Perang di Palestina, Bukan Perang Agama Antara Islam dan Yahudi
Perang antara kelompok Hamas dan Israel menjadikan korban anak-anak dan ibu-ibu tetap menjadi noda hitam bagi kemanusiaan. Israel yang kejam, menjadikan rakyat Palestina sebagai sasaran korbannya.
Dalam catatan modern, konflik berkepanjangan antara bangsa Palestina dengan negara Zionis Israel terjadi sejak pembagian wilayah Palestina oleh PBB pada tahun 1947 mengikuti Deklarasi Balfour 1917.
Pasca Deklarasi Balfour, Inggris memfasilitasi imigrasi ratusan ribu kaum Yahudi ke wilayah Palestina, termasuk memberikan bantuan militer bagi kaum Yahudi saat terjadi perlawanan rakyat Palestina pada 1939. Setelah negara Zionis Israel berdiri pada 1948, konflik berdarah pun secara asimetris dan terstruktur dilakukan kaum Zionis kepada bangsa Palestina hingga hari ini.
Merujuk pada catatan di atas, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menegaskan bahwa konflik yang terjadi antara bangsa Palestina dan Israel bukanlah konflik agama antara Islam dan Yahudi. Melainkan konflik politik di mana banyak umat Yahudi yang juga ikut menentang Zionisme Israel.
“Itu saya kira pandangan yang harus kita berikan garis tebal bahwa ini adalah peperangan dan konflik politik yang berkaitan dengan perebutan wilayah kekuasaan antara bangsa Palestina dan bangsa Israel tetapi tentu dalam posisi di mana masyarakat internasional menyebut Israel melakukan okupasi atau agresi terhadap wilayah bangsa Palestina,” ungkapnya.
Umat Islam di Israel
Dalam dalam forum Halaqah AWM Mingguan: Rekonsiliasi Palestina-Israel: Perspektif Agama, belum lama ini, Mu’ti menilai konflik berdarah antara Palestina dengan Israel tidak bisa dipandang secara sederhana dan hitam putih sekadar Islam versus Yahudi.
Berdasar data tahun 2022, di Israel, jumlah umat Islam mencapai 17% atau sekira 1,5 juta jiwa. Sedangkan bangsa Palestina yang menjadi korban Zionisme tidak hanya umat muslim, tapi juga bangsa Palestina yang beragama Yahudi, Kristen, dan agama-agama tradisi seperti Druze.
“Sehingga kalau persoalan ini ditarik kepada persoalan perang antara Islam dengan Yahudi ini akan menjadi sebab ketegangan di berbagai wilayah di dunia dan itu sesuatu yang sangat tidak kita kehendaki,” ujarnya.
“Selama ini saya melihat kecenderungan-kecenderungan yang ada di masyarakat itu kan lebih pada pemihakan secara 100 persen Hamas atau Palestina atau Israel dan saling menyalahkan satu sama lain,” imbuhnya.
Peluang Rekonsiliasi Perdamaian
Meski konflik ini terus berkepanjangan, Mu’ti berpendapat masih ada peluang untuk mengusahakan jalur-jalur rekonsiliasi dan perdamaian.
Banyaknya gerakan diplomasi kultural oleh masyarakat sipil untuk membangun kesadaran persaudaraan antara umat Islam, Yahudi, dan Kristen membuat dirinya optimis pada upaya resolusi konflik. Misalnya ide tentang Common Ground, Kalimatun Sawa’, Son of Ibrahim dan yang lainnya.
“Bagaimana komunitas non agama ini bisa berperan lewat jalur non militer dan non politik untuk membangun kerukunan di antara masyarakat yang berbeda-beda itu,” jelasnya.
Mengurangi kecenderungan simplifikasi atas konflik Palestina-Israel, Mu’ti mengajak umat untuk mengedepankan rasionalitas, objektivitas, keadaban dan bukan sentimen emosional semata.
“Saya kira pemihakan yang paling mungkin adalah pemihakan kepada kebenaran yang memenuhi hukum-hukum internasional bahwa tidak boleh ada penyerangan pada masyarakat sipil, pada fasilitas publik walaupun dalam situasi perang. Ituadalah hal-hal yang saya kira perlu dilakukan bersama-sama dan solusi itu bisa dilakukan dengan cara-cara yang beradab, damai dan mengurangi sebisa mungkin ketegangan yang ada,” ujarnya.
“Karena itu kalau perang ini tidak dihentikan dan tidak ada tekanan internasional agar Israel menghentikan semua okupansinya itu dan kemudian duduk bersama mendengarkan masyarakat internasional berbicara termasuk dari masyarakat sipil, solusi damai itu sepertinya tidak mungkin (terwujud),” tutur Abdul Mu’ti.