People Power Paksa Ganti Konstitusi Hukumnya Haram, Pesan MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI) berbicara tentang hukum pengerahan massa alias people power. MUI mengatakan people power haram hukumnya jika dilakukan dengan cara memaksa untuk mengganti atau mengubah hal yang jadi kesepakatan nasional, seperti UUD 1945.
"People power yang dilakukan dengan cara memaksakan kehendak untuk mengganti atau mengubah sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan nasional, baik yang tertuang di dalam undang-undang maupun konstitusi negara, menurut pendapat kami, hukumnya haram," kata Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid di kantor MUI, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, dikutip ngopibareng.id, Minggu 19 Mei 2019.
Dia mengimbau warga tidak terprovokasi ajakan people power atau apa pun namanya. Dia mengibaratkan pengerahan massa seperti demonstrasi seperti pisau.
"Kecuali kalau people power itu tidak ada niat untuk memaksakan kehendak, hanya unjuk rasa, menyampaikan aspirasi, tanpa ada tuntutan harus, saya kira itu adalah hak yang dilindungi oleh konstitusi kita. Hak menyatakan pendapat, hak menyampaikan aspirasi, itu dilindungi oleh undang-undang dan konstitusi kita...."
"Tadi dalam tausiah kami, salah satunya adalah menghimbau untuk tidak terprovokasi mengikuti ajakan people power atau apa pun namanya yang sekarang misalnya diganti dengan aksi kedaulatan rakyat atau misalnya aksi damai. Saya ibaratkan begini, demonstrasi, aksi, itu kan sama kedudukannya sama seperti pisau. Kalau pisau itu digunakan untuk kepentingan yang manfaat, pisau itu tidak membahayakan. Tapi kalau pisau itu digunakan untuk kepentingan jahat, pisau itu menjadi berbahaya," jelasnya.
Namun kalau people power itu tidak ada niat untuk memaksakan kehendak, hal itu tidak haram. Dia mencontohkan people power saat unjuk rasa atau penyampaian pendapat yang kerap dilakukan.
"Kecuali kalau people power itu tidak ada niat untuk memaksakan kehendak, hanya unjuk rasa, menyampaikan aspirasi, tanpa ada tuntutan harus, saya kira itu adalah hak yang dilindungi oleh konstitusi kita. Hak menyatakan pendapat, hak menyampaikan aspirasi, itu dilindungi oleh undang-undang dan konstitusi kita. Tapi kalau dimaksudkan untuk memaksakan kehendak terhadap sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan nasional, itu adalah haram hukumnya. Karena, orang muslim itu harus tunduk pada kesepakatan-kesepakatan yang sudah dibuat bersama-sama," jelasnya.
Dia juga menyarankan, jika ada sengketa, bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, putusan hakim konstitusilah yang akan menyelesaikan perbedaan di antara pihak yang berselisih.
"Artinya apa, putusan hakim itulah yang nanti menyelesaikan perbedaan-perbedaan pendapat di antara pihak-pihak yang berselisih. Jadi di situ fungsinya Mahkamah Konstitusi untuk memberikan keadilan kepada seluruh peserta pemilu," ujar Zainut.
Selain soal people power, Wasekjen MUI Amirsah Tambunan menyoroti soal ajakan tidak membayar pajak. Menurut MUI, pajak merupakan kewajiban warga negara karena digunakan untuk membangun bangsa.
"Dalam konteks ini, MUI pernah membicarakan dalam suatu ijtimak ulama soal pajak ini, betapa pentingnya pajak untuk dibayar oleh masyarakat dan sebaliknya, negara juga berkewajiban untuk kembali menyalurkan pajak itu bagi rakyat. Dalam konteks misalnya membangun sarana dan prasarana, memajukan pendidikan, kesehatan, dan seterusnya itu semua dibiayai dari pajak," ujar Amirsah.(adi)