Peranan Masjid dalam Dakwah, Ini Pesan Lengkap Buya HAMKA (2)
Di masa pandemi COVID-19, masjid terasa senyap aktivitas. Meski terdengar adzan setiap waktu, tapi aktivitas shalat berjamaah tidaklah seindah kondisi normal sebagaimana sebelumnya. Masjid tidak saja menjadi tempat ritual, melainkan juga oase peradaban kemanusiaan. Di dalam masjid, terdapat aktivitas dakwah, pendidikan bahkan aktivitas yang menopang kegiatan masjid, yakni perekonomian.
Prof. DR. H. Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat 1975-1981 menulis Peranan Masjid dalam Dakwah. Naskah yang diterbitkan MUI Pusat ini, dikeluarkan di Jakarta, Shafar 1400 H bertepatan Januari 1980 M. Pesan Buya Hamka menjadi penting ketika kondisi masyarakat perlu dibangkitkan dalam mengembangkan dakwah, dan menyebarkan tegaknya kalimat-kalimat Al-Quran di bumi Nusantara.
Pesan tersebut terasa penting, meski dengan latar belakang sejarah yang menyertai konteks pesan disampaikan. Betapa telah terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam perkembangan dakwah di Indonesia, dari waktu ke waktu bila ditilik dari perkembangan sekarang.
Berikut pandangan Prof. DR. H. Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, bagian kedua :
Kesimpulannya berkhothbah dengan bahasa sendiri sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan dakwah dan ini merupakan perbedaan yang besar antara cara berkhothbah dimasa dulu dan sekarang. Karena orang yang berkhothbah dimasa dulu hanya membaca khothbah yang sudah ditulis dimana si pembaca tidak mengerti isi dari khothbah tersebut. Mereka tidak memperhatikan Sabda Nabi : "Sesungguhnya kami para Nabi diperintahkan supaya khothbah/bicara kepada orang lain menurut ukuran akalnya".
Apabila kita kembali kepada apa yang telah kami sebutkan tadi, jelaslah bahwa khothbah Jum'at di negeri kami terjadi beberapa macam cara dan tujuan. Di daerah-daerah di bawah kekuasaan raja, masjid adalah di bawah kekuasaannya. Adapun daerah-daerah yang di bawah kekuasaan penjajah Belanda, maka Imam dan Khatib ditentukan oleh pemerintah penjajahan dan mereka digaji seperti pegawai negeri. Adapun masjid-masjid di Jawa pada umumnya di bawah kekuasaan pemerintah penjajahan.
Imam, muazzin dan khatib mendapat gaji sebagai pegawai negeri. Adapun di Minangkabau Sumatera Barat dan setelah pecahnya peperangan Padri yang berlangsung pada tahun 1803-1834 dengan pimpinan Imam Bonjol dan peperangan itu sebagai jihad untuk melawan Belanda guna menegakkan kemerdekaan beragama.
Akan tetapi kekuasaan Belanda menjanjikan memberikan kebebasan kepada rakyat Muslim untuk melaksanakan ajaran agamanya dan adat kebiasaannya.
Hasil janji ini bahwa urusan masjid di Minangkabau diserahkan kepada Ulama dan Pemuka kaum muslimin. Berjalan hal itu sampai hari ini. Mereka yang bertanggung jawab urusan masjid ini bebas dan bukanlah pegawai pemerintah. Tradisi dan kebiasaan yang diwarisi berjalan sebagaimana biasa. Ada pepatah mengatakan: Masjid Mempunyai Kemuliaan Tersendiri dan bermusyawarah merupakan kebiasaan. Artinya bahwa masjid itu tempat beribadah dan juga tempat berseminar hamba Allah...
Setelah Indonesia merdeka, keadaan berobah dan suasana berkembang. masjid-masjid mempunyai kedaulatan sendiri karena kedaulatan ditangan rakyat yang organisasi-organisasi Islam mengulurkan tangan untuk membangkitkan roh Islam di dalam diri ummat seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam (Persis), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Jamiyah Al-Washliyah dan lain sebagainya.
Juga Pemerintan Republik Indonesia sejak kemerdekaan selalu membangun dan membantu rakyatnya membangun masjid-masjid. Dapat kita saksikan di Yogyakarta Masjid Syuhada tahun 1950 sebagai lambang peringatan korban pertempuran pejuang kemerdekaan Indonesia. Di Jakarta Pemerintah Republik Indonesia membina Masjid Al-Azhar yang diberi nama oleh ulama Syaikh Ahmad Syahthout ketika berkunjung di Indonesia tahun 1961.
Di Ibu kota Jakarta yang penduduknya sekitar 4 juta yang bermacam ragam, kita dapati penduduknya berlomba-lomba membangun masjid, disetiap kampung ada masjid dan disetiap gang ada mushalla, masjid tumbuh berkembang disamping masjid yang lama.
Menurut statistik terakhir masjid di Jakarta ada 1000 masjid, bahkan terdapat juga masjid kecil di Departemen-Departemen untuk shalat Jum'at bagi pegawai dan seperti ini juga di bank-bank, Asrama-asrama militer, dan lembaga-lembaga tertinggi.
Di tiap daerah Kabupaten Bupati Kepala Daerah atau Walikota diberi penghargaan yang tinggi dari pihak pemerintah bila ia dapat menunaikan tugas 3 hal yang penting :
1. Pembangunan pasar yang luas,
2. Pembangunan stasion bus, dan
3. Pembangunan masjid yang sesuai dengan daerahnya.
Dan yang sangat penting ialah bagi daerah Propinsi. Setiap Kepala Daerah Propinsi membangun masjid Jami' besar di ibukotanya, seperti Bandung ibukota Jawa Barat, Ambon ibukota Maluku, Medan ibukota Sumatera Utara dan seterusnya berdiri masjid-masjid jami' yang sesuai dengan perkembangan zaman. Adapun di Jakarta saksikan sendiri! Telah berdiri Panitia Khusus yang dikukuhkan oleh Bapak Presiden Republik Indonesia masjid Jami yang indah megah dan luas ialah Masjid Istiqlal.
Kemudian dalam kesempatan ini perlu kami sampaikan disamping hal tersebut kaum Masehi di negeri kami berusaha mendirikan gereja disamping masjid. Bila kaum muslimin penduduk asli bermudah diri, maka dengan cepat berdiri pula gereja yang besar disamping salah satu masjid. Tapi jika mereka waspada dan bangkit, maka mereka mencegah dan berusaha untuk tidak dibangun gereja seperti itu. Terjadi perselisihan dan kegelisahan disebagian daerah seperti di Makassar dan Aceh. Terjadi pembakaran gereja oleh penduduk kaum muslimin, sekira tidak cepat diatasi oleh Pemerintah dan dikeluarkannya peraturan yang melarang berdirinya gereja di kampung-kampung yang tidak terdapat penduduk beragama Nashrani. (bersambung)
Advertisement