Penulisan Sejarah Jangan Dimonopoli Satu Kampus
Penulisan Kamus Sejarah Indonesia (KSI) harus melibatkan para ahli dari pelbagai kampus terkemuka di Indonesia. Pelibatan ahli yang terkait akan menjadikan buku yang menjadi referensi penting akan sejarah Indonesia.
Selain itu, perlu pelibatan tokoh-tokoh organisasi yang terlibat dalam proses berdirinya negara. Sehingga, ada proses panjang yang akan menjadikan karya tersebut lebih lengkap tanpa harus terjadi manipulasi sejarah.
Hal itu terungkap dalam Webinar menampilkan, Dr. Abdurakhman sebagai salah seorang yang namanya tercantum dalam Tim Narasumber KSI jilid I. Juga menampilkan Dr. Agus Mulyana, Dekan FPIPS UPI dan Alfanny sebagai sejarawan dari kalangan NU, Selasa 27 April 2021. Webinar diadakan Lembaga Kajian dan Peminatan Sejarah (LKPS) bersama Forum Alumni PMII UI.
Selain melibatkan tokoh-tokoh organisasi dan tokoh organisasi besar, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, juga melibatkan kelompok-kelompok minoritas.
"Jangan dijadikan proses belajar bagi karyawan untuk menulis buku sejarah. Ini bukan forum belajar. Karena itu, harus ada kejelian dalam melibatkan para ahli sejarah," tutur Abdurrakhman, dalam diskusi yang dimoderatori Yunan Ramlan.
Abdurakhman mengakui, dirinya hanya dicantumkan nama dalam proyek penulisan buku KSI. Ini memang cukup memprihatinkan. "Proses penyusunan draf, proses penulisan dan kontrol. Saya tidak terlibat langsung tapi dicantumkan," kata Abdurakhman.
Seperti diketahui, nama Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asyari, yang merupakan pahlawan nasional, tidak tercantum dalam lema Kamus Sejarah Indonesia (KSI), sehingga mendapat protes dan menjadi perbincangan politik. Namun, bagaimana kejadian sebenarnya? Atau benarkah KSI hendak menghilangkan narasi sejarah Islam, terutama peran besar NU dalam sejarah Indonesia?
"Masalah ada lema-lema yang terlewat, karena buku belum selesai. Tapi, karena dipaksa terbit. Hal ini terjadi karena proses berjalan tidak sesuai ketentuan. Suatu penulisan yang harusnya makan waktu panjang tapi dipaksa selesai cepat," kata Abdurakhman.
Dalam penulisan KSI, yang bertanggung jawab adalah Direktorat Sejarah. Sayangnya, Direktorat Sejarah kini telah dilikuidasi. Yang, hiduplah Direktorat Sejarah," tuturnya.
Pada kesempatan itu, Dr. Agus Mulyana, Dekan FPIPS UPI, mengatakan, materi yang diajarkan dalam sejarah telah adalam kurikulum. Buku KSI menjadi pelengkap,yang sifatnya pengayaan.
"Jangan jadikan penulisan sejarah sebagai paper, tugas akhir kuliah. Kamus Sejarah Indonesia akan menjadi referensi yang baik yang dibutuhkan masyarakat," tutur Afnani
Diingatkan, KSI menjadi milik semua lapisan masyarakat.
Berpikir ke depan, Dirjen Kebudayaan yang harus bertanggung jawab dalam penyelesaian KSI.
"Libatkan semua kampus, kelompok masyarakat, sehingga menjadikan KSI lebih baik," tuturnya.