Penyediaan Guru Agama, Tanggung Jawab Siapa?
Oleh Baharudin
Dalam beberapa pekan terakhir ini, problem pemenuhan guru agama oleh pemerintah baik melalui jalur rekruitmen CPNS maupun P3K menjadi isu tranding di media mainstream maupun media sosial. Bahkan sampai muncul ancaman mogok mengajar dari para guru agama yang seharusnya lebih bisa menjaga diri, karena dilandasi nilai perjuangan dan keikhlasan dalam menyampaikan ilmu agamanya.
Hal ini disebabkan karena tidak adanya alokasi quota guru agama di sekolah (jenjang SD, SMP dan SMA/SMK) dalam rencana rekruitmen 1 juta P3K yang diajukan Kemendikbud. Padahal kenyataan di lapangan, di sekolah yang diselenggarakan pemerintah/negeri jelas sangat kekurangan guru agama yang disebabkan banyaknya guru agama pensiun maupun bertambahnya jumlah sekolah negeri.
Sehubungan dengan problem tersebut, tulisan ini mencoba untuk membahas tentang rekruitmen Guru agama itu menjadi tanggung jawab siapa? Karena, memperhatikan informasi yang berkembang terkait rekruitmen guru agama, khususnya jalur P3K di media, baik media resmi pemerintah atau sosial, masih simpang siur. Sejumlah berita yang direlease situs media resmi kemenag, Kemdikbud ataupun media mainstream (JPNN) belum cukup jelas memberikan Jawaban.
Di sisi Kemdikbud, menyatakan tidak memasukkannya quota guru agama dari satu juta quota rekruiten P3K Kemendikbud karena belum menerima usulan dari Kemenag. Sementara Kemenag sendiri hanya mengusulkan rekruitmen 9 ribu sekian P3K untuk Guru honorer Kemenag, yang nota bene guru Madrasah dan dosen PTKIN. Kalaupun menyebut guru agama, itu jelas guru agama di madrasah atau perguruan tinggi Islam.
Ketidak jelasan quota, tanggungjawab dan mekanisme rekruitmen guru agama ini yang menyebabkan kegaduhan dikalangan insan pendidikan agama, khususnya para guru honoren yang memang sangat menantikan diangkat menjadi pegawai pemerintah. Bahkan, pekan kemaren para guru agama yang seharusnya mampu menunjukkan sikap sebagai ‘pejuang agama’, nilai keikhlasan dalam menyampaikan ilmu agama, sampai berniat ‘mogok ngajar’. Semoga itu hanya sekedar bentuk kekesalan guru-guru agama yang diombang-ambingkan oleh ketidakjelasan kebijakan pemerintah.
Pendidikan Agama, Tanggung Jawab Pusat atau Daerah
Merujuk pada UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa klasifikasi urusan pemerintahan terdiri dari 3 urusan yakni urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan konkuren adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Agama, dalam Undang-undang tersebut termasuk urusan pemerintahan absolut, berarti tanggung jawab pemerintah pusat. Dan yang diberikan tugas untuk melaksanakan pembangunan bidang agama, yaitu Kementerian Agama. Karena itu, kementerian agama termasuk lembaga/kementerian vertikal, tidak termasuk yang diotonomikan.
Lalu pembinaan agama, termasuk pendidikan agama itu menjadi kewenangan Pasal 3, ayat (1) Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama. Ayat (2) Pengelolaan pendidikan agama dilaksanakan oleh Menteri Agama.
Dari sini jelas, bahwa pengelollan pendidikan agama menjadi tanggung jawab kementerian agama. Hal ini dikuatkan dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan pendidikan agama pada sekolah. PMA ini mengatur pelaksanaan pengelolaan pendidika agama di sekolah, mulai muatan kurikulum pendidikan agama dan pelaksanaannya, penyediaan tenaga pendidik agama sampai pada penilaian hasil pendidikannya.
Tentang penyediaan guru agama di sekolah, dalam PMA 16 Tahun 2010 ini diatur pada Pasal 14, ayat (1) Pengadaan guru pendidikan agama di sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah dilakukan oleh Menteri. Ayat (2) Pengadaan guru pendidikan agama di sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dilakukan oleh Menteri dan/atau Pemerintah Daerah. Pada ayat (3) Pengadaan guru pendidikan agama di sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oleh sekolah atau penyelenggara pendidikan yang bersangkutan.
Dari peraturan ini, cukup jelas. Bahwa tanggung jawab penyediaan guru agama di sekolah menjadi tanggung jawab penyelenggara pendidikan. Sesuai dengan hierarki taggung jawab penyelenggaraan pendidikan, untuk satuan pendidikan, sekolah negeri tingkat Paud (TKN), Sekolah Dasar Negeri (SDN) dan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN), penyelenggara pedidikan adalah pemerintah Kabupaten/Kota, berarti Bupati/Walikota. Sedang untuk jenjang menengah SMAN dan SMKN, menjadi tanggung jawab pemerintah propinsi, Gubernur.
Sementara, untuk satuan pendidikan swasta baik jenjang dasar dan menengah, tentu menjadi tanggung jawab penyelenggara pendidikan swasta, Badan Hukum Yayasan atau Ormas, seperti NU dan Muhamadiyah.
