Penyebab Saling Curiga Sesama Muslim, Gus Baha: Enak Ngopi Pagi
KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha') selalu menyampaikan pesan-pesan kebaikan dalam berdakwah, tanpa harus menghujat atau menuduh pihak lain yang tak sepaham dengannya.
Gus Baha berpesan, sebagaimana ditayangkan di media sosial seperti youtube. Berikut di antaranya yang cukup mengejutkan tentang media sosial dan kegemaran orang-orang yang kerap menyebarkan berita bohong, hoaks dan semacamnya.
Inilah pesan-pesan Gus Baha, Pengasuh Pesantren Al-Quran di Narukan, Rembang, Jawa Tengah:
Semua ulama itu ijma' bahwa tha'at itu fi'lul ma'murat, atau ta'rif yang terkenal:
امتثال أوامر الله واجتناب نواهيه
menuruti perintah, menjauhi pencegahan.
Ini dengarkan sungguh-sungguh jika kau ingin jadi wali.
Artinya thaat itu sangat-sangat mudah. bahkan aktsaruth thaat fi tarki: sebagian besar thaat itu di bab tarku/meninggalkan maksiat.
Sekarang sampeyan saya kasih persoalan:
Kau shalat Subuh dapat ganjaran nggak? Ganjaran.
Shalat zhuhur? Ganjaran. Karena wajib.
Ketiduran Saat Subuh
Padahal antara Subuh dan Subuh yang lain, kau tidur, atau ngobrol dengan teman, atau ngobrol dengan bojo, di antara 24 jam sehari itu ada saat-saat kau bercanda dengan istri, menggoda cucu, atau guyon, itu artinya saat itu juga kau tidak berzina, tidak mencuri. Padahal meninggalkan zina itu wajib. Berarti saat kau bercengkeraama dengan istri atau di rumah melamun, hakekatnya kau juga menjalankan ketaatan karena pada saat itu kau meninggalkan maksiat.
Kau jangan seperti orang awam yang menghukumi thaat pada saat shalat sunat, dhuha 8 rakaat, qabliyah, ba'diyah, puasa. Jika yang seperti itu kau sebut thaat, lalu ketika ada orang Islam awam mondar-mandir di rumahnya tidak kau sebut sebagai ketaatan, maka itu berarti kau kurang ma'rifat, karena orang di rumah yang tampaknya garuk-garuk kepala menganggur, asal mukmin, ia berarti meninggalkan maksiat, itu namanya juga thaat. Ingat-ingat ya.
Ini penting saya sampaikan supaya thaatnya orang mukmin itu banyak. Nggih? Supaya thaatnya orang mukmin itu banyak. Jadi ingat-ingat ya, jadi thaat itu menjalankan perintah, meninggalkan pencegaahan. Karena itu thaat itu banyak sekali, dan gampang sekali.
Karena itu jika kau sedang dalam keadaan sumpeg, lalu mau shalat (sunat) enggan, membaca Quran enggan, sudah pokoknya wudlu lalu bilang: Ya Allah, alhamdulillah saya tidak melakukan maksiat.
Ini penting saya jelaskan karena sekarang ini banyak menyepelekan amal orang mukmin yang awam, hanya karena kelihatannya tidak pernah qabliyah ba'diyah, dawud, dalail, tidak pernah pakai sorban dan wiridan, lalu dianggap tidak pernah thaat. Itulah yang membuat kita saling curiga sesama orang Islam.
Itulah mengapa Syekh Zakariyya al-Anshari dalam kitab Lubul Ushul ngendikan: banyak ulama yang berpendapat bahwa status hukum mubah itu tidak ada. Sampeyan lihat di kitab Lubul Ushul di bab al ahkam khamsatun, yaitu wajib, tidak wajib, haram, halal, sunat, lalu makruh. Sampeyan sekarang saya beri persoalan: Mubah itu bagaimana kok bisa ada, sedangkan mubah itu bisa ya bisa tidak, dilakukan tidak mengapa, ditinggal tidak masalah. Rata-rata ulama mengambil contoh tidur dan makan.
