Penyempitan Sejarah, Muhammadiyah Gerakan Pemurnian Agama Semata
"Jawaban apakah yang bakal anda berikan ketika ada seseorang meminta penjelasan soal apakah gerakan Muhammadiyah itu?"
"Jika anda menjawab, Muhammadiyah adalah gerakan purifikasi (pemurnian) agama-sebagaimana yang banyak ditulis oleh sebagian buku sejarah, berarti anda ikut memaklumi kesalahan umum tersebut."
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengungkapkan hal itu, dalam Pengkajian Ramadan 1442 H PWM DKI Jakarta, dikutip Minggu 2 Mei 2021.
Pada forum tersebut, Haedar mengingatkan, pemahaman bahwa Muhammadiyah adalah gerakan pemurnian agama adalah kesalahan sejarah, termasuk terputusnya riwayat Muhammadiyah yang sebenarnya dari Kiai Ahmad Dahlan.
“Apa yang sudah dilakukan oleh Kiai Ahmad Dahlan adalah Tajdid (pencerahan). Tapi dalam perkembangan Muhammadiyah sendiri, Tajdid mengalami penyempitan makna baik fokus dan lokus menjadi pemurnian (purifikasi),” ungkap Haedar.
Haedar Nashir pun tak memungkiri, warga Persyarikatan lebih banyak mengenal apa yang dimaksud sebagai Tajdid adalah pemurnian. Termasuk buku-buku Kemuhammadiyahan juga menguatkan soal itu.
Padahal, menurut Haedar, riwayat Muhammadiyah sebagai gerakan pemurnian itu tidak ditemukan oleh dalam periwayatan oleh murid-murid Kiai Ahmad Dahlan sendiri seperti Kiai Hadjid, Kiai Mas Mansur hingga Kiai Syudja’.
Lahirnya gerakan Muhammadiyah pun, menurut Haedar Nashir, bukan sebagai respon reaktif atas kondisi saat itu ataupun dipengaruhi oleh purifikasi Wahabisme, tetapi lahir atas perenungan panjang secara sufistik Kiai Ahmad Dahlan tentang dakwah Islam sejak masa Nabi Nuh, Nabi Muhammad hingga runtuhnya peradaban Islam.
“Nah hal-hal ini kurang dipahami oleh para tokoh, kader bahkan penulis Muhammadiyah. Mungkin karena keterbatasan melacak sejarah. Maka tidak heran yang menonjol di belakang hari Tajdid dimaknai sebagai pemurnian dan gerakan anti TBC (Takhayul, Bid’ah, Churafat). Padahal gerakan anti-TBC itu sendiri juga tidak terlalu kuat pada masa Kiai Dahlan,” urai Haedar.
Dalam merespon TBC pun, Haedar menyampaikan pembacaannya bahwa Kiai Ahmad Dahlan menggunakan pendekatan moderat dan tidak konfrontatif yakni melalui jalan mengalihkan perhatian umat kepada kegiatan lain yang mubah.
“Tapi di belakangan hari (pasca wafatnya Kiai Dahlan) cara itu keras sekali. Mungkin Muhammadiyah berinteraksi dengan gerakan pemurnian di Sumatera Barat, Padri dan lain-lain yang sebenarnya itu tidak sama dan sebangun dengan gerakan Muhammadiyah sendiri. Karenanya, di belakangan hari (Buya) Hamka sendiri berseberangan dengan ayahnya lalu melahirkan Tasawuf Modern,” jelasnya.
Muhammadiyah Anti Tasawuf, Tapi Tidak Ihsan?
Lebih lanjut, Haedar Nashir menyebut bahwa corak pemikiran Hamka adalah yang paling dekat dengan corak pemikiran Kiai Ahmad Dahlan dalam memandang aspek Ihsan.
Aspek Ihsan atau dimensi sufistik yang kuat dilakukan oleh Kiai Ahmad Dahlan ini menurut Haedar ikut terimbas akibat konstruksi Muhammadiyah yang sempit sebagai gerakan purifikasi agama.
“Supaya kita belajar sejarah Muhammadiyah lebih komprehensif. Sebab, di belakang hari orang Muhammadiyah anti pada tasawuf tapi juga tidak belajar berbuat Ihsan. Yang muncul kuat di belakang hari adalah gemar beramal-nya Kiai Dahlan, itu saja yang menyambung. Tapi orientasi dakwahnya hilang, kering dari spiritualitas,” imbuh Haedar Nashir.
“Mari kita coba lengkapi lagi pemahaman kita tentang Tajdid Muhammadiyah baik dalam konteks historis dan dasar-dasar teologisnya,” tutur Haedar.