Perang dan Damai dalam Islam
Oleh Dr. H. Ahmad Fahrur Rozi
Islam merupakan agama yang mengajarkan umatnya untuk cinta damai dan senantiasa memperjuangkan perdamaian, bukan peperangan atau konflik dan kekacauan. Kedamaian merupakan dambaan semua manusia. Dalam ajaran agama Islam kita diperintahkan untuk selalu menyebarkan kedamaian dalam kehidupan. Nabi Muhammad SAW telah memerintahkan dan memberi contoh kepada umat Islam untuk menebar kedamaian dengan menganjurkan menebar salam apabila bertemu dengan orang lain, baik orang yang dikenal maupun tidak.
Sebagian orang salah memahami beberapa ayat Al-Quran tentang ajaran peperangan seakan ajaran Islam secara mutlak adalah perintah penyebaran agama dengan kekerasan melalui perang. Al-Quran mempunyai kandungan beberapa ayat tentang perang dan damai dalam konteks yang harus dipahami secara utuh, kapan saatnya damai dan kapan saatnya perang.
Dalam kajian sejarah, di masa awal dakwah Nabi Muhammad SAW periode Mekkah hingga hijrah ke Madinah selama hampir 15 tahun belum diturunkan satu ayat tentang peperangan. Hampir semuanya masih berbicara tentang penguatan akidah dan perintah untuk memaafkan, bersabar dan mengampuni kesalahan sehingga mereka enggan berperang.
Seperti disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 216 ; “Diwajibkan atas kamu berperang. Padahal perang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu. Padahal ia amat baik bagimu. Boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui. Sedangkan kamu tidak mengetahui.”
Tersurat dalam ayat di atas, Allah memerintahkan perang kepada umat Islam meskipun sebenarnya umat Islam saat itu merasa berat dan tidak senang terhadap peperangan. Jiwa umat Nabi Muhammad sudah terdidik untuk cinta pada perdamaian sehingga ketika turun ayat ini Allah menambahkan dengan kalimat ; wa huwa kurhul lakum (padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci).
Ada pandangan keliru di sebagian masyarakat dengan menggunakan dalil sepotong-sepotong untuk dijadikan landasan perbuatan kekerasan yang bertentangan dengan kedamaian. Seperti penafsiran sepotong ayat:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ Artinya: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…” (QS al-Fath:29)
Ayat ini sering dijadikan dasar bagi sebagian kelompok untuk menghalalkan kekerasan dalam perilaku mereka. Padahal makna keras ini memiliki tingkatan dan tidak semua kekerasan yang dilakukan seseorang harus dilawan dengan kekerasan pula. Bersikap keras bisa diawali dengan menampakkan ketidaksetujuan terhadap hal yang bertentangan dengan agama Islam sampai tingkat tertinggi dengan memerangi dengan cara-cara yang diperbolehkan oleh agama.
Ayat terakhir surat Al-Fath ini diturunkan dalam konteks perjanjian Hudaibiyah. Sehingga dalam memahaminya perlu memahami keseluruhan konteks ayat-ayat sebelumnya sekaligus memiliki pemahaman utuh tentang perjanjian Hudaibiyah. Konteks ayat di atas adalah suasana ketegangan, bukan ayat di masa tenang atau damai.
Jadi, memberlakukan ayat itu dalam konteks keseharian kita berinteraksi sosial saat ini tentu tidak tepat. Ketika ayat ini turun pun, Rasulullah tidak bersikap keras sebagaimana pemahaman yang sering disalahpahami. Rasul justru sedang bersikap lunak kepada orang kafir dalam perjanjian Hudaibiyah kala itu.
Jihad Bukan Hanya Perang
Agama Islam di dalamnya ada ajaran untuk berjihad atau berjuang di jalan Allah SWT. Namun jihad mempunyai banyak artian selain perang dan ini sering disalahpahami oleh banyak orang bahwa jihad adalah selalu perang dan perang adalah jihad. Padahal peperangan hanyalah satu bagian dari pada jihad dalam artian jihad itu tidak harus selalu dengan cara berperang akan tetapi bisa dengan cara yang lain.
Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’aad bahwa jihad memiliki beberapa macam: jihad hawa nafsu, jihad syaithan, jihad perang melawan musuh, dan jihad perang melawan orang- orang munafik.
Salah satu bukti, bahwa perang adalah hanya sebagian dari pada jihad dan bukan sinonimnya adalah ternyata ada beberapa ayat Al-Qur’an Makkyah (yang turun pada periode Makkah) menyeru untuk berjihad padahal kita semua tahu bahwa jihad dalam arti perang di jalan Allah baru dilegalkan bagi kaum Muslimin setelah hijrahnya mereka ke Madinah. Ini membuktikan bahwa adalah jenis jihad lain selain jihad dengan perang.
Dr. Said Ramadhan al-Bouti dalam kitabnya “Yughollidzunaka Idz Yaqulun “ menyimpulkan bahwa jihad dalam ayat-ayat Makkiyah tersebut adalah jihad dalam bentuk dakwah kepada kaum Musyrikin Quraisy yakni jihad meninggalkan adat jahiliyah, jihad sabar dan teguh mendapat siksaan dan cacian dari kaum Quraisy, jihad mempelajari dan mendakwahkan Al-Qur’an.
