Penundaan Pemilu 2024 dan Sikap PBNU
Oleh: M. Najib Azca
Arloji menunjuk sekitar pukul 21 ketika sejumlah teman mengirim pesan melalui WA. Isinya nyaris seragam: bertanya benarkah ini pernyataan resmi PBNU? Bersama pesan itu dilampirkan tautan berita bertajuk “Usulan Tunda Pemilu 2024, Ketum PBNU Gus Yahya: Saya Rasa Masuk Akal”.
Awalnya saya enggan membukanya. Beberapa kali saya punya pengalaman buruk membaca berita gak kredibel dari aplikasi kompilasi berita yang dikirimkan itu.
Belakangan, ketika yang berkirim kabar dan pertanyaan makin banyak, juga ada link langsung ke situs pemberitaan yang kredibel, kubaca juga berita itu. Dari berita yang kubaca, kesan yang muncul adalah: Ketum PBNU mendukung penundaan pemilu. Benarkah?
Karena masih kurang yakin, menjelang tengah malam kukirim pesan kepada Gus Yahya Cholil Staquf, Ketum PBNU. Isinya: benarkah itu pernyataan dari Ketum PBNU?
Tak ada kabar hingga esok paginya, sekitar pukul 10. HP-ku berdering: ada panggilan melalui WA dari Gus Yahya. Kami berdiskusi sekitar 15 menit. Ringkas tapi bernas. Tentu tak semua hal bisa dituliskan di sini, hehe. Tapi ringkasnya kira-kira begini.
“Piye akeh sing podo takon yo? Mosok dosen senior Fisipol UGM nggak faham membaca pernyataan itu?” Ujarnya sembari setengah tertawa, setengah meledek. Hehehe jinguk kih.
Lho, maksudnya?
“Intinya kan aku mengatakan bahwa: memang benar ada kondisi yang tidak baik-baik saja yang sedang kita alami; ada bencana alam beruntun, pandemi berkepanjangan, ekonomi yang belum pulih, juga perang Rusia-Ukrania yang belum ketahuan kemana ujungnya. Bahwa kemudian ada usulan untuk menunda pemilu ya itu wajar saja, masuk akal saja. Tapi kemudian perlu dilakukan dialog secara jernih: apakah benar itu solusinya?”
Gus Yahya menyampaikan pernyataan itu saat diwawancarai wartawan ketika mengunjungi korban bencana alam di Sumatera Barat. Gempa bumi yang menggoncang Pasaman Barat pada Jumat pagi itu bermagnitude 6,2 skala richter. Dampaknya cukup parah dan menelan banyak korban.
Bersama sejumlah fungsionaris PBNU Gus Yahya mengunjungi Pondok Pesantren Darussalam Pinagar, Kabupaten Pasaman Barat, yang terdampak gempa dan memberikan dukungan kepada warga yang tertimpa bencana. Tampaknya Gus Yahya merupakan salah seorang tokoh nasional pertama yang mengunjungi lokasi bencana alam parah di Sumatera Barat itu.
Jadi, framing media bahwa Ketum PBNU mendukung penundaan pemilu 2024 tampaknya kurang akurat—bahkan menyesatkan. Namun, posisinya yang tidak serta-merta menolak usulan penundaan pemilu juga mengecewakan, setidaknya bagi kelompok penentangnya. Posisinya kemudian jadi tampak ambigu meski menawarkan moderasi atawa ‘wasathan’: mengusulkan dialog jernih yang melibatkan berbagai pihak untuk membicarakan ide dan usulan itu.
Dalam bacaanku, posisi awal Gus Yahya adalah ‘realis’: beliau melihat kondisi sosial-ekonomi-politik kita memang “tidak sedang baik-baik saja”—baik dari sisi pandemi, ekonomi, bencana alam, juga krisis internasional. Itu terlihat jelas dalam statemennya tadi.
Namun lebih dari itu ia juga ‘realis’ melihat percaturan politik di Indonesia yang bercorak "high cost politics" alias politik berbiaya tinggi. Begitulah: di masyarakat bercorak "low trust society" maka niscaya terjadi "high cost politics”.
