Penyintas Covid-19 Ditinggal Tetangga Dirangkul Khofifah
Suatu pagi, Nur Aiyus bersih-bersih halaman depan rumahnya. Aktivitas ini sudah biasa ia lakukan setiap pagi. Namun, suatu hari saat sedang bersih-bersih halaman depan rumahnya, Nur Aiyus kaget. Braaaak…tiba-tiba pintu rumah tetangga depan ditutup dengan cara kasar.
Sadar diri, Nur Aiyus kemudian masuk ke dalam rumahnya. Dia menduga, perlakuan warganya yang seperti itu karena dia pernah menjadi pasien positif Covid-19 sekitar dua bulan yang lalu. Saat diidentifikasi positif, dia sebenarnya termasuk dalam kategori Orang Tanpa Gejala (OTG). Meski dia positif Covid-19, namun kondisi tubuhnya sehat-sehat saja. Tak merasakan keluhan sakit atau lainnya.
“Di kampung sampai saat ini sudah dua bulan tetangga sikapnya ke saya, ke anak-anak saya masih gak baik sikapnya. Saya nyapu depan rumah mereka langusng gebrak pintu masuk ke rumah,” ungkap Nur Aiyus dengan nada tinggi.
Perlakuan yang sama juga ia dapatkan dari lingkungan kerjanya. Sehari-hari Nur Aiyus bekerja di salah satu perusahaan di kawasan Berbek Industri Sidoarjo. Nur Aiyus merasa, meski sudah dinyatakan sehat, dia tetap dijauhi oleh rekan-rekan kerjanya.
Tak hanya dijauhi, Nur Aiyus juga mendapat perlakukan ‘kasar’ lainnya. Sampai-sampai dikucilkan dengan ditempatkan di ruang khusus yang gelap. Teman-temannya yang biasa bersama bekerja, makan bareng, nongkrong bareng pun putus karena temannya tak berani menyapanya.
Itulah yang sampai kini masih dirasakan Nur Aiyus, warga Joyoboyo, Surabaya. Meski sudah dua bulan sejak dinyatakan sembuh oleh tim dokter di RS Lapangan Kogabwilhan II pada 4 Juli 2020 lalu, sampai kini ia masih merasakan stigma tersebut.
Wanita 47 tahun itu pun bercerita. Saat sakit Covid-19, ia tak pernah merasakan gejala apapun seperti yang banyak dirasakan oleh penderita lainnya. Misalnya saja demam, batuk, flu, sesak napas, diare dan sebagainya.
Nur Aiyus sejak awal tak tahu dari mana dirinya bisa terpapar Covid-19. Namun, saat itu memang suaminya mengalami sakit yang cukup parah dengan gejala sesak napas yang menyerupai Covid-19. Akhirnya, suami dibawa ke beberapa rumah sakit. Setiba di rumah sakit, nasib malang kala itu kembali menghampiri. Tak satu pun rumah sakit yang mau menerima apalagi memeriksa suaminya.
Suami dan Nur Aiyus akhirnya menjalani swab test di RS Lapangan. Karena kondisinya yang parah, sang suaminya kemudian dirujuk ke RS Universitas Airlangga. Awalnya, dokter curiga jika suaminya positif Covid-19. Namun, ternyata setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Airlangga, ternyata suaminya negatif Covid-19.
Justru sebaliknya, tanggal 1 Juli 2020, Nur Aiyus mendapat informasi hasil swabnya positif. Dia mendapatkan itu, setelah sebelumnya menjalani test swab bareng saumi di RS Lapangan. Nur Aiyus pun harus menjalani perawatan di RS Lapangan karena tidak ada gejala.
Saat menjalani perawatan di RS Lapangan itu, Nur Aiyus merasa mendapatkan pelayanan yang bagus. Bisa makan secara teratur tiga kali sehari. Menunya pun beragam. Makanan dan minuman tambahan seperti susu dan buah juga selalu tersedia.