Hal itu diperkuat oleh Ibnu Katsir dan Qurthuby yang mengutip penafsiran Ibn Abbas tentang tafsir surat Al-Furqan ayat 52: “atau jihadilah mereka dengan Al-Qur’an dan hujjah-hujjahnya dengan jihad yang besar”. ( Tafsir Ibnu Katsier 3/321)
Al-Qur’an juga telah menjelaskan bahwa perang dalam Islam adalah bermakna dan bertujuan untuk melawan serangan orang-orang kafir yang zalim , membuka jalan dakwah dan menyingkirkan aral-aral yang menghalang jalannya dakwah, menolong kaum yang tertindas yang berada di bawah penguasa yang semena-mena serta untuk melindungi agama dan menguatkannya.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al Hajj Ayat ke 39 dan 40 yang berbunyi :
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya dan ditindas”,
Dalam kitab Jami’ al-Bayan, Imam At-Tabari menafsirkan ayat di atas bahwa “Tuhan mengizinkan kaum mukmin untuk berperang melawan kaum musyrik sebab mereka menindas kaum mukmin dengan menyerang mereka”.
Senada hal tersebut Imam Az-Zamakhsyari menyatakan bahwa kaum musyrik Makkah menyakiti kaum mukmin dan datang kepada Nabi dengan menyakiti beliau pula. Bagaimana respon Nabi kemudian? Nabi mengatakan “Sabarlah! Aku belum diperintahkan untuk pergi berperang”.
Penjelasan yang sama juga ditemukan dalam Mafatih al-Ghaib (juz 23 halaman 43) karya Imam Ar-Razi, baik Az-Zamakhsyari maupun Ar-Razi menegaskan bahwa perang baru diizinkan dalam ayat yang turun setelah diturunkannya tujuh puluh ayat yang melarang hal ini. Ibn Zayd mengatakan bahwa kebolehan ini diberikan setelah Nabi dan para sahabatnya memaafkan segala perlakuan kaum musyrik selama sepuluh tahun.
Jika kita perhatikan kata “udzina” di atas menunjukkan bahwa perang hanya dibolehkan bukan diperintahkan, dalam pengertian bahwa mereka tidak harus menempuh jalan perang, kebolehan dan izin tergantung pada situasi khusus ketika jalan damai tidak memungkinkan. Pemahaman tentang “li al-ladzina yuqatalu dan bi annahum zhulimu” merujuk pada situasi penindasan, yang karenanya Nabi dan para sahabat diizinkan untuk berperang.
Kemudian ayat selanjutnya tentang tujuan perang justru untuk penghapusan penindasan, penegakan kebebasan beragama dan pesan perdamaian. Allah SWT dalam QS. Al-Hajj [22]: 40 berfirman :
الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ ۗ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا ۗ وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
“(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa,”
Dalam ayat ini, Nabi beserta pengikutnya mulai diizinkan untuk berperang, harus dipahami dalam konteks historis dan tekstualnya. Berdasarkan basis konteks tersebut, seseorang dapat mengatakan bahwa pesan utama dari ayat-ayat ini ternyata bukan pergi berperang, akan tetapi menghapus penindasan dan menegakkan kebebasan beragama serta perdamaian. Artinya perang justru bagian daripada alat untuk mewujudkan nilai-nilai moral. Ini berarti bahwa perang haruslah dihindari jika masih ada jalan non-kekerasan yang masih mungkin dilakukan.
Dalam surat Al Baqoroh 190 Allah juga menyatakan:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Prof. DR. Muhammad Qurays Shihab menjelaskan artian ayat ini dalam Tasirnya ; Di antara ketakwaan kepada Allah adalah menanggung beban dalam menaati-Nya. Dan beban terberat bagi manusia adalah berperang melawan musuh-musuh Allah yang menyerang lebih dulu. Dari itu, janganlah kalian lebih dulu menyerang atau membunuh mereka yang ikut berperang dan mereka yang tidak ada sangkut pautnya dengan peperangan itu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai mereka yang melampaui batas.
Ayat ini merupakan salah satu ayat yang menolak tuduhan bahwa Islam adalah "agama pedang", agama yang tersebar melalui perang, seperti yang dikatakan sebagian orang. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa kaum Muslimin tidak dibolehkan memulai serangan (agresi). Ayat ini merupakan ayat kedua yang diturunkan seputar masalah perang, setelah lebih dulu turun surat al-Hajj: "Telah diizinkan (beperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka."
Bukti bahwa Islam bukanlah agama yang disebarkan dengan pedang, adalah karakter dakwah Islam--seperti yang diperintahkan Allah kepada Rasul-Nya--yang dilakukan dengan hikmah, nasihat dan berdebat dengan cara yang terbaik. Di samping itu, Islam mengajak umat manusia untuk beriman melalui pemberdayaan rasio guna merenungi ciptaan-ciptaan Allah.
Dengan cara itulah Rasul menyebarkan dakwahnya selama 13 tahun di Mekah. Tak ada pedang yang terhunus, dan tak setetes darah pun yang mengalir. Bahkan ketika kaum Quraisy menyiksa para pengikut-Nya, beliau tidak menyuruh mereka membalas. Rasul malah menyuruh para pengikutnya yang setia untuk berhijrah ke Habasyah (Etiopia) untuk menyelamatkan keyakinan mereka
Penutup
Jadi pada prinsipnya dalam Islam perang hanya dilegalkan dalam situasi yang sangat darurat (terpaksa), seperti untuk menolak serangan musuh, mempertahankan hak yang sudah dilanggar musuh, dan melindungi keamanan dakwah Islam. Islam baru membenarkan perang apabila serangan benar-benar terjadi atau telah nyata. Seorang muslim pun tidak diwajibkan untuk mengislamkan seluruh dunia dengan perang. Perang dilakukan untuk membela agama, membela kepercayaan demi meraih kedamaian.
Surabaya , Sabtu 19 Nopember 2022