Polemik rekruitmen guru agama, baik jalur CPNS maupun P3K akhir-akhir ini nampaknya masih belum mencerminkan adanye pengelompokan tanggung jawab penyediaan guru sebagaimana diatur dalam regulasi yang ada. Misalnya, guru honorer yang menuntut diangkat menjadi CPNS atau P3K itu, apakah sebatas guru sekolah negeri, apa termasuk yang di sekolah swasta. Kejelasan pengelompokan ini siapa. PP 55 tahun 2007 tentang pedidikan agama dan keagamaan, pasal akan sangat kebijakan rekruitmen CPNS maupun P3K, baik jumlah quotanya, maupun mekanisme seleksinya.
Problem Rekuitmen Guru Agama Sesuai Regulasi
Merunut alur regulasi terkait bidang agama dan pendidikan agama sebagaimana diuraikan diatas, menurut saya terdapat beberapa aspek yang kurang sinkron. Pada satu sisi, bidang agama itu menjadi kewenangan pusat yang pelaksanaan tugasnya diberikan pada Kementeria Agama. Disisi lain, pada salah satu aspek pengelolaan pendidikan agama, penyediaan guru/tenaga pendidik agama, menjadi tanggung jawab penyelenggara pendidikan, yang sudah diotonomikan sesuai hierarki struktur kewenangannya.
Akibat dari tidak sinkronnya regulasi tersebut, menimbulkan carut marutnya pelaksanaan di lapangan. Dalam hal pengadaan guru agama di sekolah, selama ini ada beberapa pola rekruitmen. Yaitu, kelompok guru agama di sekolah (PNS) yang diangkat Kementerian Agama dan guru agama pegawai pemerintah daerah, yang diangkat Kemendikbud. Kemudian pembinaan kompetensi guru agama dan muridnya, menjadi kewenangan dan tugas Kemenag.
Dengan adanya PP 55/2007 dan PMA 16/2010 tersebut, Kementerian agama sudah tidak lagi merekrut CPNS guru agama di sekolah, tetapi hanya merekrut CPNS untuk memenuhi kebutuhan guru di Madrasah (RA, MIN, MTsN dan MAN). Bahkan para guru agama di sekolah angkatan Kemenag, banyak sekali yang ditarik dari sekolah untuk ditugaskan di lembaga pedidikan madrasah, yang diselenggarakan Kemenag.
Rekruitmen CPNS guru agama di sekolah negeri dalam lima tahun terakhir ini, sepenuhnya dilakukan melalui jalur Kemendikbud. Kementerian agama, seksi Pais di daerah hanya sebatas mengusulkan kebutuhan guru agama di sekolah negeri melalui Dinas pendidikan Kabupaten/kota. Selain itu, Kemenag juga mengingatkan bahwa tanggung jawab pemenuhan guru ada pada penyelenggara pendidikan.
Ketika hari ini, publik meributkan tidak adanya quota rekruimen guru agama di sekolah, baik melalui jalus Cpns maupun P3K, menjadi aneh. Kenapa, aturan atau regulasinya jelas, data base kebutuhan guru juga sudah tersedia, melalui aplikasi dapodik di Kemendikbud dan Emis/siaga Pais untuk Kemenag. Bahkan, Kemenag melalui seksi Pais selalu mengusulkan setiap tahunnya.
Peraturan tentang pekanisme rekruimen guru agama oleh penyelenggara pendidikan ini sebenarnya meyimpan problem tersendiri. Pertama, disatu sisi, bidang pembinaan agama menjadi kewenangan pusat, sementara rekruitmen guru menjadi kewenangan daerah. Pertama, memicu terjadniya saling melempar tanggung jawab antara pemerintah pusat/kemenag dan pemerintah daerah, selaku penyelengaran satuan pendidikan.
Kedua, dengan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, untuk sekolah negeri, kontrol pemenuhan standar kompetensi guru agama di sekolah menjadi sulit dikendalikan oleh pemerintah pusat. Terutama menyangkut kompetensi keagamaannya, baik dari sisi keilmuan, amaliyah/pelaksanaan ibadahnya, maupun fahan keagaamaannya. Dilapangan, masih saja ditemukan sejumlah guru agama (Islam, misalnya) yang kompetensi basic agama, baca Al Qur’annya yang masih blepotan. Belum lagi, menyangkut paham keagamaan guru agama, yang tidak sejalan dengan agenda strategis Kementerian agama, yaitu moderasi beragama.
Hal yang sangat naif, disaat pemerintah tengat getolnya melawan radikalisme beragama, disisi lain sampai terjaring guru agama yang terpapar radikalisme, yang nota bene akan menyebarkan nilai-nilai, faham keagamaan kepada peserta didik.
Dari sejumlah survey yang pernah dilakukan terkait faham radikalisme, diantaranya Wahid fondation, menunjukkan indek radikalisme di kalangan pelajar di tingkat menengah di sejumlah kota besar sudah mengkhawatirkan.
Karena itu, kajian yang serius atas regulasi terkait agama, pendidikan agama dan keagamaan yang sudah ada ini harus dilakukan untuk menghasilkan masukan, rekomendasi untuk melakukan yudicial review atas sejumlah peraturan, perundangan.
Semoga pendidikan agama yang menjadi visi utama pendidikan nasional ini dapat terwujud.
*) Baharuddin, Kasi Pais Kantor Kementerian Agama Kabupaten Blitar, anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Blitar