Biaya tinggi bukan hanya diperlukan untuk secara prosedural menggelar perhelatan politik pilkada serentak plus pilpres untuk memilih kepala daerah, anggota DPRD, DPR, DPD dan Presiden pada tahun 2024. Menurut informasi, dibutuhkan sekitar Rp.140 triliun untuk menggelar aneka pemilihan politik itu.
Biaya tinggi bahkan juga diperlukan untuk sekadar ‘mengawal suara’ di kotak-kotak TPS, apalagi jika sistem pemilu terbuka dengan memilih kandidat tetap diterapkan. Karena sikap ‘saling tidak percaya’ (bahkan oleh caleg dari partai yang sama) maka hampir semua caleg mengeluarkan biaya saksi untuk menjaga suaranya di kotak TPS. Bisa dibayangkan berapa banyaknya fulus yang mengalir.
Belum lagi aneka kampanye politik yang dilakukan oleh bermacam tim sukses di berbagai lapisan politik; lokal, inter-lokal, juga nasional. Baik yang dibentuk oleh masing-masing politisi maupun oleh partai politik.
Walhasil: ratusan triliun akan tersedot untuk ritual politik pemilu 2024. Akibatnya bisa diduga: biaya pemulihan ekonomi, biaya penanganan pandemi berkepanjangan, juga aneka biaya untuk kepentingan publik lainnya bakal kempis tersedot untuk agenda elektoral lima tahunan itu.
Maka krisis bisa makin beranak pinak. Dari krisis ekonomi ke krisis sosial ke krisis politik. Dan seterusnya.
Dengan posisi sebagai pemimpin ‘realis’ itulah maka Gus Yahya berpendapat bahwa ide penundaan pemilu itu ‘masuk akal’; bahwa memang ada banyak persoalan ruwet bakal terjadi jika pemilu tetap dilaksanakan pada 2024.
Tapi menganggapnya ‘masuk akal’ tentu tidak niscaya berarti ‘menyetujui’. Melainkan: mengakui ada kondisi pelik dan alasan absah untuk duduk bersama berdialog secara serius tentang soal tersebut.
Sebagai sosok yang berpengalaman terjun di arena politik, tentu beliau mafhum bahwa ide penundaan pemilu muskil terwujud. Pakar Hukum Tata Negara Prof. Yusril Ihza Mahendra, misalnya, sudah menggambarkan sejumlah jalan pelik yang harus ditempuh untuk membuat keputusan menunda pemilu 2024.
Tiga jalan tersebut (Amandemen UUD 45; Penerbitan Dekrit Presiden; Menciptakan Konvensi Kenegaraan) semuanya tidak mudah atau bahkan amat pelik untuk dilakukan. Dengan resiko dan biaya politik amat tinggi untuk diambil.
Jalan Amandemen UUD 45, misalnya, implisit sudah ditolak oleh Presiden Jokowi. Beliau menolak Amandemen UUD 45 untuk memasukkan ide GBHN karena khawatir ‘jadi bola liar’ (termasuk ide perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga kali yang ditolaknya).
Jalur ‘Dekrit Presiden’ tampaknya juga masih traumatik. Apalagi ada pengalaman Dekrit oleh Presiden Gus Dur pada 2001 yang gagal mendapat dukungan politik dan berbuntut jatuh dari kekuasaan. Sementara rute ‘Konvensi Kenegaraan’ seperti pernah dilakukan oleh Wapres M. Hatta melalui Maklumat X pada 1945 (mengubah system pemerintahan presidensiil menjadi parlementer) tampaknya juga mustahil untuk diulang.
Namun, sebagai murid politik Gus Dur yang sudah cukup kenyang menyucup asam dan garam permainan politik, Gus Yahya juga mafhum: tak ada yang mustahil di jagat politik.
Meskipun saat ini, dengan penolakan keras dari PDIP (seperti disampaikan oleh Sekjen DPP PDIP Hasto Kristianto) dan kemungkinan sikap sama dari Nasdem dan Gerindra, peluang itu terlihat amat sangat tipis.
Lalu, mengapa PBNU tak langsung saja menolak ide penundaan pemilu 2024 itu—seperti misalnya yang disampaikan dengan lugas oleh Sekjen PP Muhammadiyah Dr. Abdul Mu’ti?
Nah, ini yang tidak mudah diceritakan.
*M. Najib Azca, Dosen Fisipol UGM; ‘Bolo Dupak” PBNU
Advertisement