermanuver pada kebijakan China," jelasnya.
"Dalam pemerintahan sebelumnya, normanya adalah menghindari mengambil tindakan seperti itu selama transisi kepresidenan, tetapi pemerintahan Trump telah lama menetapkan pola yang melanggar norma," tambahnya Glaser.
Masalah antara Washington dan Beijing meliputi penanganan wabah virus corona oleh China, cengkeramannya yang semakin ketat di Hong Kong, klaim yang disengketakan di Laut China Selatan, perdagangan, dan tuduhan kejahatan hak asasi manusia di Xinjiang.
Tindakan terbaru adalah pemerintahan Trump membatasi perjalanan ke AS kepada anggota Partai Komunis yang berkuasa di China dan keluarga mereka pada Kamis. Sehari sebelumnya, Washington melarang impor kapas dari Xinjiang.