Penyekatan Mudik Setengah Hati
Larangan mudik lebaran sudah berlaku. Sejak tanggal 6 Mei 2021 kemarin. Hingga 17 Mei mendatang. Ini salah satu cara pemerintah pusat mencegah agar tak terjadi tsunami Covid-19 gelombang dua.
Perkembangan mutasi virus corona ini memang mencemaskan. India sudah mulai kelabakan. Hampir setiap hari 5 ribu orang meninggal karena pandemi ini. Hanya China yang adem ayem. Padahal di sinilah kasus Covid-19 muncul.
Olimpiade 2021 di Jepang pun menjadi sepi. "Saya pun tak bisa mengunjungi para atlet Indonesia yang sedang mengikuti pertandingan pra kualifikasi di sini," kata Duta Besar RI di Tokyo Heri Ahmadi.
Jepang juga menutup diri. Kecuali para atlet yang sudah melalui proses screening ketat. Banyak company dan warga Indonesia yang sudah kadung pesan tiket untuk Olimpiade terpaksa membatalkan kehadirannya. Ini masih kata Heri Ahmadi.
Negeri Sakura yang tahun ini ketiban sampur menggelar even olah raga terbesar dunia ini harus siap merugi. Menggelar even tanpa penonton. Yang semestinya menjadi salah satu even yang bisa mendatangkan devisa.
Sejak beberapa hari terakhir, gelombang Covid-19 memang melanda kembali Jepang. Bahkan tiga kota itu dinyatakan dalam keadaan darurat. Padahal, inilah salah satu negara yang punya budaya bersih. Yang saat serangan pertama Covid sempat terkendali di negeri ini.
Situasi ini memang memperkuat keputusan pemerintah pusat untuk melarang mudik lebaran tahun ini. Inilah tahun kedua mudik dilarang sejak pandemi Covid-19 melanda negeri kita. Yang membuat kemeriahan Hari Raya umat Islam ini menjadi berkurang.
Persoalannya apakah keputusan melarang mudik ini bisa efektif di lapangan? Ini yang masih sulit untuk berkata ya. Kecuali hanya untuk pengendalian angkutan umum. Public transport yang sebagian besar memang dikelola pemerintah. Sedangkan untuk kendaraan pribadi masih jauh dari panggang api.
Di hari pertama larangan mudik, saya bepergian keluar kota untuk kepentingan dinas. Yang memang diijinkan untuk perjalanan secara terbatas. Karena berkaitan dengan urusan ketahanan pangan yang sedang menjadi prioritas negara.
Apa yang terjadi? Tak ada kegiatan penyekatan di sejumlah kota yang sedang saya kunjungi. Ada 5 kota dan kabupaten di Jawa Timur yang saya lewati. Dua kota besar, tiga kota biasa. Inilah kota yang biasa menjadi tujuan mudik.
Penyekatan baru ada di perbatasan masuk kota Surabaya. Saat jelang malam tiba. Penyekatan diberlakukan bagi kendaraan yang berplat nomor luar kota. Padahal, tentu amat banyak warga Surabaya yang masih mempunyai kendaraan dengan nopol luar Surabaya.
Hari kedua, penyekatan sudah tidak lagi ada. Saya tidak tahu kalau pada malam harinya. Yang pasti, hari kedua pemberlakuan penyekatan mudik lebaran, jalur masuk Kota Surabaya sudah tak seramai sebelumnya. Siapa tahu banyak warga yang sudah ngeplas mudik hari-hari sebelumnya.
Memang untuk menjalankan program penyekatan mudik bukan barang gampang. Diperlukan anggaran untuk melakukan hal itu. Di saat sumber dana pemerintah makin terbatas. Tersedot untuk penenganan pandemi Covid-19 sejak setahun lalu.
Pada umumnya, aparat pemerintah menjalankan program berdasarkan anggaran. Jika tidak ada anggaran maka tidak ada kegiatan. Belum terbangun budaya kerja berdasarkan tanggungjawabnya. Seperti yang di swasta.
Saya pernah bingung saat pernah lima tahun di pemerintahan. Ketika tiba-tiba program penertiban berhenti di tengah jalan. Ketika saya tanya, jawabannya karena anggarannya sudah habis. Padahal, penertiban itu tupoksinya: tugas pokok dan fungsi.
Setiap program selalu ada komponen uang makan, transportasi dan sebagainya. Katika anggaran itu tidak ada, maka tidak mungkin jalan. Karena itu, diperlukan realokasi anggaran agar sebuah program tetap berjalan.
Padahal, hanya ada dua kali mekanisme alokasi anggaran dalam pemerintahan. Saat penyusunan RAPBN atau RAPBD dan RAPBN-P maupun RAPBD-P. Itu berjalan setiap setengah tahunan. Belum lagi jika berdapan dengan keterbatasan anggaran.
Tapi begitulah sebuah organisasi besar seperti birokrasi pemerintahan harus berjalan. Agar tidak terbuka lebar ruang penyimpangan anggaran pemerintah yang sebagian besar diperoleh dari pajak. Yang penerimaan pajak pasti menurun setelah dihantam pandemi.
Ketika awal pandemi, pembiayaan program seperti penyekatan mudik ini masih mungkin dari partisipasi swasta. Atau sumber-sumber lain karena kedaruratan. Namun, saya bisa membayangkan betapa sulitnya berharap partisipasi serupa di saat sekarang.
Kayaknya harapan kita tinggal kepada kesadaran masyarakat. Kesadaran bersama untuk mencegah tsunami Covid gelombang berikutnya. Yang kalau itu terjadi bisa membuat kita semua lebih terpuruk dibanding sebelumnya.
Menggaungkan lebih keras agar mereka lebih disiplin protokol kesehatan barangkali akan lebih mengena. Ketimbang melarang tapi tanpa ada tindakan pengawasan. Apalagi mudik adalah budaya yang telah mengakar begitu lama.
"Spiritualitas mudik lebih besar ketimbang larangan akibat Covid," kata seorang aktifis dalam status media sosialnya. Ia mengemukakan itu sambil memajang foto mobilnya yang siap berangkat menuju kampung halaman.
Orang seperti dia banyak. Yang tidak bisa mengalahkan spiritualitas dengan rasionalitas. Apalagi, alasan rasional pelarangan mudik tak didukung tindakan serupa untuk lainnya.
Komunikasi publik yang dispute antara larangan mudik dan pulang kampung, ekspose kedatangan sejumlah warga negara asing ke Indonesia, dan diijinkannya tempat wisata tetap buka. Semua itu menjadikan larangan susah mempan.
Mereka mungkin tidak mudik pada masa pelarangan diberlakukan. Tapi melakukannya sebelum tanggal penetapan dan balik ke kota setelah batas akhir larangan mudik lebaran.
Jadi, ya memang angel tenan. Angel...angel...tuturane.