Perang Hamas vs Israel, What's Next
Serbuan Hamas ( حركة المقومة الاسلامية /Gerakan Kebangkitan Islam) sejak 7 Oktober 2023 dari Gaza ke wilayah pendudukan di Tepi Barat Sungai Yordan, mengejutkan Israel. Serangan dengan menggunakan roket buatan dan bantuan Iran tersebut untuk kali pertama berhasil menembus “Iron Dome" atau perisai besi, sehingga menimbulkan banyak korban jiwa di pihak Israel dan menjadi pukulan psikologis - politis besar bagi pemerintah Israel di dalam maupun luar negeri.
Namun Israel kemudian melakukan serangan balasan udara, artileri dan darat ke Gaza yang menimbulkan korban cukup besar, selain jiwa, juga hancurnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan rakyat termasuk rumah sakit. Salah satu bangunan yang hancur adalah Rumah Sakit yang dikelola oleh “Gereja Ortodox", sehingga menimbulkan reaksi keras dari dunia internasional yang menganggap sebagai kejahatan perang.
Menjadi pertanyaan penting adalah: bagaimana dampak perang tersebut terhadap masa depan otoritas Palestina terkait persengketaan Hamas (dipimpin Ismail Haniya) dengan Al Fatah yang dipimpin Mahmud Abas? Dan bagaimana kelanjutan proses perdamian Palestina - Israel yang terhenti sebagai akibat kebijakan AS di bawah Presiden Trump yang mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel?
Pada sisi lain 8 negara Arab (Islam) telah membuka hubungan diplomatik dengan Israel yaitu: Mesir, Yordania, Turkey, Marokko, Sudan, Emirad Arab, Bahrain, Oman dan segera menyusul Arab Saudi. Selain merupakan sekutu utama AS di Timur Tengah, Israel juga merupakan kekuatan nuklir (di Dimona, dekat Berseba) dan sekaligus sebagai front terdepan AS dalam menghadapi Iran.
Seteru strategis
Sebaliknya, Iran yang merupakan seteru strategis AS (Israel) juga sedang mempersiapkan diri sebagai kekuatan nuklir. Bersama Iran, Syria menancapkan pengaruh politik dan militer di Libanon sejak 1985 hingga saat ini. Para-militer Hizbullah yang menguasai Lebanon Selatan merupakan ujung tombak Iran dan Syria dalam menghadapi Israel.
Pasukan Hizbullah yang berbasis di kota Bint Jbail terletak perbatasan Israel - Lebanon merupakan basis militer yang belum bisa ditembus oleh Israel. Sejauh ini, Iran menahan diri untuk melibatkan Hizbullah guna membantu Hamas, kecuali manuver militer ringan.
Secara militer, Israel memenangkan pertempuran, tetapi secara politik pemerintah Israel mengalami kekalahan. Di dalam negeri, pemerintah Israel dianggap lalai dalam melindungi keamanan rakyatnya. Di kancah internasional, Israel memperoleh image negatif karena melanggar hukum perang internasional, sehingga harus segera memperbaiki citranya agar proses normalisasi hubungan dengan negara Arab bisa terus berlanjut.
Dua alasan itu akan memaksa Israel untuk memperbaiki komunikasi politik dengan otoritas Palestina di bawah Presiden Mahmud Abbas yang juga sebagai Ketua Al-Fatah. Pada sisi lain, Israel perlu mencari “way out”, guna mencegah serangan mematikan Hamas tidak terulang lagi. Salah satu alternatifnya adalah memperbaiki perlakuan terhadap penduduk Palestina di tepi Sungai Yordan dan Gaza. Artinya, Israel perlu mulai merintis kembali hubungan dengan Al-Fatah dipimpin Mahmud Abbas dan Hamas yang dipimpin Ismail Haniya.
Langkah tersebut tidak mudah dilakukan mengingat perbedaan sikap politik antarpartai-partai di Israel yang tajam. Satu pihak bersikap keras terhadap Palestina, pada sisi lain bersikap lebih lunak. Jadi, terulangnya perang brutal antara Israel dengan Hamas bukan suatu hal yang tidak mungkin.
Bisakah Indonesia punya peran dalam perdamaian di sana?
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027, tinggal di Jakarta.