Meninggalkan Zina
Lalu ada ulama yang mengkritik definisi itu: ketika tidur itu kau meninggalkan zina atau tidak? Jawab saja: Meninggalkan zina. Saat kau tidur itu meninggalkan membunuh orang atau tidak? Meninggalkan pembunuhan. Saat kau tidur itu menggunjing orang atau tidak? Tidak. Berarti meninggalkan semua keharaman. Meninggalkan keharaman itu wajib atau mubah? Wajib. Berarti kesimpulannya tidur itu wajib, tidak bisa kau sebut mubah. Itulah mengapa banyak orang jadi wali karena tidur. Itulah mengapa tidur itu pun istimewa menurut Al-Quran:
وَمِنْ آيَاتِهِ مَنَامُكُمْ بِاللَّيْلِ
Nah, perkara kau tidak memasukkan tidur (sebagai tarkulma'shiyat) itu salahmu sendiri. Salahmu karena keliru niat. Oleh karena itu, jika kau mengantuk, kau wudlu dan "bismillahirrahmanirrahim. Ya Allah, siap meninggalkan semua maksiat.", lalu langsung tidur nyenyak, itu kau wali. Lho ini beneran, ini saya ijazahi.
Inilah yang namanya ulama sungguhan, paham bahwa itulah yang dimaksud Syekh Zakariyya al-Anshari.
Tapi Syekh Zakaria juga tidak bodoh, beliau lalu melanjutkan: "Masalahnya ketika kau tidur itu tidak sedang meninggalkan maksiat saja, tapi juga sedang meninggalkan kewajiban."
Subuhnya kelewat, jatah menafkahi istri lewat, mencari ilmu juga lewat.
Akhirnya statusmu itu jadi orang yang para malaikat adzab semangat, malaikat azab juga semangat ... karena yang dlilihat malaikat adzab adalah kau sedang meninggalkan kewajiban, sedangkan malaikat rahmat juga menghitungmu sedang meninggalkan kemunkaran. Tinggal kau lebih akrab dengan yang mana: malaikat aazab atau rahmat.
Tapi kalau kau orang alim: cari ilmu sudah, meninggalkan maksiat sudah, tidurnya juga tidak mengganggu kewajiban, maka semua tidurnya berstatus wajib, maknanya wajib di situ karena saat tidur meninggalkan maksiat yang hukumnya wajib. Oleh sebab itu Syekh Zakariyya cerita, dengaan sudut pandang ini, hukum mubah tidak ada.
Misalnya saya ngobrol dengan Rukhin malam-malam, Rukhin menikmati obrolan dan kepulan asap rokok, lalu ngobrol sambil tertawa-tawa, saya akan menganggapnya: "Masya allah, anak ini kok thaat, ngobrol dengan teman kok dia senang. Bagaimana bila nikmat kita itu harus dengan ngobrol di nightclub, dengan wanita-wanita telanjang. Kan jadi maksiat." Tapi barokahnya kita thaat, ngobrol dengan orang keriting pun kita bahagia: alhamdulillah, tidak maksiat.
Karena itu di kitab ushul fiqh membuat definisi begini, dengarkan baik-baik: walmubah min haitsu dzatuhu.
المباح من حیث ذاته
Jadi semua ta'rif kitab lalu disempurnakan. Sebelumnya ta'rifnya hanya begini: mubah itu sesuatu yang boleh dilakukan boleh ditinggalkan. Tapi setelah ada kritik dari Imam Ka'bi, ta'rif mubah diubah: wal mubah min haitsu dzatuhu, mubah dipandang dari definisi mubah itu sendiri adalah sesuatu yang boleh dilakukan boleh ditinggalkan. Mengapa ditambahi min haitsu dzatuhu? Karena mubah dipandang dari efeknya adalah bisa wajib, karena pada saat melakukan mubah, berarti pada saat itu juga berarti meninggalkan keharaman. Paham ya maksud saya? Paham nggih?