“Apalagi kalau mau buat kopi, susu, teh tinggal ambil semua sudah tersedia. Di sana serba enak,” aku Nur.
Selain itu, setiap pagi ia bersama dengan pasien lainnya rutin melakukan senam bersama, terkadang karaoke bersama. Sehingga, ia merasa nyaman.
Kondisinya yang baik, membuatnya tak harus menjalani perawatan yang lama. Cukup tiga hari saja ia sudah dipersilahkan pulang karena hasil swab lanjutan negatif, namun tetap menjalani isolasi mandiri di rumah.
“Di badan itu gak terasa sakit, tak sesak. Tapi justru saat pulang ke rumah, fitnahnya lebih besar dari mulut ke mulut akhirnya takut,” aku Nur.
Namun, kini ia bisa tertawa lepas meski masih mendapat stigma dari tetangganya. Kini, justru ia mendapat teman baru yakni sesama penyintas Covid-19.
Paling membanggakan lagi, mendapat kehormatan karena diajak langsung oleh Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, untuk bersama-sama mengampanyekan penerapan protokol kesehatan di berbagai kota dengan kegiatan Gowes Kampanye Protokol Kesehatan.
Dengan setelan kerudung merah muda, baju hitam bergambar Rumah Sakit Lapangan Kogabwilhan II lengkap dengan masker, celana training, dan helm sepeda, dengan semangat ia mengayuh sepeda MTB bersama-sama mengikuti kegiatan Gowes Kampanye Protokol Kesehatan yang dilaksanakan di Sidoarjo, Minggu 6 September 2020 pagi lalu.
Walau panas terik matahari, tak mengurangi semangatnya bersama dengan rekan lainnya dan para pejabat mengampanyekan protokol kesehatan. Para penyitas pun turut membagikan masker kepada para warga yang tersebar di beberapa titik.
Tak hanya gowes dan kampanye protokol kesehatan, para penyintas kini mendapat momen untuk makan satu meja bersama Gubernur Jatim.
Sementara itu, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa menyampaikan, kegiatan ini sengaja dilakukan untuk menghilangkan stigma di masyarakat bahwa pasien Covid-19 yang sudah sembuh memiliki kekebalan yang tidak akan terpapar lagi maupun menularkan virus pada atlet.
“Saya sampaikan, Covid-19 ini bukan aib siapa saja bisa terpapar. Oleh karena itu, baik di komunitas sosial mereka maupun perusahaan agar tidak menstigma karena masih ada yang stigma,” ujarnya.
Selain itu, keberadaan para penyintas Covid-19 ini diharapkan menjadi Duta Anti Covid-19 yang mengampanyekan penerapan protokol kesehatan dengan kisah-kisah selama menjadi pasien.
Cerita Aiyus yang berhasil menjadi penyintas Covid-19 ini tak lepas dari upaya maksimal di RS Lapangan. Rumah Sakit Lapangan di bawah koordinasi Kogabwilhan II ini, berhasil menyembuhkan 2.016 pasien. Dan yang membanggakan tak ada satupun yang meninggal dunia.
Total kesembuhan tersebut telah memberikan kontribusi 16,7 persen dari 11.925 pasien di Surabaya, 5,93 persen dari total 33.978 pasien di Jawa Timur, dan 1,1 persen dari total 184.298 pasien di Indonesia.
Kepala RS Lapangan Kogabwilhan II, Laksamana Pertama TNI dr. I Dewa Gede Nalendra mengungkapkan keberhasilan ini kuncinya adalah monitoring ketat kepada pasien, dan pemberian nutrisi.
“Keunggulan kita monitoring ketat, sehingga tidak masuk sampai kondisi berat. Kalau sampai masuk ventilator, maka ada kemungkinan 75 persen pasien tak bisa bertahan. Peran monitoring ketat ini bisa mengantisipasi pasien masuk ke kategori berat,” ungkap jenderal bintang satu ini.