Sekarang kau makan dalam durasi 30 menit: makan nasi dan pisang goreng, berarti dalam durasi 30 menit itu juga kita meninggalkan maksiat, karena sedang tidak zina tidak mencuri. Paham yang saya maksud? Itulah mengapa ketika melakukan sesuatu yang mubah kita diminta meniatkannya sebagai ibadah, karena saat itu Anda meninggalkan maksiat.
Nah, problem Anda sebagai mukmin awam, sebagai orang yang seperti sekarang ini, saat menjalani sesuatu yang mubah itu kurang ajarnya juga meninggalkan hal2 wajib. Itu yang bikin masalah. Misalnya ibumu sakit, dalam keadaan harus segera dibawa ke rumah sakit. Berarti tidur Anda berstatus meninggalkan kewajiban merawat ibu. Paham ya. Itu masalah kita. Sebab itulah ta'rif mubah itu disebut min haitsu dzatuh, karena jatuhnya mubah bisa ke haram jika saat itu meninggalkan wajib, bisa ibadah jika saat itu meninggalkan haram. Paham ya yang saya maksudkan ya?
Jika demikian, awamnya orang Indonesia itu adalah baik, karena rata-rata jika sedang tidak punya uang atau tidak punya pekerjaan ya di rumah garuk-garuk, menghitung genteng, hingga tahu jumlah tikus yang lewat di sana. Jadi bukan (menyepelekan): "Daripada melamun begitu, lebih baik shalat!" Lha tidak kepingin shalat kok, karena dia awam, wong bukan kyai. Ya sudah, anggap saja itu thaat karena tidak melakukan kemaksiatan. Paham ya yang saya maksudkan?
Supaya kau punya husnudzan pada awwamul muslimin, supaya punya husnudzan pada awwamul muslimin, karena bagaimanapun juga agama ini dibangun atas nama husnudzan. Karena itu Kanjeng Nabi ditanyai shahabat:
"Agama itu apa, Ya Rasulallah?"
قال: الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
قالوا : لِمَنْ يا رسول الله ؟
قَالَ : لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ
"Agama itu adalah nasihat. Nasihat itu punya niat baik, (pertama) pada Allah, pada Quran, rasul-Nya, lalu kau punya niat baik pada semua tokoh Islam, dan awam-awamnya orang muslim."
Kau punya niat dan memperlakukan dengan baik orang awam itu tidak sekadar kau sedekah, lalu senyum ramah jika bertemu mereka, tapi juga termasuk menghukumi bahwa mereka sering melakukan thaat, yaitu lewat jalur tarkul ma'shiyat, meninggalkan maksiat. Sudah, percaya saya saja jika ingin selamat dunia akhirat.
Karena itu ada shahabat, Anas bin Malik, saya jika lihat hadits itu menangis sungguh. Anas bin Malik itu anak kecil, cah ndalemnya Kanjeng Nabi.
Ketika Kanjeng Nabi sudah lanjut usia, menjelang wafat, Anas sudah dewasa. Saat bertemu Anas, begini nasihat Kanjeng Nabi:
يَا بُنَىَّ إِنْ قَدَرْتَ أَنْ تُصْبِحَ وَتُمْسِيَ لَيْسَ فِي قَلْبِكَ غِشٌّ لأَحَدٍ فَافْعَلْ
وَذَلِكَ مِنْ سُنَّتِي
Nas, Anas. Kau jika ingin jadi orang baik, pagi dan petang jadi orang baik. Pagi maupun sore, kau jalan-jalan saja, tetap hiduplah, yang penting hatimu tidak ada kebencian tidak ada niat buruk pada orang Islam.
وَذَلِكَ مِنْ سُنَّتِي
Kau seperti itu sudah melakukan sunnahku.
Enak Ngopi Saja
Karena itu saya minta, yang suka ngopi pagi-pagi ya sudah ngopi saja: Alhamdulillah bisa ngopi. Yang penting tidak kecangkeman menggunjing tetangga. Yang suka jalan2 sambil garuk-garuk ya lakukan saja, asal jangan bermusuhan dengan (sesama orang Islam). Sudah yang penting pokoknya seperti itu. Itulah sebabnya saya tiap kali dilapori tentang keburukan teman maupun kejelekan murid, tidak pernah saya dengarkan, karena ciri utama orang shaleh itu adalah tidak mendengarkan keburukan orang shaleh yang lainnya.
Tapi sekarang zaman sudah rusak. Orang menyebut keburukan orang lain itu malah bangga. Kelihatan sekali nggak bisa mengaji, menyebut keburukan orang lain kok bangga. Goblok kok sampai seperti itu. 🤦♂️
"Gus, sekarang kyai sudah rusak semua. Orang Islam sudah rusak semua."
Memangnya kenapa?
"Diajak begini tidak mau. Diajak seperti ini menolak. Sudah rusak semua."
Ya saya jawab: Alhamdulillah, cepat kiamat.
"Njenengan nggak sensitif? Dunia sudah rusak kok tidak mengambil sikap?"
Lho, saya diam itu artinya mengambil sikap, karena diridlai oleh Allah, yang kecangkeman seperti dirimu itu yang ambil sikap masuk neraka. Dunia sudah rusak kau tambahi rusak.
Karena ngendikane (wasiat) Kanjeng Nabi di Shahih Muslim itu:
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ هَلَكَ النَّاسُ فَهُوَ أَهْلَكُهُمْ
Sampeyan lihat di Shahih Muslim.
"Jika ada orang kok berkomentar: orang sedunia itu rusak, nggak ada yang benar, maka dialah yang paling rusak."
Karena satu: dia ujub, dan kedua: tindakan dia menghukumi tidak pasti benar.
Ini juga tasawuf. Karena itu:
يا أنس، إِنْ قَدَرْتَ أَنْ تُصْبِحَ وَتُمْسِيَ لَيْسَ فِي قَلْبِكَ غِشٌّ لأَحَدٍ فَافْعَلْ
Karena itu saya mohon, njenengan itu hatinya selamat. Sudahlah, sampeyan kalau ingin bergaya, bergayalah. Artinya bergaya itu: bangga punya HP bagus, bangga dengan rambutmu yang keriting, bangga hidupmu melarat tapi bisa gendut,, terserah apa saja maumu.
Yang penting tidak merugikan orang lain.
Yang kurus juga bangga, bukan mursyid pun, hmm bisa berlagak menjalankan laku prihatin gaya mursyidlah, hmm alhamdulillah bentukku sudah bentuk orang akhirat. Hmm.
Yang gemuk juga: Alhamdulillah. Gusti saya gemuk sudah bisa bergaya sebagai orang syukur. Alhamdulillah.
Lakukan seperti itu saja sudah, daripada kamu komentar sana komentar sini, apalagi lewat media sosial. Jahl itu. Jahl murakkab.
Karena ciri utama orang baik itu menutupi aib orang muslim:
مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ
Tapi sekarang ini orang malah mengumbar aib orang muslim
Nangis saya melihat kelakuan orang-orang yang lewat WA lewat macam-macam.
Lha saya sudah tidak berkutik, wong itu sudah kersane Allah. Tapi sampeyan yang mengaji ke saya, saya anggap mencintai saya, saya beritahu: sampeyan tidak harus mematuhinya, jika sampeyan minat neraka, kalau peminat surga harus patuh. Bagaimanapun itu dhawuh Nabi:
مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ
Jika kau tukang mengadu-adu domba:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ.
Tidak bakal masuk surga orang yang suka mengadu domba.
Latihlah. Jadi tha'at zaman akhir itu dilatih. Itu tadi, ngendikane Nabi SAW ciri utama nasihat itu:
وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ
Ya dilatih. Perkara kamu kadang kecangkeman, kadang keliru ya boleh, memang dasarnya manusia. Tapi jangan sampai itu menjadi mental. Namanya manusia jika terpeleset bagaimana lagi, tapi itu jangan menjadi mental: Seumur hidupnya meneliti keburukan orang lain. Naudzubillahi min-dzalik.
Demikian tausiyah bersama KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha'). Semoga bermanfaat.
Advertisement